Tiah Bermalam di Kos

18 November 2006

KAKKAKU TIAH datang dan bermalam di rumahku yang luas ini. Akhirnya, ada juga keluargaku yang datang langsung melihat kehidupanku di Jakarta. Selama ini, mereka hanya mendengar bagaimana susahnya saya di Jakarta.

Kini, mereka sudah bisa mendengar penuturan Tiah yang datang ke Jakarta untuk membawakan presentasi tentang gizi dan kesehatan. Ia adatang bersama suaminya Kak Syam.

Saya menemui mereka di Pusat Perbelanjaan Mangga Dua. Seperti halnya orang daerah lain yang datang, mereka sangat mengagumi kota yang sumpek ini. Mereka tercengang melihat Jakarta dan menilainya sangat megah jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia.

Mereka keliling ke berbagai pusat perbelanjaan dan menghabiskan banyak uang. Saya heran juga melihat gaya hidup mereka yang sangat boros. Untuk rekreasi di Dunia Fantasi, Ancol, mereka harus carter mobil sebesar Rp 300 ribu. Padahal, saya sudah kasih saran untuk naik kereta ke Stasiun Jakarta Kota dan membayar Rp 1.500 per orang. Kemudian naik taksi dan bayar cuma Rp 25 ribu.

Katanya sih, mau mengelilingi semua kawasan Ancol. Padahal, untuk mengelilingi Dunia Fantasi di ANcol saja, waktu sehari tidaklah memadai. Kayaknya, mereka dikerjai sama pemilik rumah yang mereka tempati. Mereka dikira orang kaya dari Makassar yang hendak berbelanja dan menhabiskan juang di Kota Jakarta. Yah, itulah persepsi warga Jakarta terhadap kami para pendatang.

Kembali ke borosnya pengeluaran kakakku. Seingatku, mereka sedang membangun rumah. Mereka selalu memikirkan biaya pembuatan pagar. APa boleh buat. Mereka dikerjai.

Semalam, kakakku akhirnya datang melihat kos-kosanku. Saat tiba di kos, ia beberapa kali tercengang. Ia tak menyangka kalau aku memiliki kos-kosan yang begini besar. Ia terheran-heran melihat kos-kosanku yang katanya sangat mewah untuk ukuran mahasiswa.

Saya cuma beruntung saja. Rumah kos ini begitu luas dan baru saya yang menempatinya. Dikarenakan sendirian, saya sering ketakutan di malam hari. Apalagi, seorang temanku di UI sering menakut-nakuti dan mengatakan kalau biasanya ada mahluk gaib yang menempati rumah kosong.

Kalau ditanya tentang apakah percaya sama mahluk gaib, saya selalu menjawab tidak. Saya menjawab itu karena nggak mau dibilang takut. Padahal, sesungguhnya saya sangat ketakutan pada mahluk baik yang bernama setan, iblis ataupun jin.

Saya pernah mendengar seorang antropolog yang mengatakan kalau ketakutan pada mahluk gaib adalah simbol dari kurangnya pengetahuan serta ketidakmampuan menggunakan sains sebagai cara untuk membaca berbagai gejala sosial.

Mahluk gaib juga kerap didefinisikan sebagai manifestasi dari ruang tertentu dalam diri manusia yang gagal mencapai Yang Maha Sempurna. Sebuah bentuk kegagalan mencari jawab secara metafisis atas berbagai persoalan yang dihadapi.

Berbagai defenisi itu tak juga mampu memutus lingkaran ketakutanku. Tetap saja khawatir dan membayangkan tiba-tiba saja ada sesuatu yang aneh. Malah, saat tidur aku suka terjaga kalau ada bunyi yang mencurigakan. Padahal, bisa jadi itu hanya bunyi tikus got yang sedang berlarian di selokan. Atau bisa jadi itu hanya bunyi logam yang memuai akibat cuaca dingin.

0 komentar:

Posting Komentar