Saat Preman Ikut Pilkada

-->

DI satu daerah, semua orang sedang bersorak-sorai atas kemenangan di ajang pemilihan kepala daerah (pilkada). Semuanya sedang merayakan sesuatu yang seolah amat prestisius dan mencengangkan. Seolah pilkada itu adalah pertanda baru bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.

Sungguh amat mustahil mempertaruhkan masa depan di tangan segelintir orang. Naiknya seorang pemimpin bukanlah jawaban atas segala permasalahan yang dihadapi. Naiknya seorang pemimpin bukanlah jawaban atas segala problem ekonomi yang mendera, nasib keluarga yang hendak makan apa, atau tentang posisi politik dan jaminan masa depan. Pilkada hanyalah sebuah omong kosong, yang kemudian dibela dengan segala retorika. Apakah pilkada bisa membawa kesejahteraan? Bagiku ini omong besar. Pada akhirnya kesejahteraan itu harus diperjuangkan dengan segala daya-upaya, tak mungkin akan jatuh dari langit bersama janji-janji kandidat kepala daerah.

Mungkin anda bisa sejahtera. Tapi dengan catatan anda adalah tim sukses yang kemudian kecipratan duit atau sejumlah proyek dari kandidat. Tapi kalau anda seorang rakyat biasa, segeralah bangun dari tidur. Pilkada itu hanya memberikan janji-janji kepada anda. Kelak, lima tahun berikutnya, pemimpin itu akan memaparkan data statistik (yang sudah dimanipulasi), bahwa kemiskinan berkurang. Seolah itu karena usahanya untuk menurunkan kemiskinan. Pemimpin itu mengabaikan upaya keras anda untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.

Perumpamaan paling tepat untuk menyebut politik di daerah adalah fenomena kartel atau bisnis yang melibatkan banyak orang. Pilkada ibarat satu jaringan seorang pengusaha yang memanfaatkan semua orang di jaringannya agar bekerja sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Pilkada ibarat panggung buat pebisnis rakus yang membahas proyek bisnis mulai dari hulu ke hilir. Tak percaya? Lihat saja daftar proyek di pemerintahan daerah pasca-pilkada. Rata-rata proyek itu akan dikerjakan oleh rekanan atau tim sukses pemenang pilkada.

Kadang kita amat susah untuk berkata jujur. Mestinya kita mengakui kalau para para pemenang pilkada bukanlah murni mereka yang merebut hati rakyat. Para pemenang adalah mereka yang bisa mengkombinasikan antara strategi, duit untuk menyuap kiri-kanan, serta pergerakan tim sukses yang bergerombol ala preman. Dikarenakan duit yang jadi faktor utama, maka tak heran jika suara bisa dibeli. Masyarakat akhirnya memilih jadi pragmatis dan menyerahkan pada siapa yang membayar. Maka naiklah si tokoh karbitan itu.

Memang, ada juga kasus seperti DKI. Namun, kasus itu hanya secuil. Lagian, di DKI, ada banyak media serta LSM yang bisa mengawasi pilkada. Sementara di daerah? Hmm. Tak perlu heran jika di beberapa tempat, bupati yang terpilih adalah para preman yang merangkap kontraktor. Mereka yang terpilih adalah mereka yang sok jagoan, punya uang, dan bisa membayar banyak orang untuk bekerja, apaah itu jadi tim sukses, penyusun konsep (biar sang bos nampak pintar), serta tim debat.

Yah. Pilkada adalah arena kebohongan publik yang dilegalisir oleh undang-undang. Para preman lalu berpakaian ala ustad. Tiba-tiba menyapa banyak orang. Tiba-tiba saja nampak sangat peduli pada banyak orang. Ujung-ujungnya juga menghamburkan uang demi menyuap orang banyak. 

Mengapa tak ada sanksi bagi mereka yang gagal mewujudkan janji politiknya?

0 komentar:

Posting Komentar