foto yang tayang di Kompas edisi Sabtu lalu |
MERAPI mengamuk! Pesan itu bergema di mana-mana. Awan panas dengan kecepatan 200 km/jam menyerbu. Penduduk panik lalu berlarian dan mengungsi. Saya membayangkan sebuah bunyi berdentum, lalu jerit tangis manusia yang memenuhi angkasa. Merapi tidak lagi menjadi tempat eksotis yang indah disaksikan di pagi hari. Bukan lagi menjadi hamparan pemandangan indah yang memesona sebagaimana sering diabadikan para penjelajah. Merapi akhirnya menampilkan wajah yang lain, sebuah wajah yang menakutkan. Seperti Faust dalam kisah karya Goethe yang punya dua wajah, merapi bisa menjelma sebagai horror yang mengerikan bagi siapa saja.
Belum kering air mata kita saat mendengar bencana banjir di Wasior. Belum juga kering air mata kita saat mendengar bencana di Mentawai. Kini, Merapi kembali membasahi hati kita dan menjadi isak lirih dari seluruh anak bangsa. Inilah negeri yang berkarib-karib dengan bencana. Negeri ini terus saja dihantam bencana alam, yang seakan melengkapi bencana sosial yang disebabkan para manusianya. Kita seakan duduk di atas bara api yang setiap saat bisa meremukkan daratan kita. Mengapa negeri yang elok ini selalu dirundung bencana? Mungkinkah -sebagaimana dikatakan Ebiet G Ade-bahwa Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa, ataukah alam mulai enggan bersahabat dengan kita?
Sebagai warga baru di Jakarta, saya hanya bisa menyaksikan Merapi dari jauh. Hasrat saya sangat besar untuk menjadi relawan. Namun, apa daya rutinitas Jakarta seakan memantek langkah saya untuk tetap bertahan di kota yang sumpek ini. Saya hanya bisa mencatat beberapa kejadian serta sesekali membeli media cetak dan melengkapkan semua informasi yang bersarang bak puzzle di dalam kepala. Hal paling penting yang saya catat adalah letusan ini telah membuka lapis-lapis kenyataan yang sangat penting sebagai penanda sosial baru masyarakat kita. Merapi telah membuka tiga hal yang selama ini tidak terlalu nampak yakni; posisi media, watak negara, serta menguatnya masyarakat kita. Nah, mari kita diskusikan sama-sama.
Pertama, Merapi membuka lapis kenyataan tentang negara yang lebih sering tidak hadir dalam bencana. Entah kenapa, setiap kali bencana, maka agenda pemerintah hanya berkunjung saja, kemudian menyerahkan sumbangan yang disebut dengan suara tinggi kalau nilainya mencapai miliaran rupiah. Bisakah kita mengatakan bahwa pemerintah telah hadir? Ada paradoks yang nampak sebab seolah-olah sumbangan itu adalah kemurahan hati sang pejabat. Sebagai masyarakat, kita bisa bertanya balik. Bukankah dana sumbangan itu berasal dari kas negara yang kemudian digunakan untuk masyarakatnya sendiri? Tepatkah kata sumbangan atau bantuan tersebut?
merapi mengamuk |
Hal menarik lainnya adalah setiap bencana, pasti selalu diikuti dengan kunjungan kepala negara. Bukannya saya tidak sepakat dengan kunjungan, namun ada kesan dengan melakukan kunjungan, lalu mendengarkan suara sedih rakyat, seolah-olah pemerintah sudah bekerja. Saat presiden kita memeluk pengungsi, seolah-olah semuanya selesai. Padahal, semuanya cuma simbolik. Apalah artinya berpelukan, setelah itu rakyat kembali menderita karena bencana. Pemerintah bisa disebut bekerja ketika semua perangkatnya turut bekerja, melakukan sesuatu, dan memastikan bahwa mereka yang tersakiti oleh bencana bisa segera pulih dan kembali seperti sedia kala. Pemerintah disebut hadir dalam suatu bencana tatkala ia menjalankan perannya semaksimal mungkin untuk membantu rakyatnya, memastikan bahwa bukum dan aturan telah bekerja untuk melindungi, serta memastikan semua rakyatnya tidak sedang kekurangan.
