Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial Kita



KEMARIN saya membeli buku Genealogi Ilmu Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia karya Hanneman Samuel di lapak buku dekat UI di Salemba. Saya cukup mengenal Pak Hanneman sebagai pengajar Sosiologi Pengetahuan di Universitas Indonesia (UI). Meskipun belum pernah mengambil kuliahnya, tapi saya beberapa kali berbincang dengan alumnus salah satu universitas di Australia ini di kantin kampus. Saya juga paham bagaimana penguasaannya tentang ilmu sosial, khususnya isu-isu filsafat dan sosiologi pengetahuan.

Ada beberapa alasan mengapa saya tertarik dengan buku ini. Pertama, buku ini membahas tentang genealogi kekuasaan ilmu sosial. Dalam pahaman saya yang sederhana, genealogi adalah asal-muasal lahirnya sesuatu. Semacam sejarah, tapi tidak spesifik membahas tentang urutan waktu dan rangkaian kejadian, sebagaimana sering dibahas para sejarawan. Genealogi lebih spesifik pada proses diskursif atau atmosfer gagasan yang muncul pada suatu masa dan mempengaruhi pemikiran orang-orang.

Asumsinya adalah semua pengetahuan adalah sesuatu yang menyejarah, dalam artian pernah lahir pada suatu masa. Genealogi akan membahas proses lahirnya pengetahuan tersebut, serta apa relasi di balik pengetahuan tersebut. 

Apakah itu sesuatu yang bernama kepentingan, ataukah sebuah hasrat kuasa. Jika hari ini kita sedang membahas ilmu sosial di Indonesia, maka ada saat-saat di mana ilmu tersebut hadir, bagaimana ilmu itu lahir dalam rahim penguasa, serta digunakan untuk menaklukan sesuatu. Itulah tragic ilmu sosial Indonesia.

Kedua, setahu saya amat langka buku yang membahas genealogi di Indonesia. Seingat saya hanya ada beberapa buku. Selain karya Daniel Dhakidae tentang Cendekiawan dan Kekuasaan, Hilmar Farid dan Vedi R Haditz dalam Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, juga buku karya Yudi Latif yang berjudul Genealogi Cendekiawan Muslim Indonesia. Di luar dari buku-buku ini, saya belum pernah menemukan satupun buku yang ditulis tentang kajian genealogi khususnya menyangkut ilmu sosial di Indonesia.

Ketiga, saya menyenangi kajian semacam ini sebab bisa membuat mata kita lebih terang untuk menyorot banyak hal. Pada akhirnya, kita jadi lebih curiga dengan formasi pengetahuan kita, mempertanyakannya kembali secara kritis, kemudian memunculkan gagasan tentang perlu lahirnya sebuah ilmu sosial baru yang lebih grounded, berangkat dari satu realitas, sehingga tidak mengawang-awang. 

Saya menyenangi kajian semacam ini karena menunjukkan kepada kita sesuatu di balik netralitas ilmiah. Dengan menelusuri jejak sejarah pengetahuan, kelak akan membawa kita pada satu kesimpulan bahwa pada akhirnya segala sesuatu tak pernah luput dari kuasa. Tinggal bagaimana mengelola kekuasaan tersebut menjadi sesuatu yang membawa emansipasi bagi banyak orang.

Pertanyaannya, setelah melakukan pembongkaran pada bangunan ilmu sosial, apakah kita sanggup melahirkan satu formasi epistemologis ilmu sosial baru yang berbeda dengan sebelumnya? Apakah ilmuwan sosial kita sanggup merumuskan satu mazhab pengetahuan yang orisinil dan digali dari bumi tanah kita? 

Mungkin pertanyaan ini akan terjawab setelah menuntaskan buku ini. Tapi sejauh ini, saya tidak terlalu yakin kalau para ilmuwan sosial kita akan sanggup melakukannya. Mungkin kita terbiasa memamah-biak berbagai teori barat dan dikutip sesuka hati agar tampak keren, tanpa paham genealoginya.(*)



0 komentar:

Posting Komentar