Identitas Tukang Cukur "Madura"

foto ilustrasi koleksi Dwi Joko

TADI saya singgah memangkas rambut di Tukang Cukur Madura. Baik di Bau-Bau, Makassar, ataupun Jakarta, saya selalu mengunjungi tukang cukur Madura. Saya cukup familiar dengan cara kerja mereka. Saya juga cukup paham bagaimana proses mencukur, mulai dari menggunakan alat elektronik, hingga gunting manual. Saya cukup menikmati prosesnya. Meskipun terkadang saya kesal juga dengan handuk yang sejak puluhan tahun lalu sudah dipakai mengelap wajah, dan tidak pernah dicuci hingga saat mengelap wajah saya. Jangkrik!

Saya cukup bisa berdamai dengan peralatan seperti handuk, serta kain busuk yang terhampar di badan untuk menutupi dari rambut yang berjatuhan. Sebab saya selalu menunggu bagian akhir dari proses bercukur yakni proses pijat di tengkuk dan kepala. Ketika seorang tukang cukur Madura memijat, saat itu juga semua beban di kepala seakan berguguran. Usai dipijat, pikiran jadi lebih plong. Saya lebih enteng berjalan.

Tadi, saat bercukur, saya mendengarkan dialog antara dua pria sesame tukang cukur. Nah, saat dialog itu, saya menemukan sebuah fakta yang cukup menarik. Ternyata keduanya bukan berasal dari Madura. Mereka berdialog dengan bahasa Sunda dengan fasih. Di tempat itu, hanya ada empat kursi yang menadakan bahwa hanya ada empat orang pencukur. Dan kesemuanya menggunakan bahasa Sunda saat berdialog. Saya merasa amat aneh mendengarnya. Mengapa aneh? Sebab jelas-jelas di luar terdapat plang yang bertuliskan “Tukang Cukur Madura.” Lantas, apakah plang itu berbohong?

Jika dilihat dari kesesuaian antara plang dan identitas mereka, maka tentu saja ada proses pembohiongan di situ. Tapi jika dilihat dari sisi ekonomi, maka yang sedang terjadi di situ adalah sebuah siasat atau strategi untuk menggaet konsumen sebanyak mungkin. Para tukang cukur tersebut memahami kekuatan sebuah branding tukang cukur Madura, sehingga mereka memutuskan untuk memakai nama itu saat memulai bisnis. Bukankah mereka sangat kreatif?

Entah, sejak kapan dan siapa yang memulai, ada sejumlah profesi yang tiba-tiba melekat dan menjadi milik etnis tertentu. Mungkin ini hanyalah semacam konvensi di masyarakat, yang entah apakah disepakati ataukah tidak. Yang jelas, tukang cukur selalu identik dengan Madura, demikian pula dengan warung makan yang identik dengan Padang. Tapi jika kita teliti satu per satu tukang cukur atau warung makan itu, maka kita akan terkejut akan menemukan fakta bahwa tidak semuanya berasal dari daerah tersebut.

Lantas, apa menariknya membahas hal ini? Dari sisi ilmu sosial, ini jelas menarik. Sebab kian terang menunjukkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang jatuh darilangit, namun merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara terus-menerus. Anda memang tidak bisa memilih hendak lahir dan besar di mana, namun Anda bisa memilih hendak menjadi apa dan berpenampilan seperti apa. Malah, Anda bisa memanipulasi sesuatu.

Memang, kebudayaan akan menentukan cara-cara kita melihat dan menginterpretasi sesuatu, namun manusia memiliki kapasitas kreatif untuk mengkonstruksi identitas, serta memilih apa yang tepat bagi dirinya, tanpa harus dipaksa oleh lingkungan dan sejarah asal-usul. Buktinya, seorang Sunda bisa saja memilih identitas Madura. Nah, dalam kasus tukang cukur asal Sunda itu, ia telah memilih sebuah identitas sebagai penanda di satu plang. Ia membuktikan dirinya sebagai manusia yang kreatif, yang tidak bersedia dikendalikan oleh sesuatu. Ia memilih identitas Madura sebagai bentuk strategi dagang, sekaligus pernyataan bahwa manusia bisa lahir di mana saja, namun manusia selalu memiliki kapasitas memilih hendak ke mana dan jadi seperti apa. Bukankah demikian?

0 komentar:

Posting Komentar