Bapak Saya, Bapak Paling Hebat di Dunia

SEMALAM, saya tiba-tiba saja teringat pada almarhum bapak. Tiba-tiba saja saya merindukannya untuk mengadu banyak hal atau bercerita tentang hal-hal yang sepele. Bapak meninggal sejak tahun 1997, tepat saat saya masih duduk di semester dua di Unhas. Bapak meninggal di saat saya belum bisa menghadirkan sedikitpun kebanggaan untuknya. Saat itu, saya hanya seorang mahasiswa pemalas yang tak punya apa-apa. Andaikan dia masih hidup sekarang, apakah gerangan yang dirasakannya? Apakah ia akan bahagia melihat anak-anaknya yang sudah menemukan jalan bahagianya? Ataukah ia masih memiliki misi yang belum dituntaskan?

saat saya masih bayi bersama ibu, bapak, dan kakak
Semalam saya tiba-tiba merindukan seorang bapak. Bagi saya, sosok bapak bukan sekadar sosok yang membesarkan dengan nyanyian di pagi hari atau sosok yang suaranya mengguntur kala membangunkan untuk salat subuh. Bapak bukanlah sekadar pria yang kepadanya pernah saya pasrahkan tubuh kecilku yang rapuh. Bukan cuma sosok yang pernah menggendong, memberikan kisah pengantar tidur, atau berbisik tentang kisah-kisah petualangan di negeri yang jauh.

Seorang bapak adalah matahari yang menerangi, memberikan napas untuk saya hirup satu per satu.  Dirinya adalah pohon kekar tempat saya bernaung dari panas dan matahari. Dirinya adalah sosok paling perkasa yang genggamannya amat kekar saat memeluk dan menghadirkan rasa aman.

Bapak adalah manusia paling luar biasa yang pernah saya kenal. Saya tak akan pernah kehabisan kisah saat diminta bercerita tentang bapak. Jika seluruh samudera bisa menjadi tinta, maka semuanya tak akan pernah cukup untuk menggambarkan cinta seorang bapak pada anak-anaknya. Bapak saya punya visi yang terentang amat jauh dan betapa inginnya dia agar kelak semua anaknya bisa menjadi manusia yang selamat jalan hidupnya. Bapak saya memiliki mimpi yang ditiupkannya ke ubun-ubun anaknya, sembari melantunkan harapan agar sang anak tidak menjadi beban sosial, agar kami anaknya bisa berhasil dan menata kehidupan yang lebih baik, sebagaimana dirinya.

Setiap kali mengingat sosok seorang bapak, saya membayangkan visi, kemampuan membaca masa depan, serta mimpi-mimpi yang diaktualkan dalam bentuk kasih sayang serta kesediaan untuk berkorban. Saya juga membayangkan keikhlasan yang tiada tara. Ia ikhlas bertugas sebagai guru di tengah hutan belukar hanya untuk mencukupkan nafkah buat keluarganya. Ia ikhlas bertemu keluarga hanya sekali seminggu demi mencukupkan gajinya demi anaknya yang tengah jauh bersekolah di negeri sana. Hidupnya yang singkat adalah kisah tentang dedikasi dan pengabdian pada keluarganya. Dan saya tak yakin apakah saya seluarbiasa dirinya untuk urusan yang satu itu.

Bapak saya juga seorang yang cerdas. Sewaktu kecil, saya sudah terbiasa melihat bukunya yang bertumpuk-tumpuk. Memang, kami tinggal di pulau kecil. Namun ia selalu punya akal untuk menghadirkan buku-buku. Sejak kecil, saya juga sudah terbiasa melihat dirinya memposkan wesel pos untuk memesan buku langsung ke penerbitnya dan beberapa minggu berikutnya paket buku akan tiba di rumah.  Sejak kecil, saya sudah terbiasa membaca buku sejarah, baik sejarah negeri ini maupun sejarah dunia. Pada beberapa buku, ia memperlihatkan ada naskah tentang dongeng atau kisah Ramayana dan Mahabharata.  Pantas saja jika bapak bisa mengisahkan Ramayana atau Mahabharata, jauh sebelum kisah itu popular di televisi.

Dulunya, saya tidak tahu apa makna buku-buku yang dikoleksinya. Saya masih kecil untuk paham apa saja yang dibacanya. Namun saat saya menyandang status sebagai mahasiswa program pascasarjana antropologi Universitas Indonesia (UI), saya lalu melihat ulang semua koleksi bapak saat pulang kampung.

