Rahasia Facebook, Rahasia Kegilaan

Eduardo Saverin dan Mark Zuckenberg
dalam film The Social Network

DARI kamar yang sempit di sebuah asrama mahasiswa, pemuda itu meradang. Dalam keadaan sedih karena diputus sang pacar, ia melepaskan semua kekesalannya di blog. Ia menulis sekasar mungkin sebagai bentuk ekspresi. Setelah menenggak beberapa botol Heineken dan nyaris mabuk, ia memulai sebuah ide gila. Ia menembus jaringan sistem komputer kampusnya demi mengunduh semua foto mahasiswi-mahasiswi cantik. Ia lalu memajangnya di website, kemudian menyilahkan semua orang untuk memvoting siapa paling cantik.

Sebuah sejarah tentang kerajaan bisnis seringkali tidak dimulai dari pidato hebat atau pengguntingan pita. Sebuah sejarah bisa saja dimulai dari keisengan. Sebuah sejarah bisa lahir dari sepotong kegilaan. Pemuda bernama Mark Zueckenberg –yang lahir tahun 1982-- tidak menyangka jika sebuah ide kurangajar itu justru mendapat respon yang dahsyat. Situs iseng Facemash yang didirikannya menjadi favorit puluhan ribu mahasiswa sehingga dalam waktu semalam, sistem jaringan komputer di Harvard University jebol karena tak kuasa menampung lalu lintas (trafiic) yang sangat besar akibat animo yang amat tinggi.

Mark dipanggil pihak kampus dan diadili. Di hadapan petinggi kampus, ia sengit menjawab, “Apapun yang anda katakan tentang kehebatan system jaringan kampus, yang jelas saya telah mengobrak-abrik benteng pertahanan anda.” Ia lalu diberi hukuman percobaan. Adakah yang menyangka jika keisengan itu adalah awal dari lahirnya sebuah kerajaan bisnis bernama Facebook? Bisakah kita membayangkan bahwa sebuah hasrat kebencian yang tak tersalurkan dalam kata, lalu berujung pada kalimat serapah di sebuah blog, tiba-tiba menjadi awal sebuah situs yang bernilai miliaran dollar?

Kisah Mark tersebut saya temukan dalam film The Social Network yang disutradarai David Fincher. Kemarin saya menyaksikan film tersebut saat nonton bareng bersama ratusan kompasioner yang bermukim di Jakarta. Filmnya hebat. Pantas saja jika disebut sebagai kandidat peraih Oscar. Filmnya penuh inspirasi yang bertaburan tentang seorang anak muda pemimpi yang aneh, pemuda yang memulai sebuah bisnis dari sebuah rasa kesal karena diputus cinta dan ingin menunjukkan siapa dirinya, ia memelihara idealisme, menganyam mimpi, dan merentang visinya hingga jauh. Ia tidak berkhayal untuk penghasilan sejuta dollar. Ia mengincar satu miliar dollar. Bisakah kita membayangkan hasrat yang meluap-luap itu?

Mark bukanlah sosok malaikat yang datang dari langit. Ia adalah remaja biasa yang bermimpi bisa masuk sebuah klub elite di kalangan mahasiswa, bermimpi menjadi atlit dayung universitas, atau berkencan dengan kekasihnya yang cantik. Namun, apa daya jika dirinya tidak cukup mumpuni untuk masuk klub elite tersebut. Ia juga menyayangi kekasihnya. Namun, ia terlampau pemalu. Ia tidak tahu bagaimana mengekspresikan rasa sayang tersebut. Sebagai seorang remaja yang sedikit urakan, ia lalu memutuskan untuk menemukan eksistensinya lewat kelana di dunia maya. Dan kejeniusannya adalah jalan tol yang membawanya melaju kencang di dunia ini. Film ini menunjukkan bahwa dirinya adalah remaja biasa yang terobsesi dengan banyak hal, namun tak kuasa menemukan jalan yang tepat untuk berekspresi. Sifatnya pemalu dan agak urakan.

Dunia maya menjadi penyaluran dari hasrat serta ide-ide gilanya. Dan pada suatu malam, ketika para sahabatnya tengah menggelar pesta-pesta dan alkohol, ia lalu menemukan ide tentang Facebook. Bersama sahabatnya Eduardo Saverin, ia lalu mengembangkan gagasan itu menjadi sebuah situs yang sederhana.

Meskipun dituduh mencaplok ide orang lain, ia tak bergeming. Di tangan Mark, sebuah ide mentah ibarat sebuah lempung yang bisa disentuh menjadi porselen. Ia mengembangkan ide tersebut hingga menjadi sebuah situs jaringan sosial yang menjadi penanda baru zaman ini. Sebagaimana kata sahabatnya, “Kita hidup di zaman baru. Tidak lagi tinggal di rumah atau ladang. Kita hidup di dunia internet. Orang akan mencari alamat kita di internet.”


