Peneliti yang Menjadi Berkah bagi Semesta

sampul buku Vaxxers

Ada orang yang setiap hari menyebut dirinya membawa berkah dan rahmat bagi semesta. Tapi setiap hari yang dilakukannya hanya menyebar kebencian dan energi negatif. 

Ada orang yang diam-diam bekerja untuk kemanusiaan. Berkat kerjanya, banyak orang yang selamat, terhindar dari kematian. Dia menyelamatkan jutaan warga bumi, tanpa bertanya apa kebangsaan, ras, suku bangsa, atau warna kulit.  Dia adalah Profesor Sarah Gilbert.

Saya membaca buku terbarunya berjudul Vaxxers, yang ditulisnya bersama Dr Catherine Green, koleganya di Universitas Oxford yang sama-sama menemukan vaksin AstraZeneca. Saya membeli buku ini via Amazon, dengan harga yang cukup mahal  (sekitar 15 dollar), tapi isinya sangat bergizi. Buku ini sama bagusnya dengan buku The Emperror of All Maladies: Biography of Cancer, karya Siddharta Mukherjee yang meraih Pulitzer.

Buku Vaxxers ini sangat menarik. Kita seakan diajak tur untuk melihat laboratorium tempat peneliti bekerja keras menyelamatkan umat manusia. Saya ingat meme di Twitter, definisi superhero di abad ini sudah bergeser. Bukan lagi para jagoan dan pendekar. Mereka adalah para peneliti yang bekerja di laboratorium. Mereka mencari jalan untuk menyelamatkan manusia dari kepunahan. 

BACA Saat Corona Menyerang Homo Deus


Buku ini mengisahkan suka duka dan perjalanan untuk menemukan vaksin. Kisahnya paling epik dalam sejarah manusia di abad ke-21, yang disebut banyak media lebih dramatis dari pendaratan manusia di bulan, sama hebatnya dengan penemuan DNA, serta lebih menegangkan dari perjalanan manusia ke puncak Everest. 

Ini adalah kisah orang biasa yang melawan pandemi dengan senjata sains. Mereka menjalani momen yang mendebarkan di tengah badai. Mereka memisahkan fakta dari fiksi. Mereka bekerja untuk membuat vaksin dalam waktu singkat. Dunia menyaksikan kerja mereka, yang memberi nyala harapan bagi masa depan.

Sarah Gilbert mengibaratkan dirinya seolah masuk dalam 'a race against virus' atau balapan melawan virus yang memiliki kecepatan tinggi. Dia berpacu melawan virus yang dengan cepat menyebar. Setiap hari ada jutaan warga dunia meninggal. Setiap hari, dia tertekan oleh pemerintah dan media yang tidak sabar menunggu hasil kerjanya.  Dia berkejaran dengan waktu dan memeras semua energinya untuk menemukan vaksin Covid. 

Dia memulai kisahnya sejak 1 Januari 2020. Saat itu, dia membaca artikel tentang empat orang di Cina yang menderita pneumonia aneh. Dia beruntung karena ilmuwan Cina sudah memetakan urutan genetik virus Corona. Berbekal peta genom itu, Gilbert mulai menyiapkan rancangan vaksin. 

Pusat riset di Jenner Institut, Oxford University telah memiliki pengalaman dalam menghadapi berbagai varian virus, mulai dari ebola hingga Mers. Pusat riset ini telah merancang sistem yang dapat diadaptasi untuk memberikan perlindungan terhadap berbagai virus sebelum munculnya Covid . 

Kendaraan mereka adalah adenovirus – tidak terkait dengan virus corona yang bertanggung jawab atas Covid – yang menyebabkan gejala seperti pilek ringan pada simpanse tetapi biasanya tidak menginfeksi manusia. Itu direkayasa secara genetik untuk mencegah replikasi dalam tubuh manusia.

Dalam adenovirus ini ditambahkan satu set gen yang menginstruksikan sel untuk membuat protein "antigen" dan menghasilkan respons perlindungan terbaik dalam sistem kekebalan manusia. 

Dua peneliti Oxford: Dr Catherina Green dan Prof Sarah Gilbert

Saya suka cara Sarah Gilbert menjelaskan proses pembuatan vaksin. Prosesnya serupa pembuatan kue ulang tahun, tanpa tahu untuk siapa dibuat. Kataya, Anda bisa mempercepat proses pembuatan kue dengan cara menyiapkan adonan dan memanggang kue terlebih dahulu. Setelah tahu siapa yang berulang tahun, Anda cukup mengoleskan icing dengan pesan tersebut, yaitu protein lonjakan.

Saat Melawan Hoax

Saya menyukai bagian ketika mereka berusaha meyakinkan masyarakat agar tidak terjebak hoax. Rupanya, hoax bukan hanya terjadi di tanah air kita, tapi juga marak di negara-negara lain. 