Meskipun jumlah buku koleksinya tinggal sedikit –banyak yang dibuang percuma karena memenuhi rumah--, namun buku yang tersisa cukup untuk membuat saya amat tercengang. Bapak memiliki beberapa buku yang agak berat dan standar universitas. Saya kagum karena ia mengoleksi Ritus Sebuah Peralihan yang diedit Koentjaraningrat. Ia juga mengoleksi enam jilid buku Sejarah Nasional yang dikarang Nugroho Nutosusanto. Juga buku Sejarah Revolusi Perancis yang dikarang Simon Schama. Malah, ia juga memiliki Pemahaman Sejarah Nasional yang ditulis William H Ferederick, satu buku yang cukup langka di kalangan sejarawan. Jika semua buku itu kini termasuk buku langka yang diincar di perguruan tinggi, silakan anda membayangkan sendiri bagaimana wawasan bapak di masa itu.

bapak saya (dalam lingkaran merah) bersama ibu dan paman, serta kakak
Bapak memang seorang sejarawan. Dengan fasihnya ia pernah membahas tentang revolusi Perancis serta detik-detik ketika Louis XVI dipancung lehernya. Bapak juga amat fasih membahas revolusi Cina serta mengapa bangsa itu harus membangun tembok besar. Dari dirinya saya mendengar langsung kisah tentang tokoh-tokoh besar seperti Gandhi atau Deng Xiao Ping. Bahkan, setahun silam, saya bertemu seorang muridnya yang tiba-tiba mengisahkan tentang pengetahuan bapak tentang sejarah Australia.

Pernah saya bertanya, dengan pengetahuan serta koleksi buku yang dimilikinya, mengapa ia hanya menjadi guru kecil? Jawabannya sangat menyentuh. “Nak, saya ini punya tali pendek. Saya besar dari orang tua yang tidak mampu menyekolahkan tinggi-tinggi. Bisa menjadi guru sudah luar biasa buat saya. Makanya, saya berharap supaya kalian semua yang sekolah tinggi,” katanya.

Bapak saya adalah bapak terbaik yang pernah saya kenal. Bapak yang cerdas. Bapak yang penyayang. Bapak yang penuh dedikasi pada keluarganya. Dulu, saya sering tidak memahami sikap disiplinnya. Dulu saya sering tidak mengerti mengapa ia begitu tegas agar kami anak-anaknya memprioritaskan pendidikan. Suaranya sering mengguntur kala kami tidak belajar. Dulu, saya sering kesal mengapa ia begitu tegas dengan semua garis kebijakannya.

Kini, setelah memetik buah dari apa yang ditanamnya, saya tersentak bahwa semua tindakannya memiliki makna-makna yang menjadi pelita bagi hari-hari yang saya lalui. Ia seorang perancang masa depan yang sempurna bagi semua anaknya. Saya takut jika gagal menjadi dirinya yang membangun titian bagi keluarga besarnya. Tapi, semangatnya yang bikin merinding itu adalah sesuatu yang menggelegak, dan menjadi bara bagi semua yang akan saya capai di masa depan.

Apapun yang saya raih, bukanlah raihan seorang diri di tengah gempuran gelombang dan karang kehidupan. Semua yang saya dapatkan adalah ketegaran dan daya tahan yang dulu ditiupkannya pada napasku, sesuatu yang dulu dibisikkannya ketika kecil dalam dongeng dan kisah petualangan. Dan semangat saya menyala-nyala untuk meraih segala sesuatu yang gagal diraihnya hanya karena persoalan ekonomi. Saya akan menyempurnakan mimpinya. Ia telah melatih saya sebagai prajurit yang siap melanglangbuana demi menggapai pendidikan, bahkan di tempat jauh yang dulu hanya bisa dibacanya di buku sejarah. Pada tempat-tempat yang hanya bisa dikhayalkannya di pulau kecil tempat dirinya menjadi seorang nelayan kecil atau menemani ibunya berdagang kue di seberang lautan sana demi menggapai impian menjadi guru. Sebagai anaknya, saya siap berlari dengan langkah-langkah panjang, berkat napas dan mimpi besarnya.

Kini, ia telah berdiam abadi di alam sana, tanpa sempat melihat apa yang sudah diidam-idamkannya sejak dini. Mungkinkah ia sedang tersenyum di sana?



Jakarta, 3 November 2010

3 komentar:

Sinta Nisfuanna mengatakan...

indah banget! jadi kangen ma Abah di kampung :'(

atun mengatakan...

yuuuusss, saya menangis membacanya, saya sangat merindukan bapak

mila mengatakan...

sungguh indah..

Posting Komentar