Seorang kawan Kompasioner, Irman Rusli, menulis dengan sangat baik bahwa kunjungan kepala negara yang justru menimbulkan masalah baru. Dalam keadaan bersedih, warga dipaksa ke lapangan menunggu kepala negara. Mereka berpanas-panas selama berjam-jam, kemudian semua agenda harian tiba-tiba batal karena kunjungan pejabat. Padahal, apa sih yang dilakukan kepala negara? Cuma merangkul dan isak sedih. Imran mencatat, “Gara-gara presiden dan wakil presiden datang, penanganan para korban dan pengungsi terpaksa dihentikan sementara, karena mereka kan harus disambut, harus dilayani.“
Kedua, Merapi telah membuka topeng kepalsuan dan watak pejabat kita yang lebih banyak narsis dan tidak peduli. Betapa saya kecewa berat ketika mendengar pernyataan ketua DPR yang justru menyalahkan warga yang tinggal di pesisir. Betapa saya juga jengkel ketika membaca berita tentang banyaknya spanduk partai politik di sekitar lokasi pengungsian. Dan lebih kesal saat membaca berita tentang Gubernur Sumbar yang memilih ke Jerman dengan agenda promosi potensi daerah. Lalu, anggota DPR yang sibuk studi banding di banyak negara Eropa hingga Arab.
Wah, inilah negeri yang para pejabatnya justru tidak peka. Semalam, saya juga kesal ketika membaca berita tentang pernyataan Menpora Andi Alifian Mallarangeng yang usai memberikan bantuan, tiba-tiba mengatakan, “Menurut saya penting memberikan kegiatan positif bagi pengungsi. Saya lihat mereka itu sudah cukup sebenarnya, makan sudah siapkan dan MCK sudah ada. Mereka ini tinggal menunggu bunyi klenteng-klenteng lalu sarapan, klenteng-klenteng lalu makan siang dan klenteng-klenteng lalu makan malam,” katanya di Gedung Agung, Jl Malioboro, Yogyakarta, Minggu (7/11/2010). Saya menmukan pernyataan itu dalam tulisan dan komentar yang sangat baik dari Kompasioner Hadi Some.
Ketiga, Merapi telah membuka mata bahwa rakyat tidak tidak terlalu yakin jika pemerintah (sebagai representasi negara) bersedia mengatasi kemalangan mereka. Mereka tidak yakin bahwa pemerintah akan bekerja, melakukan sesuatu dengan ikhlas. Pantas saja jika mereka mudah membangkang atau mengabaikan pemerintah. Ketika presiden dan juga menko kesra sudah berjanji akan mengganti ternak warga yang tewas, warga justru mengabaikan pernyataan itu pada saat dilontarkan. Mereka tetap nekad untuk melihat ternak, mengabaikan keselamatannya, hingga kembali ke desa untuk melihat ternak. Ini fenomena apa? Buat saya ini adalah tanda bahwa mereka tidak terlalu yakin kalau janji itu akan terealisasi. Mungkin saja merekas berpikir akan menempuh prosedur birokrasi yang ruwet, dana itu akan dipotong, atau mekanisme yang berbelit. Di negeri ini, hal-hal semacam itu sudah menajdi kelaziman.
Keempat, letusan Merapi telah menyadarkan orang-orang tentang posisi media sebagai pisau bermata dua. Selama ini orang-orang cukup sadar bahwa media kita -khususnya elektronik-terlampau sensasional demi mengejar target rating dan pengiklan. Memang, fungsi media adalah memberikan alaram agar warga tetap waspada. Namun, tanpa dikelola dengan baik, fungsi itu bisa menjelma menjadi horror yang meningkatkan ketakutan public hingga kepanikan yang luar biasa. Selama ini, saya sudah sering menemukan kekecewaan dari para konsumen media. Hanya saja, kekecewaan itu lebih diungkapkan sebagai gumaman, tanpa melakukan sesuatu. Namun, letusan Merapi telah meningkatkan kesadaran itu menjadi sebuah tindakan.
Banyaknya tulisan di Kompasiana yang mengkritik detik.com, atau kritik buat TVOne, serta surat yang dilayangkan ke KPI hingga akhirnya ditutupnya tayangan Silet menjadi pertanda penting bahwa masyarakat mulai sadar media dan mulai bersikap kritis pada tayangan media yang sensasional dan tidak empati. Kemarin, saat ke kampus UI, saya mendengar dua orang tukang ojek yang membahas kekesalan karena gambar mayat korban dimuat di halaman depan sebuah media. Sang tukang ojek itu kesal dan mengatakan, “Wah, gambar ini kan tidak etis tayang di halaman media.”
