Kompas dan Liputan Bencana Merapi

DI kota Jakarta, yang menjadi sentrum segala informasi ini, saya justru tidak banyak membaca media khususnya media cetak. Saya juga sudah lama puasa menyaksikan media elektronik. Saya mulai apatis dan tidak percaya. Apalagi, waktu saya banyak tersita untuk rutinitas memperdalam kemampuan bahasa asing. Tapi saya berusaha menyiasatinya dengan sesekali membeli Kompas, khususnya edisi hari Sabtu dan Minggu. Biasanya edisi Sabtu dan Minggu berisikan semacam resume atas peristiwa besar yang terjadi selama seminggu. Dan minggu ini, peristiwa itu adalah letusan Merapi dan dampaknya yang mengenaskan warga.

foto yang tayang di Kompas edisi Sabtu lalu

Saya membaca Kompas selama dua hari, kemudian menuliskan catatan ini. Namun, saya tidak hanya terpaku hanya pada liputan saja. Saya juga tertantang untuk mengembangkan tema liputan ini dan menyentuh banyak hal menarik lainnya, mencatat gejala-gejala sosial yang muncul di depan mata, lalu menalarsemua gejala itu untuk mengetahui apa makna dari semua gejala itu.

Nah, setelah membaca Kompas selama dua hari, saya menemukan beberapa hal menarik. Pertama, saya menangkap agenda peliputan Kompas yang banyak memberi porsi berita tentang bagaimana simpati publik bangkit, serta upaya public untuk mengkoordinasi dukungan sesama dan melakukan tindakan nyata. Mulai dari para gitaris yang sibuk mengumpulkan dana, anak-anak sekolah dasar yang menyumbangkan celengan, hingga lapis kelas menengah masyarakat yang semuanya turun tangan untuk membantu korban Merapi. Bukan hanya dari sisi berita, Kompas juga memuat beberapa opini yang spesifik mengangkat tentang simpati masyarakat dan upaya membantu sesamanya. Sabtu lalu, saya membaca esai Harry Tjahjono yang amat menyentuh tentang bagaimana bencana Merapi ditransformasikan oleh public sebagai kesadaran membantu sesama.

Kompas memberikan ruang yang cukup besar bagi melimpahnya simpati public atas nasib sesamanya. Saya tidak terkejut dengan liputan ini sebab saya tahu persis banyak yang turun tangan untuk membantu di lapangan, semata-mata demi keikhlasan. Saya mengenal banyak sahabat yang turun tangan menjadi relawan, tanpa mengharapkan sepeserpun imbalan. Tanpa tendensi politik apapun. Ketika masyarakat turun tangan dan melakukan segala hal yang semestinya di lakukan negara, maka itu adalah isyarat bahwa masyarakat tidak terlalu yakin negara akan melakukan tugasnya untuk mengkoordinasikan bencana.

Saya melihat bahwa sebenarnya liputan Kompas itu hendak membahasakan hal sederhana yakni; negeri ini bisa bangkit untuk membantu sesamanya, tanpa harus menunggu bagaimana negara bertindak. Ada semacam paradigma baru yang tumbuh di benak warga, ketimbang menyaksikan kelambanan negara yang turun membantu bencana, atau ketimbang menyaksikan politik pencitraan Partai Demokrat yang memenuhi tenda pengungsi dengan bendera partai, jauh lebih baik jika warga turun tangan, menyingsingkan lengan baju, dan melakukan sesuatu untuk sesama anak bangsa.

Kedua, saat membaca liputan itu, saya jadi bertanya-tanya, di manakah posisi negara? Publik diperlihatkan sikap yang sungguh tidak terpuji. Mulai dari Gubernur Sumbar yang memilih promosi bisnis di Jerman, anggota dewan yang sibuk studi banding di banyak negara Eropa, atau presiden yang hanya berkunjung dan sedih, tanpa membiarkan kaki tangan pemerintah hadir dan bekerja di sana, serta para pejabat dan politisi yang sibuk memajang bendera partai, seolah-olah mereka bekerja untuk masyarakat. Saya melihat bahwa pada dasarnya masyarakat tidak terlalu yakin jika pemerintah (sebagai representasi negara) bersedia mengatasi kemalangan mereka. Mereka tidak yakin bahwa pemerintah akan bekerja, melakukan sesuatu dengan ikhlas. Pantas saja jika mereka mudah membangkang atau mengabaikan pemerintah.

Hal yang menarik buat saya adalah ketika presiden dan juga menko kesra sudah berjanji akan mengganti ternak warga yang tewas, warga justru mengabaikan pernyataan itu pada saat dilontarkan. Mereka tetap nekad untuk melihat ternak, mengabaikan keselamatannya, hingga kembali ke desa untuk melihat ternak. Ini fenomena apa? Buat saya ini adalah tanda bahwa mereka tidak terlalu yakin kalau janji itu akan terealisasi. Mungkin saja merekas berpikir akan menempuh prosedur birokrasi yang ruwet, dana itu akan dipotong, atau mekanisme yang berbelit. Di negeri ini, hal-hal semacam itu sudah menajdi kelaziman.

Ketika masyarakat lain turun tangan sendiri mengkoordinasi bantuan dengan caranya sendiri-sendiri, ketika rakyat tidak mau mengemis mengharapkan bantuan dari negara, ketika masyarakat memenuhi jalan untuk mengampanyekan solidaritas public, maka semuanya adalah tanda-tanda sedang terbentuknya lapis-lapis generasi baru yang mulai mandiri melihat masalah sosial di negeri ini.

Masyarakat kian tercerahkan bahwa niat mulia untuk membantu sesama tidak bisa diserahkan hanya pada negara, sebagai institusi yang mengemban amanah untuk melindungi warganya. Masyarakat membangun jejaring sosial baru, menyingsingkan lengan baju tanpa mengharapkan imbalan, serta bergerak bersama, adalah oase embun di tengah bencana. Sikap tersebut melahirkan genangan optimism bahwa kelak negeri ini akan jauh lebih baik karena masyarakatnya mulai kuat dan mandiri. Dan saya amat bahagia dengan kenyataan ini, sekaligus sedih ketika membayangkan aparat negara yang masih sibuk berkoordinasi.(*)


0 komentar:

Posting Komentar