Arjun Appadurai dan Sensasi Globalisasi




SEMALAM aku membaca beberapa wawancara dan tulisan dari antropolog India yaitu Arjun Appadurai. Aku tertarik membaca Appadurai karena nyaris dalam setiap literatur globalisasi, nama Appadurai pasti disebut. Ia memiliki concern yang sangat dalam pada studi tentang globalisasi sebagai sebuah gejala kebudayaan kontemporer. 

Aku rasa, analisis Appadurai lebih jenial jika dibandingkan dengan Alvin Toffler yang terkenal itu. Meski bacaanku pada Toffler tidak banyak, namun aku bisa merasakan kalau Toffler hanya berkutat pada masa depan (maklumlah, ia kan futurolog), sedangkan Appadurai justru menyelam jauh ke dalam masa kini dan masa lalu. 

Ia menelusuri dampak globalisasi serta menjelaskan fenomena ini ke dalam berbagai istilah mulai dari ethnoscapes, mediascapes, technoscapes, financescapes, dan ideoscapes. Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan Appadurai dengan Toffler. Tidak kok. Aku hendak berkata kalau studi Appadurai tentang globalisasi sungguh unik. 

Selama ini, wacana globalisasi banyak diwarnai oleh analisis ekonomi politik internasional. Aku jarang menemukan analisis terhadap globalisasi yang melihatnya dari sisi kultural serta implikasi metodologisnya pada perubahan sosial. Kalaupun ada yang menganalisis aspek kultural, maka biasanya itu dilakukan para sosiolog dan analisis itu kerap hanya berada di permukaan dan tidak menyelam jauh ke samudera persoalan. 

 Namun Appadurai berbeda. Aku melihat Appadurai sebagai seorang "Dilthey India" yang melakukan kritikan pada sejarah hari ini sekaligus membangun proyek epistemologi yang tidak didominasi oleh tradisi positivistik. Tidak dikuasai oleh pandangan yang Eropasentris atau wacana dominan sebagaimana digunakan "barat" ketika memandang "timur." 

Wajar saja kalau nama profesor ini kemudian ditempatkan pada gerbang pemikir cultural studies sebagaimana Edward Said, Stuart Hall, ataupun Michel Foucault. Appadurai juga melakukan refleksi internal sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Talal Asad dalam karyanya Anthropology and The Colonial Encounter. 

Refleksi ini bermuara pada gagasan kalau ada krisis atau masalah dalam dunia epistemologi. Bahwa ada mekanisme kuasa yang tengah bekerja dan bersemayam di balik sains. Sesuatu yang kemudian digunakan sebagai lanjutan dari proyek kolonialisme dan imperialisme. Mungkin refleksi itu bisa dilakukan karena ia dibesarkan di India sebagai bagian dari negara dunia ketiga. 

Justru dengan identitas India itu, Appadurai kemudian memiliki ciri dan wawasan tersendiri ketika menjadi konsultan senior di Global Initiatives at The New School di New York. Di kota New York pula, Appadurai mendapatkan penghargaan kehormatan sebagai profesor sebagaimana John Dewey dalam bidang ilmu sosial. 

Hingga kini, Appadurai menjadi Provost and Senior Vice President for Academic Affairs at The New School. Ia lahir dan belajar di Bombay. Dia belajar di St. Xavier's High School and melanjutkan pendidikan di Elphinstone College sebelum datang ke Amerika Serikat (AS). Dia meraih gelar BA dari Brandeis University pada tahun 1967, dan gelar M.A. (1973) serta Ph.D. (1976) dari Universitas Chicago. 

 Nah, apa yang khas dari pandangannya tentang globalisasi? Appadurai menguraikan kalau globalisasi bukan sekedar proyek homogenisasi. Homogenisasi ini menjadi concern studi dari para pengamat globalisasi seperti Francis Fukuyama, Dennis Goulet, ataupun dari beberapa pengamat media massa seperti Hammelink dan Schiller.