Ia memang jenius luar biasa hingga dosennya hanya bisa membiarkannya pergi meninggalkan kelas, ketika Mark dengan nada cuek menjawab pertanyaan dosen tentang sebuah soal rumit. Tapi saya kira point utama kelebihannya bukanlah terletak pada kejeniusan itu. Di kampus seperti Harvard, kejeniusan adalah perkara yang biasa ditemukan. Point utama kelebihannya adalah kecepatan menangkap sebuah peluang dan kreativitas dalam mengemas sebuah gagasan. Bagi Mark, sebuah gagasan tak perlu menunggu saat untuk matang. Ketika gagasan itu lahir, maka saat itu juga gagasan itu harus memiliki tubuh, jiwa, dan kaki-kaki untuk bergerak.

Tatkala Mark tengah tertidur dalam sebuah kuliah, seorang mahasiswa datang curhat dan menanyakan apakah seorang gadis yang diicarnya sudah menikah atau belum. Ia curhat, andaikan ia tahu jika gadis itu tengah mencari pacar atau belum, maka ia akan sangat girang. Tiba-tiba saja, Mark seperti Isaac Newton yang kejatuhan apel. Ia berlari kencang ke apartemennya lalu menambahkan fasilitas relationship dalam Facebook. Demikian pula saat berbincang dengan sahabatnya Eduardo, ia lalu menambahkan fasilitas wall, serta tempat untuk saling memberi komentar atas foto atau dokumentasi kehidupan sosial. Ia memang kreatif. Tidak heran, dengan kecepatan serta kreativitas seperti itu, ia berhasil menggapai semua mimpi-mimpinya yakni menjadi jutawan di usia muda.

Taburan Hikmah

Namun, apakah harga dari sebuah kesuksesan? Sebagai seorang muda, sosoknya memang tidak matang secara emosional. Dirinya adalah sebuah paradoks. Tatkala ia memiliki jutaan pengagum di dunia maya, ia harus ikhlas kehilangan satu per satu sahabat dekatnya. Uang menjadi pemicu dari konflik serta perdebatan yang tak kunjung henti. Demikian pula ketika ia bertemu teman baru yang dianggapnya lebih cakap dalam hal visi bisnis. Di titik ini, Mark hanyalah seorang pemuda yang tidak cakap mengelola emosi.

Bahkan seorang sahabat dekatnya pun tiba-tiba tersingkir. Emosi yang meledak-ledak itu adalah api yang membakar dirinya. Sebagai pebisnis muda, ia sukses menggapai semua impian. Namun, sebagai manusia, ia mesti belajar hal-hal yang tidak selalu ditemukannya di dunia nyata yakni; kematangan, kecerdasan emosional, serta kehati-hatian dalam melakukan tindakan. Mungkin, ia butuh jam terbang yang tinggi untuk menjadi seorang manusia yang paripurna.

Dalam film ini, saya sering menemukan gambar-gambar yang bernuansa paradoks. Bagaimana music hingar-bingar dan pesta khas anak muda di Amerika Serikat (AS), dikontraskan dengan keseharian Mark yang lebih banyak kesunyian. Di saat sahabat dan karyawannya berpesta, Mark justru sendirian di satu ruangan, memperhatikan Facebook, sambil mengirimkan undangan pertemanan kepada mantan kekasihnya, lalu me-refresh status undnagan tersebut selama beberapa saat. Mark kehilangan dunia sosial di saat ia menciptakan sebuah program yang bisa menjadi jembatan bagi dunia sosial.

Saya rasa film ini sangat layak untuk mendapatkan banyak penghargaan bergengsi. Baik sutradara David Fincher, penulis scenario Aaron Sorkin, hingga actor Jesse Eisenberg yang sukses menghidupkan karakter Mark Zuckenberg. Meskipun film ini dikritik habis Mark Zuckenberg –khususnya pada bagian keinginan untuk gabung di klub elite Harvard--, namun tetap saja menampilkan kecemerlangan Jesse memainkan sosok eksentrik seperti Mark. Salut juga layak diberikan kepada penata music yang kerap menghadirkan kontras antara music berdentum di bar, serta dunia kesunyian Mark. Bagian paling saya suka adalah music The Beatles yang muncul di akhir film. Suara John Lennon sangat khas ketika bersyair “Now .. u rich..”


Bagi saya, film inspiratif ini menyisakan beberapa catatan berharga. Pertama, sebuah ide segila apapun bisa menjadi tambang emas tatkala kita sanggup mengemasnya dengan baik. Inspirasi seorang Mark justru lahir dari hal-hal yang dialaminya sehari-hari. Ia paham bagaimana dinamika komunikasi serta hasrat mahasiswa untuk saling mengenal di satu ruang maya. Ia hanya menyediakan jalan buat mereka untuk berselancar, bertemu di satu situs, kemudian saling menyapa. Kedua, sebuah usaha memang membutuhkan konsistensi untuk ditumbuhkan dan dibesarkan. Perjalanan sebuah usaha ibarat roller coaster yang suatu saat bisa meninggi dan bisa terhempas ke bawah. Daya tahan serta kreatifitaslah yang membuat usaha itu bisa bertahan dan tumbuh besar. Ketiga, selalu ada yang dikorbankan ketika hasrat dan impian hendak mengangkasa. Mungkin Mark kehilangan pertemanan, tapi ia mendapatkan ladang emas pencariannya. Ini sesuai dengan kalimat yang tertera di poster film, “You don’t get 500 million friends without making a few enemies.” Apakah anda sepakat dengan kalimat ini?




Jakarta, 14 November 2010

0 komentar:

Posting Komentar