Ayo, Dukung Rektor Jadi Komisaris

ilustrasi: Plato bersama muridnya di Taman Akademos


Tak perlu analisis canggih-canggih untuk mengetahui kondisi perguruan tinggi kita. Lihat saja dari bangunan paling utama dan paling megah di dalam kampus. Di kampus luar negeri, bangunan paling megah adalah perpustakaan. Tapi di tanah air kita, bangunan paling megah adalah kantor rektorat. 

Mulai dari kampus besar sampai kecil, dari barat hingga timur, dari negeri hingga swasta, semuanya menjadikan rektorat sebagai gedung paling megah. Rektor ibarat raja yang berkantor di menara dan melihat rakyatnya, para civitas academica, dari ketinggian. 

Dari situ saja kita sudah melihat ada relasi kuasa. Di kampus-kampus kita, rektor punya kuasa untuk mengubah aturan. Nama dan wajah rektor tidak akan Anda temukan di banyak publikasi bermutu dan bergengsi. Wajah rektor lebih mudah ditemukan di baliho-baliho sekitar kampus, bersaing dengan baliho bergambar wajah kepala daerah.

Jangan berharap rektor akan memimpin majelis ilmu di dalam kampus. Dia penguasa, yang kerjanya adalah pidato-pidato sambutan, tanda tangan ijazah, gunting pita untuk peresmian gedung baru, bagi anggaran ke fakultas, jalan-jalan ke luar negeri dengan label studi banding, atau tampil di televisi sebagai pengamat politik, yang entah mana karya akademisnya.

Di tanah air kita, semua kampus bermimpi jadi world class university. Tapi, kegiatan-kegiatan seminar internasional menjadi seremoni yang penuh sambutan-sambutan pejabat. Begitu selesai sambutan, acara seakan bubar. Presentasi periset tidak penting. Palingan dihadiri mahasiswa yang terpaksa hadir karena diabsen oleh panitianya, yang kebetulan dosen mata kuliah.

BACA: Kisah Haru Mahasiswa yang Menghilang Selama 15 Tahun 


Kegiatan seminar yang menghadirkan peraih Nobel sains adalah kegiatan yang teramat sangat jarang terdengar dari kampus kita. Jauh lebih mudah menemukan acara pemberian gelar doktor hingga profesor honoris causa kepada petinggi partai politik atau pejabat berkuasa. 

Jangan sedih, kampus kita sudah lama menjadi pabrik gelar. Mahasiswa digiring untuk cepat lulus. Aturan akademik bisa dibuat lebih fleksibel. Dulu, kampus negeri adalah harapan bagi anak bangsa yang pandai, tapi tidak punya cukup uang. Kini, baik negeri dan swasta berlari di jalur yang sama, yakni bagaimana meraup kapital sebanyak-banyaknya dari mahasiswa. 

Jika Anda miskin, jangan harap bisa sekolah di situ. Kampus hanya milik mereka yang bisa membayar mahal. Bahkan jika Anda berhasil masuk dan jadi mahasiswa pintar sekali pun, jangan harap bisa meniti karier dengan mudah sebagai akademisi. 

Biar pun punya banyak publikasi, Anda akan kalah bersaing dengan rekan Anda yang meniti karier dari angkat-angkat tas seorang guru besar. Kecerdasan Anda tak akan bisa jadi tiket jadi akademisi, ketika ada memo dan titipan dari atas, mulai dari rektor hingga kepala daerah.

Dulu, filsuf Plato bersama murid-muridnya punya angan-angan tentang Taman Akademos di mana semua orang sama-sama mencari pengetahuan. Mereka membayangkan taman itu dipenuhi pencinta ilmu yang sama-sama mengajukan pertanyaan-pertanyaan, lalu berusaha menemukan jawaban-jawaban.

Hari ini, kampus kita punya banyak akademisi, yang tidak semuanya tekun mengajar, sebab sibuk jadi konsultan, nyambi jadi pejabat, atau mungkin sedang mengerjakan proyek pesanan. Banyak guru besar, yang gelarnya hanya casing, serupa gelar haji yang disematkan politisi saat pilkada. Gelar itu bukan tolok ukur pengetahuan, tapi serupa gelar bangsawan yang bisa bikin minder orang lain.

BACA: Terlalu Kecil Gelar Profesor untuk Mega


Mereka jarang di kampus, namun akan berbondong-bodong masuk saat ada momen pemilihan rektor. Para penghuni “taman akademos” ini akan berkubu-kubuan demi mengusung kandidat tertentu. 

Di satu kampus negeri di wilayah antah-berantah, calon rektor tidak pernah sibuk membangun gagasan-gagasan jika kelak terpilih. Yang dilakukan tiap hari adalah membuat pengajian yang dihadiri para akademisi pendukungnya. 

Di situlah, calon rektor akan melobi pendukungnya dengan iming-iming studi banding ke luar negeri, anggaran penelitian, hingga posisi-posisi, mulai dari direktur, dekan dan wakil dekan, hingga ketua jurusan. Kadang, kubu ini akan menebar kekhawatiran pada kubu lain: “Jika kami menang, jangan harap bisa pegang posisi.”

Setelah itu, dia akan datang ke Jakarta untuk melobi menteri, lalu presiden. Di negeri kita yang aneh ini, Menteri Pendidikan punya 35 persen suara yang bisa mengubah peta pemilihan. Jika tak pandai mengambil hati pemerintah pusat, jangan harap menjadi rektor.