Jika yang lain melihat adanya proses penyeragaman budaya, maka Appadurai justru melihat perubahan yang tidak berlangsung secara linear. Menurutnya, ada respon lokal atau adaptasi secara lokalitas terhadap semua proyek keseragaman tersebut. Respon itu kemudian melahirkan sebuah bentuk heterogenitas. Adaptasi lokal ini menyebabkan adanya variasi atau keberagaman dalam merespon satu kebudayaan. 

 Hadirnya Coca-Cola tidak lantas membuat warga Indonesia serentak menjadi anak kandung kebudayaan barat. Tapi terjadi adaptasi dan respon yang bisa jadi berbeda dengan barat. Jangan heran kalau melihat warga Indonesia menganggap makan di McDonald sebagai hal yang mewah, padahal di AS itu justru dilihat sebagai “junk food” atau makanan sampah Appadurai juga melihat proses perubahan kebudayaan itu terjadi pada cakupan atau scope yang kecil. 

Ini bisa menjelaskan kalau Korea sempat mengalami proses Jepangisasi, Srilanka mengalami Indianisasi, Kamboja mengalami Vietnamisasi, hingga Rusianisasi untuk orang Armenia dan Baltik. Proses perubahan budaya ini berlangsung secara tidak sadar dan berada pada mindset atau kerangka berpikir. Artinya, globalisasi tidaklah sekedar proyek barat ke negara dunia ketiga namun lebih dilihat sebagai aspek pelebaran ruang yang kemudian membawa implikasi pada aspek metodologis. 

Bukan sekedar aspek geografis tapi lebih merujuk pada aspek psikografis yang bermuara pada gaya hidup dan sikap dalam memandang sesuatu. Lantas, apa yang menyebabkan perubahan itu? Appadurai melihat aktivitas kebudayaan yang kerap disebutnya sebagai IMAJINARY atau proses imajinasi sosial. 

Menurtnya, iamajinasi itu dibentuk dari lima dimensi mengalirnya kebudayaan global yaitu Ethnoscapes, Mediascapes, Technoscapes, Financescapes, Ideoscapes. Istilah SCAPE, digunakan untuk menggambarkan secara lebih dalam konstruksi perspektif yang ada dalam sejarah, linguistik, dan politik, yang diperankan secara berbeda oleh sejumlah aktor dalam konteks nation-state, multinasional, komunitas diasporik. 

Ini juga termasuk kelompok sub nasional yang berpindah-pindah seperti halnya agama ataupun ekonomi politik. Gagasan ini berasal dari Benedict Anderson yang terkenal dengan tesisnya tentang IMAGINED COMMUNITY atau komunitas terbayang. 

 Dalam pandangan ini, apa yang disebut identitas tidak lebih dari sebentuk konstruksi pemikiran atas sesuatu. Tidak lebih dari bentuk idealisasi atau proses membayang-bayangkan sesuatu. So, apa yang disebut sebagai lokal-nasional, Bugis, Jawa ataupun Indonesia, tidak lebih dari proses membayangkan sesuatu itu. Bagi Appadurai, imajinasi adalah bagian dari praktik sosial. 

Sebentuk fantasi yang membuat kita seakan lari dari realitas dan lari dari bentuk dunia yang dibentuk dari sejumlah strutur dan asumsi-asumsi. Imajinasi menjadi field yang terorganisir dari praktik sosial. Bentuk negosiasi antara agen individual dan global. Negosiasi ini disebut Appadurai sebagai fields of possibility. 

 Ah, capek. Cukup sampai sini aja yaaa.....


4 komentar:

Erlyin mengatakan...

pak bisa kasi ndak unsur unsur pengaruh globalisasi ada 5 bisa mintak contohnya pak

Unknown mengatakan...

Bisa Minta tolong utk jawaban lima unsur pengaruh globalisasi

Yusran Darmawan mengatakan...

@erlyin: saya juga bingung gmn jawabnya. tulisan itu dibuat tahun 2006, waktu saya masih nganggur dan lagi suka baca. sekarang, sy udah malas baca buku, seneng jalan2 saja.

kokorobby mengatakan...

Terima kasih sudah berbagi informasi yang bermanfaat

Kunjungi juga website kami di walisongo.ac.id

Posting Komentar