Hampir semua restoran dan mal-mal di Jakarta penuh dengan menu makanan dari luar. Harganya bisa berlipat-lipat dari harga makanan di sekitar rumah kita. Kemarin siang, saya makan siang di sebuah warteg dan hanya membayar lima ribu rupiah. Malamnya, saya makan di sebuah restoran Jepang yang harga makanan per porsi lima puluh ribu rupiah. Bagaimana dengan rasa? Nggak ada bedanya. Rasanya sama. Ketika di leher seolah beda, namun saat di perut, sama saja. Kelak, makanan itu akan jadi tai busuk dan keluar lewat dubur. Lantas, di manakah letak pengaruh mahal dan tidaknya sebuah makanan?
makanan Jepang |
Soal mahal dan tidak, itu hanyalah masalah selera yang dikonstruksi oleh konsep-konsep di sekitar kita. Kebudayaan menjadi bingkai yang mengatur-ngatur selera di pikiran kita, termasuk membisiki mana yang berselera tinggi dan mana yang berselera rendah. Kita seperti kuda delman yang berjalan lurus karena ada penutup mata yang hanya menggiring ke satu arah yakni ke depan. Penutup mata itulah yang disebut kebudayaan dan menentukan ke manakah kita hendak bergerak.
Nah, kebudayaan telah membuat kita mengidap satu paradoks. Pilihan kita akan sangat berbeda saat hendak makan di rumah, dan saat makan di sebuah mal. Saat di rumah, Anda tidak terlalu suka milih. Sepanjang makanan itu mengenyangkan dan bisa menyingkirkan lapar, maka pastilah Anda menikmatinya. Tapi akan berbeda ketika Anda berada di mal. Di sini, Anda akan memilih sesuatu berdasarkan kriteria keren atau tidak, nyaman atau tidak, ataukah suasananya nyaman ataukah tidak. Nah, Anda mulai membahas suasana. Mulai membahas mana yang bisa membuat citra diri naik. Bukan lagi soal makanan. Anda mulai membahas bagaimana kebudayaan bekerja.
Pernah sekali saya memberanikan diri makan donat di J.Co. Tahukah Anda, usai makan donat itu, saya terus-menerus membandingkan dengan roti donat yang dijual di pinggiran rumah saya di Bau-Bau, yang hanya seharga Rp 200. Sementara di J.Co, nilai donat itu adalah Rp 50.000. Dari sisi rasa sama, namun harga amat beda. Bukankah ini paradoks? Lantas, apa yang dicari saat makan di J.Co, jawabannya adalah sebuah petualangan mencoba sesuatu yang mahal, serta konsep kita tentang citra diri yang berkelas. Nah, bagaimanakah menjelaskan fenomena ini?
Saya menyebutnya penjajahan pikiran atas perut. Di saat perut hanya butuh kepuasan kenyang, pikiran bisa bercabang-cabang dan minta macam-macam. Pikiran kita begitu tinggi hati dan menuntut macam-macam. Ia bisa minta donat J.Co atau minta makanan fast food atau minta makanan lain yang mahal-mahal. Itulah kerja pikiran. Sebuah kerja yang seringkali tinggi hati. Nah, kerja pikiran itu selanjutnya diserahkan pada perut yang segera mengolahnya. Perut amat rendah hati dan tak mau milih-milih. Semua makanan mahal itu akan diperlakukan sama. Semua makanan itu akan digiling oleh usus, disimpan dalam lambung dan diberi enzim penghancur, diremas usus besar, dan keluar melalui dubur.
Tapi saat di perut, semua yang mahal itu diperlakukan sama. Semua diolah menjadi tai yang busuk dan keluar lewat dubur. Mungkin ini semacam isyarat alam bahwa pada akhirnya semua yang kita lihat dan kagumi itu hanyalah permukaan belaka. Pada akhirnya semua tak lebih dari sesuatu yang dibuang percuma, yang levelnya tak beda dengan apapun sepertinya, tak peduli berapa harganya. Makanya, jauh lebih bijak jika melihat sesuatu pada level substansial, ketimbang hanya melihat permukaan saja.(*)
0 komentar:
Posting Komentar