Marketing 5.0, Phygital, dan Kisah Homo Deus

ilustrasi


Di satu kota Amerika Serikat, seorang bapak terheran-heran saat brosur dari perusahaan bernama Target tiba di rumahnya. Brosur itu ditujukan untuk anak perempuannya. Isinya adalah informasi mengenai produk bagi perempuan hamil.

Bapak itu keberatan karena anaknya seakan dituduh sedang hamil. Dia mendatangi Target dan melayangkan protes keras. Pihak Target lalu menunjukkan bagaimana data-data yang dikumpulkan.

Target telah lama membangun algoritma yang memprediksi perempuan hamil melalui postingan dan barang-barang yang dibeli. Pihak Target menganalisis big data dan memprediksi siapa saja yang sedang hamil, lalu mengirimkan kupon, dan brosur mengenai potongan harga.

BACA: Rahasia Ilmu Marketing di Sekitar Kita

Bapak itu tak bisa berkata-kata. Hingga akhirnya, anak perempuannya mengakui kalau dirinya memang hamil. 

Kasus ini menunjukkan betapa jitunya prediksi dari satu perusahaan tentang siapa yang akan jadi target pasarnya. Di abad ini, pemasaran telah lama bergeser, bukan lagi kegiatan menjajakan produk dari rumah ke rumah, tetapi sudah memanfaatkan big data, serta miliaran informasi di internet.

Tugas-tugas pemasaran tidak lagi hanya bertumpu pada pemasar tetapi mulai mengandalkan teknologi sebab daur hidup manusia lebih banyak berada di ruang-ruang maya. Bukan lagi gerak menuju digital, melainkan telah berada di dalam digital.


Mahaguru marketing Philip Kottler bersama Hermawan Kertajaya merekam semua dinamika itu dalam buku terbaru yakni Marketing 5.0: Technology for Humanity. Buku yang telah lama dinantikan oleh para praktisi pemasaran.

Saya sangat tertarik saat membaca lima trend yang menjadi dasar kelahiran buku ini. 

Pertama, munculnya generasi digital savvy. Generasi ini sering disebut milenial dan Gen Z. Mereka meramaikan wacana, menentukan arah baru di dunia kerja, serta mengubah lanskap komunikasi di abad ini. Generasi yang disebut Net Gen oleh Don Tapscott ini mewarnai dunia dengan caranya sendiri, sehingga mau tak mau semua orang dan semua perusahaan harus pandai berselancar di abad yang baru.

Kedua, gaya hidup Phygital semakin berkembang. Phygtal adalah singkatan dari Physical dan Digital. Di era ini, interaksi tidak lagi fisik, tetapi lebih banyak digital. Hampir semua kegiatan, mulai dari belanja, ngobrol, rapat, seminar, perkuliahan, hingga diskusi dilakukan melalui daring. 

Interaksi fisik semakin berkurang, apalagi sejak masa pandemi. Kita berhubungan dengan orang lain bukan lagi melalui pertemuan fisik, tetapi melalui avatar atau profile picture yang kita pilih di ruang digital. 

Ketiga, dilema digitalisasi. Kian massifnya penetrasi ruang digital dalam kehidupan kita menimbulkan banyak kekhawatiran. Ada banyak pekerjaan yang akan hilang. Ada banyak kecakapan baru yang dibutuhkan. Selain itu, ada kekhawatiran tentang keamanan dan ruang privasi yang kian terancam di era digital.

Keempat, makin sempurnanya perangkat teknologi. Berkat Google yang menyediakan platform gratis atau rumah bagi beragam aplikasi, setiap hari kita menyaksikan berbagai aplikasi yang memudahkan kehidupan manusia. Banyak bermunculan perusahaan baru yang menawarkan teknologi baru. Kita lihat makin cepatnya internet, cloud computing, big data, dan munculnya banyak software. 

BACA: Dari Big Data, Artificial Intelligence, dan Kediktatoran Digital

Penggunaan teknologi juga semakin luas. Bahkan para nelayan pun bisa memanfaatkan fish-finder atau aplikasi yang menentukan posisi ikan melalui satelit. Petani juga bisa menggunakan peta satelit untuk melihat kesuburan lahan, kalender tanam, serta penggunaan drone untuk penyiraman lahan.

Kelima, munculnya simbiosis antara manusia dan mesin. Kolaborasi manusia dan mesin telah menjadi penanda abad ini. Mesin membantu manusia untuk menganalisis semua data dan memberi rekomendasi banyak kebijakan ekonomi baru. 

