Seminggu di DPR

AKU menjalani hari-hari yang sangat melelahkan. Kembali aku menjalani rutinitas yaitu kuliah dan kerja. Dua entitas yang kugeluti selama berada di Jakarta, kota tempat aku melabuhkan semua impianku.

Tak ada yang istimewa minggu ini. Kecuali aku banyak menyampaikan gagasanku di beberapa mata kuliah di kelas. Sampai-sampai, dosen favoritku yaitu Ignas kleden harus menoleh terus padaku selama materinya berlangsung.

Seakan-akan aku akan terus bertanya dan berdebat dengan dia. Bahkan, ketika Ignas memaparkan banyak contoh, ia selalu menyebut nama saya sambil menoleh. Ah, aku jadi tidak enak kepada teman-teman yang kuliah di program doktoral karena perhatian Ignas padaku yang begitu besar. Seakan-akan, Ignas terpesona denganku. (geer nih)

Pada mata kuliah yang diasuh Iwan Tjitradjaja, aku selalu tak bisa menahan keinginanku untuk selalu mengacungkan jari. Aku berpendapat dan mengajukan jawaban atas berbagai hal. Aku melihat kalau Pak Iwan tersentak juga karena selama ini aku dikenalnya sebagai mahasiswa magister yang pendiam dan tak banyak omong. Hari Senin lalu benar-benar berbeda.

Minggu ini juga, aku resmi masuk kantor. Aku resmi menjadi Staf Ahli DPR RI. Aku ditempatkan sebagai staf ahli di panitia Ad Hoc III. Selain itu, aku juga diminta menjadi asisten pribadi dari Faisal Mahmud, Wakil Ketua PAH III yang juga merupakan anggota DPD asal Sulawesi Tengah.

Aku agak mengalami gegar kultur (shock culture). Bayangkan, setiap hari aku harus berpakaian rapi dan mengenakan batik atau kemeja ketika masuk kantor. Aku juga harus mengenakan celana kain agar terlihat rapih saat berada di kantor.

Tahu sendirilah kalau aku seorang jurnalis yang terbiasa berpenampilan cuek. Terbiasa berpenampilan berantakan. Bagiku, penampilan hanya aspek keseribu dan tidak mencerminkan prilaku dan kecerdasan seseorang.

Tapi itu dulu. Aku memasuki dunia lain yang menbutuhkan semua derajat formalitas. Tapui tak hanya itu kok.

Terus terang, aku juga canggung karena tidak punya banyak pakaian. Terpaksa, aku meminjam baju dan celana yang dimiliki teman-teman. Aku pinjam sepatu kulit dan baju batik dari si Antar. Celana dari Indra, hingga parfum dari Fiar. Yah, pakaianku serba pinjaman.

Aku terlihat bergaya. Saat menuju Press Room di DPR, teman-temanku banyak yang heran dengan penampilanku. Malah, si Jannes (Rakyat Merdeka), juga Aco (Kompas), serta Fajri (Detikcom) menuduhku sebagai borjuis baru. Kata mereka,"Wah, sama sekali tak nampak penampilan dari seorang mantan aktivis. Yang ada adalah sang borjuis." Ah, mereka bisa saja. Aku hanya bisa tersenyum-senyum.

Kerjaan selama seminggu ini belum banyak. Mungkin karena aku masih diberi kesempatan untuk beradaptasi terhadap situasi yang aku hadapi. Makanya, yang aku lakukan hanyalah mengikuti rapat yang digelar PAH III yaitu tentang RUU Anti Trafiking (perdagangan manusia), hingga rapat paripurna.

Aku merasa bisa belajar banyak hal di situ. Pak Faisal menyarankan aku untuk mempelajari semua Tatib DPD serta tugas-tugasnya. Ini berguna agar kelak aku bisa membantunya menyusun berbagai aturan perundang-undangan serta mempertajam debat yang terjadi di ruang sidang.

Saat rapat paripurna, aku merasa mulai bisa mengenali apa yang sesungguhnya terjadi dengan DPD. Makanya, aku banyak cerita sama temanh-teman kalau posisi DPD sungguh memprihatinkan. Lembaga ini seakan-akan tak berdaya sebab tak punya kekuasaan. Lembaga ini hanya bisa memberikan rekomendasi kepada DPR. Malah, dalam banyak hal, DPD justru dilecehkan atau dipandang sebelah mata oleh anggota DPR. Kasihan !!!

Aku justru melihat kalau ini adalah manifestasi dari tidak konsistennya negeri ini menerapkan sistem bikameral. DPD dibentuk tapi sama sekali tak diberi kewenangan untuk merumuskan banyak hal. Yang terjadi adalah lembaga ini hanya berfungsi sebagai pemberi stempel terhadap berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah.

dalam paripurna itu, aku mendengar berbagai keluhan dari anggota DPD yang posisinya serba tanggung. Posisi mereka seakan tak jelas sebab hanya membahas berbagai hal namun itu hanya bersifat rekomendasi kepada pemerintah. Pembahasan yang tak punya kekuatan hukum untuk menetapkan sesuatu.

Mungkin ini adalah ironi negeri ini. Berbagai sistem dicoba, berbagai mekanisme dibangun, berbagai strategi digelar, namun ujung-ujungnya hanya untuk memboroskan anggaran. Negeri ini tak pernah bisa belajar banyak dari berbagai lembaga serta pranata yang dibentuk namun tak punya substansi yang jelas.

0 komentar:

Posting Komentar