Selama puluhan tahun, masyarakat dijejali retorika khas pemerintah Orde Baru bahwa media sangat penting untuk keberlangsungan pembangunan. Media membanjir hingga desa-desa dan menyebarkan informasi. Kini, setelah letusan Merapi, semua orang tiba-tiba menyadari bahwa media bisa menjadi musuh yang lebih berbahaya ketimbang Merapi sendiri. Media bisa menghadirkan ketakutan yang berlebihan sehingga menimbulkan kepanikan massal.
Bagaimana Posisi Kompas?
Dalam cekaman kekalutan seperti ini, kita bisa berharap banyak dengan hadirnya harian Kompas yang lebih empati kepada korban. Setiap membaca Kompas saya selalu optimis bahwa meskipun pemerintah tidak terlalu bisa diharapkan, namun ada begitu banyak lapisan masyarakat yang bekerja untuk membantu sesamanya. Kompas membangkitkan optimism bahwa di tengah awan kelabu bencana, selalu ada harapan atas masyarakat yang solidaritas sosialnya kian menebal dan membantu sesamanya.
Selama dua hari ini saya membaca Kompas dan mencatat begitu banyak hal menarik. Saya menangkap agenda peliputan Kompas yang banyak memberi porsi berita tentang bagaimana simpati publik bangkit, serta upaya public untuk mengkoordinasi dukungan sesama dan melakukan tindakan nyata. Mulai dari para gitaris yang sibuk mengumpulkan dana, anak-anak sekolah dasar yang menyumbangkan celengan, hingga lapis kelas menengah masyarakat yang semuanya turun tangan untuk membantu korban Merapi. Bukan hanya dari sisi berita, Kompas juga memuat beberapa opini yang spesifik mengangkat tentang simpati masyarakat dan upaya membantu sesamanya. Sabtu lalu, saya membaca esai Harry Tjahjono yang amat menyentuh tentang bagaimana bencana Merapi ditransformasikan oleh public sebagai kesadaran membantu sesama.
Kompas memberikan ruang yang cukup besar bagi melimpahnya simpati publik atas nasib sesamanya. Saya tidak terkejut dengan liputan ini sebab saya tahu persis banyak yang turun tangan untuk membantu di lapangan, semata-mata demi keikhlasan. Saya mengenal banyak sahabat yang turun tangan menjadi relawan, tanpa mengharapkan sepeserpun imbalan. Tanpa tendensi politik apapun. Ketika masyarakat turun tangan dan melakukan segala hal yang semestinya di lakukan negara, maka itu adalah isyarat bahwa masyarakat tidak terlalu yakin negara akan melakukan tugasnya untuk mengkoordinasikan bencana.
Mungkin, liputan Kompas itu hendak membahasakan hal sederhana yakni; negeri ini bisa bangkit untuk membantu sesamanya, tanpa harus menunggu bagaimana negara bertindak. Ada semacam paradigma baru yang tumbuh di benak warga, ketimbang menyaksikan kelambanan negara yang turun membantu bencana, atau ketimbang menyaksikan politik pencitraan Partai Demokrat yang memenuhi tenda pengungsi dengan bendera partai, jauh lebih baik jika warga turun tangan, menyingsingkan lengan baju, dan melakukan sesuatu untuk sesama anak bangsa.
Ketika masyarakat lain turun tangan sendiri mengkoordinasi bantuan dengan caranya sendiri-sendiri, ketika rakyat tidak mau mengemis mengharapkan bantuan dari negara, ketika masyarakat memenuhi jalan untuk mengampanyekan solidaritas public, maka semuanya adalah tanda-tanda sedang terbentuknya lapis-lapis generasi baru yang mulai mandiri melihat masalah sosial di negeri ini.
Masyarakat kian tercerahkan bahwa niat mulia untuk membantu sesama tidak bisa diserahkan hanya pada negara, sebagai institusi yang mengemban amanah untuk melindungi warganya. Masyarakat membangun jejaring sosial baru, menyingsingkan lengan baju tanpa mengharapkan imbalan, serta bergerak bersama, adalah oase embun di tengah bencana. Sikap tersebut melahirkan genangan optimism bahwa kelak negeri ini akan jauh lebih baik karena masyarakatnya mulai kuat dan mandiri. Dan saya amat bahagia dengan kenyataan ini, sekaligus sedih ketika membayangkan aparat negara yang masih sibuk berkoordinasi.
Jakarta, 9 November 2010
Saat siap-siap sarapan pagi
0 komentar:
Posting Komentar