Catherine Green bercerita bagaimana pertemuannya dengan seorang ibu saat liburan. Ibu itu menuduh ada merkuri dan bahan berbahaya dalam vaksin. Dia takut bis tertular bahkan meninggal sesuai divaksin.

“Saya khawatir kita tidak tahu apa yang mereka masukkan ke dalam vaksin ini: merkuri dan bahan kimia beracun lainnya. Saya tidak mempercayai mereka,” kata wanita itu kepada Green. 

Green menjelaskan dengan tepat bagaimana tim Oxford membuat vaksinnya, termasuk daftar bahan lengkap, tanpa merkuri. “Ini adalah saat saya tahu bahwa kami, para Vaxxers , harus keluar dari lab kami dan menjelaskan diri kami sendiri,” tulisnya.

Sarah Gilbert dan Catherine Green akhirnya menyadari betapa pentingnya komunikasi sains. Meskipun peneliti bekerja di laboratorium, mereka sesekali harus turun ke masyarakat untuk menjelaskan apa yang terjadi, sehingga publik bisa tercerahkan.

"Kami telah menempuh perjalanan panjang untuk mengalahkan virus ini. Saya ingin orang-orang tahu bagaimana kami benar-benar sampai di sini dan apa yang terjadi selanjutnya: bagaimana kami keluar dari kekacauan ini dan bagaimana kami bersiap untuk hal berikutnya yang tak terhindarkan.” 

Buku ini menjadi ikhtiar mereka untuk menjelaskan kepada publik tentang betapa banyaknya manfaat dari vaksin daripada risikonya. Mereka meyakinkan semua pihak, tidak ada risiko dalam vaksin yang mereka buat.

Daftar Isi

Bagian paling mengharukan adalah kisah-kisah personal yang mereka hadapi sebagai peneliti. Mereka menghabiskan waktu di laboratorium, sehingga harus meninggalkan keluarga. 

Sarah Gilbert punya tiga anak usia sekolah menengah, yang harus rela kehilangan ibunya sementara waktu. Dia sering kali meratapi beban kerja yang intens, sehingga membuatnya kehilangan waktu bersama keluarga. 

Green menulis dengan menyentuh tentang persimpangan yang sulit antara pekerjaan dan kehidupan rumah. Dia adalah ibu tunggal dari Ellie yang berusia sembilan tahun. Sebagai ibu, batinnya berontak saat harus lebih banyak di laboratorium.

Namun kerja-kerja mereka untuk kemanusiaan membuahkan hasil. Dalam waktu 12 bulan atau setahun, mereka telah memproduksi vaksin AstraZeneca yang kemudian menyelamatkan jutaan warga dunia, tanpa peduli latar belakangnya.  Mereka menolak mempatenkan vaksin itu, dan menghibahkannya untuk umat manusia.

Dalam sunyi, mereka bekerja untuk kemanusiaan. Namun publik tidak diam. Nama meeka terpatri dalam ruang batin banyak orang, khususnya mereka yang mendapatkan manfaat dari kerja-kerja mereka untuk manusia lain.

Saat Sarah Gilbert menghadiri turnamen tenis Wimbledon, dia diminta duduk di Royak Box, kursi kehormatan yang biasanya ditempati keluarga Kerajaan Inggris. Sebelum tenis digelar, pembawa acara memperkenalkan siapa Sarah Gilbert. 

BACA: Akankah Bendera Putih Berkibar?


Saat itulah, semua orang berdiri, memberikan standing ovation, serta terus bertepuk tangan. Sarah Gilbert mengalami momen emosional yang mengharukan. Jutaan orang di seluruh dunia merasakan manfaat dan berkah dari tangan dinginnya. Dia menjadi figur yang mengembalikan kegembiraan dari mereka yang tertular virus. Dia menjadi manusia yang memberi berkah bagi jutaan manusia lain. Dia menjadi rahmatan lil alamin.

Perang melawan pandemi itu memang belum selesai. “The ending has not been written,” kata Gilbert. “Saya ingin semua orang tahu, kami tetap berdiri di sini, di garis untuk menyelamatkan yang lain,” katanya.

Namun Sarah Gilbert dan timnya telah memberikan amunisi penting bagi para nakes dan dokter untuk bertempur dan mengalahkan virus. Pertempuran itu masih berlangsung di ruang ICU, ruang gawat darurat, ruang perawatan, hingga ruang operasi di berbagai rumah sakit, seluruh dunia.

Bisa saja virus itu terus melakukan mutasi, namun dengan kehadiran manusia penuh dedikasi seperti Sarah Gilbert, kita bisa sedikit lega dan tersenyum.

Dunia akan semakin indah berkat kehadiran mereka, yang sekali standing ovation saja rasanya tak cukup untuk membalas kebaikan dan kemurahan hati sebesar itu. 

Mereka pahlawan abad ini.



0 komentar:

Posting Komentar