Manusia punya logika dan kearifan (wisdom), tetapi mesin bisa meniru logical thinking manusia melalui sistem algoritma. Manusia punya kemampuan kontekstual, tetapi mesin  bekerja dengan pola terstruktur dan sistematis. Manusia bisa berpikir out of the box saat mesin menyodorkan sejumlah opsi dan pilihan. 

Saya teringat dengan konsep Homo Deus dari Yuval Noah Harari. Dalam bukunya yang menawarkan distopia, Yuval memprediksi, pada titik tertentu, mesin-mesin akan diimplan ke dalam tubuh manusia sehingga memunculkan satu spesies manusia baru yang adaptif dan bertahan lama.

BACA: Membaca Marketing 4.0

Teknologi medis membuat umur manusia lebih panjang, algoritma membuat manusia menentukan keputusan yang tepat dalam bisnis dan politik, serta artificial intelligent (kecerdasan buatan) akan menjadi DNA dari peradaban baru. 

Hari ini, prediksi Yuval mulai terasa kebenarannya. Lihat saja perkembangan teknologi yang kian meniru fisik manusia, atau sering disebut human-inspired bionics. Kemampuan berpikir dikembangkan menjadi artificial intelligent (kecerdasan buatan). Kemampuan berkomunikasi lalu dikembangkan menjadi Natural Language Processing (NLP). 

Kemampuan panca-indra dikembangkan menjadi teknologi sensor yang ditanamkan ke robot dan radar. Bahkan kemampuan manusia berimajinasi telah melahirkan augmented reality atau realitas virtual. 

Siapa sangka, di era ini, kita seakan hidup di era virtual ketika semua bentuk komunikasi dan interaksi berlangsung di ruang maya. Hari ini, kita berada dalam semesta baru yakni Internet of Thing (IoT) di mana data menjadi sumber energi baru yang menentukan semua strategi manusia.

Nah, dalam konteks inilah kita melihat relevansi dari Marketing 5.0. Pendekatan pemasaran harus bisa berselancar di tengah gelombang teknologi dan interaksi manusia dalam ruang maya. 

Pemasaran bukan lagi pendekatan yang langsung terjun ke pasar dan berinteraksi dengan orang-orang, tetapi bagaimana mengolah dan memanfaatkan data serta berselancar di ruang teknologi untuk menjalin relasi seluas-luasnya dan menerima manfaat sebesar-besarnya.



Bagi Philip Kottler dan Hermawan Kartajaya, pemasaran adalah sesuatu yang terus bergerak mengikuti dinamika zaman. Di era 1.0. produk dipasarkan dari rumah ke rumah (product oriented). Di era 2.0, orientasi pemasar pada pelanggan (customer oriented) sehingga relasi untuk pemasaran dibangun. 

Di era 3.0, relasi yang dibangun adalah human oriented sehingga menjadi lebih bermakna dan saling menguatkan. Di era 4.0, pemasaran menjadi lebih digital (moving to digital) sebab manusia mulai tergantung pada internet. Sedangkan di era 5.0. pemasaran berada dalam dunia digital (marketing in digital world). 

Dalam buku Marketing 5.0 ini, kegiatan pemasaran harus selalu fleksibel mengikuti dinamika. Kombinasi antara pendekatan offline dan online, perlunya omni-experience, serta optimalisasi teknologi untuk bisnis.


Dalam banyak hal, saya merasa apa yang disampaikan dalam buku ini tidaklah baru. Lima elemen utama yang dibahas dalam Marketing 5.0 yakni data-driven marketing, predictive marketing, augmented marketing, dan agile marketing. Bagi saya, kelima hal ini sudah lama dibahas oleh banyak orang seiring dengan hadirnya Google dan Facebook.

Bahkan Google jauh lebih maju sebab telah lama membuat Google Trend yang menjadi panduan bagi semua orang untuk memahami trending topic berdasarkan mesin pencari. Bahkan Google dan Facebook telah lama mengembangkan layanan yang memungkinkan para pemasar untuk berinteraksi dengan target pasarnya.

BACA: Ghea Indrawari dan Pelajaran Ilmu Marketing

Namun, saya menemukan pesan penting dari buku ini yakni setiap orang dan setiap organisasi mesti pandai-pandai berselancar di tengah zaman yang terus berubah. 

Sebagaimana pernah dikatakan ilmuwan Charles Darwin, mereka yang bertahan adalah mereka yang memahami zaman dan terus berubah. Mereka yang diam dan merasa nyaman, perlahan-lahan akan kalah, lalu punah.

Kita tak ingin punah. Makanya kita berubah. 



0 komentar:

Posting Komentar