Suatu Senja di Kampus UI


BELAKANGAN ini aku suka duduk di tepi danau kampus Universitas Indonesia (UI). Di tepi danau itu, aku suka memandang senja yang kian indah di mataku. Senja itu membias dalam gerak sang surya yang kuning keemasan dan menorehkan jejak indah.

Di kampus ini, matahari terlihat begitu perkasa. Aku tak henti-hentinya mengagumi matahari itu yang perlahan-lahan di telan kecipak air di danau. Perlahan-lahan beringsut menuju ke belahan bumi yang lain.

Tiba-tiba saja aku dibelit hasrat untuk membawa pulang senja dengan matahari keemasan itu ke rumahku. AKu ingin memasukkannya ke dalam sebuah bingkai dan kuletakkan sebagai kado bagi pacarku.Persis seperti cerpen Seno Gumira Adjidarma yang judulnya Sepotong Senja untuk Pacarku.

Namun, aku tak benar-benar sendirian. Di kampus ini begitu banyak yang mengagumi matahari. Di saat matahari itu hendak di telan air danau, semua mahasiswa yang sedang berlari sore, langsung berhenti dan memandangnya. Bahkan, mereka yang sedang pacaran pun ikut memandang matahari sembari duduk mematung. Beberapa pengendara motorpun ikut berhenti dan memandang matahari. Begitu syahdu dan dramatis.

Aku seakan menyaksikan satu fragmen hidup yang unik. Matahari itu hanyalah sebuah metafor dari satu keping realitas semesta. Betapa realitas itu menggiring manusia menuju satu titik simpul yang berbeda.

Matahari adalah bagian dari sabda semesta. Sebuah noktah semesta yang membawa manusia pada pertanyaan eksistensial menyangkut siapa dirinya dan relasi dengan semesta. Matahari itu membawa manusia pada sebuah perenungan filosofis yang disebut para filsuf kuno sebagai Bios Teoritikos. Satu bentuk kontemplasi untuk menentukan koordinat manusia di muka bumi.

Ah, aku tak hendak berumit-rumit. Aneh, di masa kecil aku juga suka melihat senja dengan matahari yang seakan ditelan air. Aku ingat betul kalau di masa kecil aku paling suka mandi sore di laut. Aku mengendap-ngendap bersama kawan-kawanku dan menceburkan diri ke laut yang jaraknya tak jauh dari rumahku.

Di laut itu, kami bermain dan lepas bagai merpati. Kami berlari di tengah pasir sambil bermain bola kemudian berendam di lautan asin itu. Di saat azan Magrib berkumandang, ibu kami mulai mencari kami.

Aku berlari kencang dan sembunyi. Pernah sekali aku dipergoki oleh nenekku. Ia langsung mengambil lenganku dan disentuh dengan lidahnya. Begitu terasa asin, ia akan langsung menyambit dengan kayu. Guh, sakitnya.

Laut itu begitu penuh kenangan bagiku. Jika aku lapar di bulan Ramadhan, aku langsung ke laut dan berendam. Pantas saja, kulitku item karena keseringan berendam di laut.

Laut menjadi penanda akan kosmos berpikirku di masa kecil. Lautan itu tetap menjadi sumber inspirasi yang tak ada habisnya.

Saat kuliah di Unhas, aku juga suka memnadang air di danau Unhas ataupun lautan luas di Pantai Losari. Aku tak jemu memandang laut sembari memikirkan berbagai hal mulai dari filsafat hingga tema antropologi.

Kini, di kampus UI, laut tetap menjadi kosmos tempatku berkontemplasi. Hanya saja di sini, aku terpuaskan dengan memandang matahari dari Danau UI. Yah, sebuah ritus yang terus menandai kerajaan berpikirku. Jejakku di tengah dunia yang kian berubah.

0 komentar:

Posting Komentar