Dewi Lestari (Dee) saat bersama Dwiagustriani |
SETIAP penulis selalu memulai langkah dengan cara meniti jalan seseorang yang lebih dulu membangun jalan setapak di rimba kepenulisan. Ia akan menelusuri tapak di belukar yang telah dibersihkan, mencari titik paling aman demi melepaskan gagasan, lalu menelusuri bangunan ide lalu perlahan menyusun fundasinya sendiri, membangun konstruksi ide, lalu mengisinya dengan napas dan sukma baru.
Siapapun yang menjejakkan kaki di dunia kepenulisan, pastilah memahami bahwa inspirasi adalah sesuatu yang amat mahal untuk digapai. Makanya, setiap penulis pasti punya penulis favorit, kepada siapa ia belajar bagaimana menarik garis di satu halaman kosong, kepada siapa ia belajar menyapukan warna-warna, dan sosok yang menunjukkan bagaimana memulai tradisi kepenulisan, menghadirkan bunga-bunga untuk disematkan dalam karya.
Istri saya Dwiagustriani tengah menganyam impian untuk melahirkan sebuah tulisan. Ia membaca beberapa karya tulis demi menentukan pada koordinat manakah kelak ia akan berpijak dan meneropong sesuatu lewat kata. Ia mengidolakan seorang penulis yang pernah mengejutkan jagad kepenulisan sastra negeri ini. Ia mengidolakan Dewi Lestari, seorang penulis yang sebelumnya berprofesi sebagai penyanyi. Ia membaca semua karya Dewi Lestari, mulai dari Supernova (Ksatria Putri dan Bintang Jatuh), Supernova 2 (Akar), Supernova 3 (Petir), Filosofi Kopi, hingga Perahu Kertas.
Ia melahap karya Dewi sebagaimana kerakusan ketika melahap mie pangsit atau bakso Mas Panjul di Jalan AP Pettarani Makassar. Ia menggemari bait-bait kata Dewi dan dibacanya dengan cara pelan-pelan, agar semua kata-kata itu meresap dan memberikan rasa dalam jiwa. Kerap saya perhatikan, saat-saat ketika dirinya bertemu karya Dewi dan menikmati karya itu dengan ekspresi seperti sedang menikmati es krim Magnum. Degan cara pelan-pelan, es krim tersebut akan lama habis. Dan selama proses menikmati itu, jiwanya terus dipenuhi genangan rasa yang sukar dilukiskan dalam kata. Ia tengah menikmati sebuah soul soup, sebuah sup bagi jiwa.
Bagaimanakah rasanya jika benar-benar bertemu dengan penulis idola? Pasti rasanya akan sangat luar biasa. Beberapa tahun lalu, saya pernah merasakannya ketika bertemu langsung Seno Gumira Adjidarma, sang penulis idola saya sejak kuliah. Setelah Pramoedya Ananta Toer, Seno adalah penulis favorit yang semua karyanya saya koleksi. Saat bertemu, rasanya sukar dijelaskan dalam kata. Saya tak pernah lupa dengan momen-momen itu, hingga blog inipun saya beri nama Timur Angin, sesuai nama putra Seno. Sebagaimana Timur Angin yang merupakan anak kandung Seno, bukankah blog ini adalah anak kandung semua gagasan saya?
"Mbak Dewi,... gimana caranya jadi penulis seperti Mbak?" |
Saya telah merasakannya. Sayapun ingin agar Dwi merasakannya. Beberapa hari yang lalu, saya sukses mempertemukan mereka. Tidak sekadar bertemu, Dewi juga mengajarkan beberapa trik menulis, serta pengalaman pribadi bagaimana memulai dan mengisi sebuah tulisan. Sebagai seorang yang menggemari menulis, sayapun ikut larut dalam pertemuan tersebut. Bahkan ada beberapa kata-kata Dewi Lestari yang membekas dalam pikiran, khususnya saat mengatakan, “Musuh utama seorang penulis adalah halaman kosong. Makanya, ia akan menghabiskan waktu untuk mengisi halaman kosong tersebut dengan tulisan.”
Sungguh mengasyikkan bisa bertemu Dewi. Tak hanya manis dalam menyihir kata-kata. Ia juga manis dalam menjelaskan gagasannya. Saya kian paham kalimat seseorang, bahwa tulisan adalah cermin bagi bagi jiwa. Jika jiwa kita jernih, maka akan tercermin lewat kejernihan tulisan kita sendiri. Kejernihan dan ketenangan, serta kecerdasan itulah yang saya temukan lewat sosok Dewi lestari, idola istri saya. Semoga kelak jalan setapak yang dibangun Dewi akan disusuri banyak penulis pemula yang tengah mencari bentuk, termasuk Dwi sendiri.(*)
0 komentar:
Posting Komentar