Belum lama ini Tempo menulis tentang para rektor yang punya track-record sebagai plagiator. Mereka melakukan copy-paste karya orang lain. Sebab mereka terpilih melalui ajang pemilihan yang serupa pilkada. Mereka mesti melakukan bargaining dengan banyak pihak, mulai internal kampus hingga pemerintah pusat. 

Mereka yang terpilih tidak selalu sosok paling cemerlang, paling bijaksana, dan paling cerdas, melainkan sosok yang paling jago melobi. Bahkan plagiator, yang jelas-jelas mengkhianati keluhuran nilai taman akademos, bisa terpilih jadi pemimpin taman ilmu pengetahuan bernama universitas.

Jangan terkejut jika hari ini seorang rektor bisa merangkap sebagai komisaris di beberapa perusahaan. Itulah hasil dari simbiosis mutualisme yang dilakukan antara kampus dan pemerintah. 

Pemerintah memberi tiket untuk seseorang terpilih sebagai rektor. Selanjutnya, rektor memberi stempel persetujuan pada semua agenda pemerintah, termasuk membungkam mahasiswanya. 

Anda jangan cemburu jika rektor punya jabatan komisaris dengan gaji selangit. Malah ada yang memegang lebih dari satu jabatan komisaris. Bisa jadi, dia dulu tim sukses calon presiden, atau mengemban misi tertentu dari pemerintah, termasuk menjadikan kampusnya sebagai basis pendukung rezim berkuasa. 

Tentu saja, ini bukan hal baru. Silakan cek di semua daerah, banyak rektor hingga guru besar yang nyambi sebagai rekanan pemerintah dan perusahaan asing, termasuk menyediakan basis akademis untuk mendukung proses kuasa dan menjadikan sains sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan pihak berkuasa.

Anehnya, banyak orang kampus yang malah bangga jika rektornya jadi komisaris. atau diangkat jadi pejabat. Mereka pikir itu adalah pertanda kampusnya disegani. Namanya kian mentereng. Banyak yang berkata, itu adalah kontribusi kampus bagi bangsa. Malah ada yang sibuk melobi untuk diangkat jadi komisaris. Mereka berkampanye: Ayo dukung jadi komisaris. 

Seorang akademisi di satu kota pernah membuat simpulan riset tentang munculnya predator intelektual di daerah-daerah. Mereka adalah orang kampus yang melegitimasi semua regulasi negara dengan cara membuat naskah akademik.  Mereka memperlancar kebijakan sehingga proyek mengalir. 

Pemerintah membalas jasa mereka dengan memberikan jabatan atau kursi komisaris di banyak perusahaan, baik milik pemerintah maupun swasta. Mereka jadi bagian dari kerja sama yang menguntungkan. Mereka merasa sukses dan kian kaya. Kampus bangga karena warganya jadi pejabat dan komisaris. Semuanya bernyanyi: “Gaudeamus igitur.” Mari bersenang-senang.

Di titik ini, kita paham jika Mahatma Gandhi pernah menulis tentang tujuh dosa sosial. Dua di antaranya adalah “Pengetahuan tanpa karakter” dan “Ilmu tanpa kemanusiaan.” Kita melihat dosa sosial itu di depan mata kita, di kampus-kampus kita, di rumah kebangsaan kita.



20 komentar:

GASA mengatakan...

Setuju, perpustakaan lebih mirip toilet di sudut pasar. Tidak muncul di garda terdepan sebagai ruang dapur merancang menu ilmu pengerahuan.

Para pencari ilmu pun seperti musyafir yang bekerja sendiri-sendiri mencai temuan untuk berjaya sendiri

Bunda Macca mengatakan...

Tulisannya masih segar sekali kak,, izin sebarkan yaa ������

Mamnun Al_Butuuny mengatakan...

Selalu inspiratif dan menggugah kesadaran kolektif.

Unknown mengatakan...

Anda membahas teori simbol

Unknown mengatakan...

BAIK SEKALI unt menggugah, dan CUKUP unt meengubah. Terima kasih krn telah membentangkan dg luas bahan reflektif.

Harsin mengatakan...

Perlu memang untuk memperbaiki sudut pandang,...

deniwk mengatakan...

Cadas dan bernas mas

Tonilibra99 mengatakan...

Menohok sekali bang

Unknown mengatakan...

Keren banget bang....
Cerdas

Nurdin_Hayat (Broth) mengatakan...

Sangat tajam. Ya tajam. Tajam utk menggugah menggugah akademika bermental kontraktrok. Tksh atas pencerahannya.🙏🙏

Abu ziya mengatakan...

Tajam menusuk bagi yg masih punya hati.

Derita Indah Golingkara mengatakan...

Wesss akhirnya ada yang menulis ini...tepat sekali..

Unknown mengatakan...

Tulisan yang cerdas

Afid Arifin mengatakan...

Harusnya yang paling masuk akal adalah rektor UI rangkap jabatan dengan rektor UX.

Anonim mengatakan...

Ini tulisan yg menarik.. Yang menyentil realita kampus kampus kita di negeri anda beranta

Waode1453 mengatakan...

Miris bacanya. Semoga banyak yang tergugah untuk berbenah.

WhyHdyt mengatakan...

Amazing

WhyHdyt mengatakan...

Amazing

WhyHdyt mengatakan...

Keren sangat

Admin mengatakan...

Kepingin colek seluruh rektor

Posting Komentar