Aku Tidak Takut Mati.....

AKU merasa terancam. Jiwaku sedang tercekat dan dikepung oleh rasa salah di masa lalu. Aku dituduh menyakiti seseorang dan seseorang itu telah menjatuhkan vonis yang tak terampuni.

Aku agak resah. Aku tak banyak berbenturan dengan konflik yang begitu dahsyat. Tapi, teman itu seakan tak peduli dan ngotot untuk menantangku bertarung. Ia tak peduli dengan setumpuk maaf yang aku lantunkan. "Pokoknya, kita harus duel dengan badik. Satu lawan satu, titik," katanya.

Tiba-tiba saja, aku terjebak dalam satu situasi yang tidak kuinginkan. Aku menjadi kambing hitam dari sebuah kesalahan yang dilakukan secara kolektif. Aku bakal menjadi tumbal dan terjerembab dalam sesuatu yang begitu kubenci.

Ah, awalnya aku ketakutan. Aku membayangkan sebuah duel klasik yang kerap ditunjukkan orang Bugis di masa silam. Dua lelaki memegang badik dan masuk dalam satu sarung dan saling tikam hingga modar. Dua lelaki dengam membawa sebilah badik sebagai perlambang dari kehormatannya. Bertarung hingga tetes darah terakhir.

Ingatan itu begitu kuat menghantuiku. Aku agak ngeri membayangkannya. Aku selalu tak ingin berada pada situasi konflik. Namun, apa boleh buat. Aku sudah tercebur dan tak punya banyak pilihan lagi.

Aku merenung selama beberapa hari. Di ujung perenungan itu, tiba-tiba saja sekelebat ide berseliweran di benakku. Ah, ini cuma perkara sederhana dan semestinya tak perlu didramatisir. Perkara yang semestinya bisa diselesaikan di meja perdamaian. Bukannya di medan laga.

Tiba-tiba saja aku tak takut dengan duel. Saat teman itu meneleponku, aku langsung berkata,"Jika itu memang pilihan terakhir untuk menuntaskan dendam kesumatnya, maka biarlah itu kita lakoni sama-sama."

"Jika memang itu menjadi cara terakhir untuk menyelesaikan masalah ini, apa boleh buat. Aku siap menjalaninya," kataku.

Aku menawarkan kata damai dan tidak malu-malu mengakui kesalahan. Tapi dasar teman ini menang seorang preman yang suka menyelesaikan masalah dengan duel. Ia tak peduli dan menampik tawaran damai dariku. Seolah-olah tak ada lagi cara lain selain dari berkelahi. Aku harus masuk dalam skenario yang dia buat untukku.

Aku tak mengira bakal berada pada situasi ini. Awalnya, aku berpikir akan ke Makassar demi menghirup wanginya cinta kasih di sana. Namun, semuanya jadi berubah.

Di ujung perenunganku, aku jadi tidak takut pada kematian. Dengan sedikit bergurau, aku berkata pada temanku Adi kalau kematian akan menuntaskan semua urusan dan cita-cita kita yang kandas.

Kematian hanyalah sebuah gerbang untuk memasuki kehidupan baru. Suatu titik kepastian yang menjadi ujung dari ziarah manusia dalam menelusuri belukar kehidupan yang penuh kepekatan.

Kematian adalah penyempurna dari seluruh gerak dan energi manusia. Sebuah titik di mana manusia akan bertransformasi dan bermetamorfosis ke dalam kehidupan baru. Satu titik cerah baru dari gelapnya kehidupan.

Hanya saja, aku agak tercekat jika mengingat mereka yang mengasihiku dengan sepenuh hati. Aku agak sedih membayangkan mereka yang tak bosan-bosan meneteskan cintanya dan tak mengharap balasan. emang, aku belum melakukan apa-apa. Aku masih berada pada titik yang jauh dari apa yang kucita-citakan.

0 komentar:

Posting Komentar