Inikah Ironi Kapitalisme?


KADANG aku merasa malu dengan isi pesan di friendster ini. Nyaris tiap pesan hanya berisi gugatan pada situasi yang aku jalani. Lebih berisi lagu sunyi tentang pilihanku meniti karier di Jakarta. Pilihan untuk "berdarah-darah" demi sesuatu yang hingga kini tak terang benar dalam pikiranku.

Tapi aku benar-benar tak berdaya. Aku benar-benar tak tahu hendak bercerita apa dalam menghadapi situasi yang aku sendiri tak menduganya. Situasi yang memaksaku untuk bertahan hidup di kota ini sembari menahan lapar dan belajar keras. Itu dalam suasana prihatin.

Aku khawatir kalau-kalau Allah sedang menurunkan cobaan. Mungkin aku pernah melakukan sebuah kesalahan hingga hukum kausalitas tiba-tiba berlaku atasku. Yah, aku cuma bisa menelusuri seluruh belukar pengalamanku. Mencari kalau-kalau ada hal yang terlewatkan dan bisa berakibat fatal. Tapi... ah, biarlah aku belajar mengatasi ini.

Namun, tetap saja ada yang positif dari menulis di blog ini. Ini bisa menjadi curhat yang sangat efektif. Setiap aku selesai menulis di sini, terasa beban berat itu benar-benar berkurang. Tiba-tiba saja, aku sedikit tenang dan napasku sedikit lega. Sebuah himpitan perasaan seakan lepas sebagaimana sayap elang yang mengangkasa.

Yah, kembali ke inti masalah. Sebuah kesedihan kembali mengiris sisi relung hatiku. Gaji yang semestinya udah cair sejak kemarin di PT VSM, kembali tertunda. Tak ada jawaban atau pemberitahuan tentang alasan penundaan. Tak ada juga sebuah kata yang bisa ngasih ketenangan kalau terjadi kesalahan teknis.

Ini adalah untuk kelima kalinya. Sejak tanggal 1 September, beberapa bos perusahaan itu tak henti mengumbar janji dan harapan kalau gaji akan segera cair. Kini, udah tanggal 19 September. Artinya, selama 19 hari aku terus diberi janji kalau gaji akan segera mengucur.

Mungkin ini adalah manifestasi langsung dari berbagai teori tentang kapitalisme. Betapa kapitalisme hanya bisa menginjak-injak nasib semua karyawannya tanpa bisa memberikan solusi atas apa yang terjadi. Nasib buruh laksana bola salju yang dengan bebasnya ditendang ke sana-sini.

Tapi itulah watak zaman. Selalu saja ada pertaruhan hendak memilih sikap yang mana dalam hidup. Selalu saja ada kesempatan yang harus dimanfaatkan untuk memilih posisi dan sikap tegas, apakah memilih jadi anak buah yang tertindas ataukah bisa mencari alternatif dan menerabas tembok penindasan itu.

Di kota yang asing ini, aku merasakan situasi menjadi korban kapitalisme. Tiba-tiba saja aku menjadi buruh yang hingga kini tak berdaya dan hanya bisa berujar lirih tentang situasi.

Apa aku harus berteriak? Mungkin itu bisa jadi solusi. Beberapa kali aku telah berteriak demi melepaskan semua bebanku. Apa aku harus lapor polisi? Ah, aku tak punya duit. Sudah bukan rahasia lagi jika berurusan dengan kepolisian, kita harus berani mengeluarkan duit demi mengongkosi perkara.

Lagian, aku merasa tidak enak jika harus lapor polisi. Seolah-olah sudah tak ada lagi pertemanan. Bagaimanapun, semuanya harus bisa kuatasi dengan cara bagaimanapun. Episode terakhir dari pilihanku adalah minta uang sama kakak. Meski itu harus dilakukan jika benar-benar tak ada pilihan.

Ah, aku agak heran dengan sikap sahabatku Si Adi. Tak henti-hentinya ia menjelaskan kondisi perusahaan yang morat-marit hingga memaksa bos menunda pembayaran gaji. Aku heran kok pembelaannya pada perusahaan itu begitu besar sementara dia tak mau mendengar apa masalahku.

Apakah dia tahu kalau aku betul-betul tak punya duit untuk makan? Apakah dia tahu kalau aku harus tinggal di tempat teman-teman Makassar dan selalu minta ditraktir lantaran tak punya duit? Apa dia tahu kalau beberapa kali aku menangis lantaran benar-benar tak punya duit.

Dalam satu kesempatan, ia pernah protes. "Kenapa hanya kamu yang stres pikir gaji sementara anak-anak lain di perusahaan itu tidak stres?"

Apakah Si Adi tahu kalau rata-rata teman-teman di situ punya rumah sendiri sehingga tidak masalah jika gaji tidak dibayar. Sementara aku cuma seorang rantau yang hanya bisa melakukan refleksi sedih atas apa yang terjadi.

Yah, pada akhirnya aku cuma bisa mengeluh. Orang kecil adalah mereka yang menyadari kalau suaranya seakan tak berdaya. Mereka yang menyadari kalau dirinya hanyalah bagian terkecil dari bekerjanya sebuah sistem bernama semesta. Mereka yang hanya sudah bekerja keras dan bisa menjelmakan kesedihan dalam benak. Sementara di tempat lain ada majikan yang berdalih "Tak ada uang perusahaan. Sorry karena sudah kerja tanpa digaji. Kita lagi bangkrut," katanya dengan nada angkuh.

0 komentar:

Posting Komentar