Artificial Intelligence yang Perlahan Menyingkirkan Manusia


Sejak direkomendasikan Bill Gates, bersama buku karya Steven Pinker dan Yuval Noah Harari, saya sudah memasukkan buku Life 3.0 karya Max Tegmark ini dalam list buku yang wajib dibaca.

Buku Life 3.0 membahas tentang material ciptaan manusia, yang kemudian berkembang menjadi lebih cerdas dari manusia sendiri. Buku ini membahas seluk-beluk Artificial Intelligence (kecerdasan buatan), yang kini menjadi jantung dari teknologi hari ini.

Hal paling mengagumkan dari rentang panjang 13,8 miliar tahun sejak terciptanya alam semesta yakni adanya benda mati yang tidak memiliki jiwa atau pikiran, namun akhirnya memiliki kecerdasan. Itulah kisah AI.

BACA: Tarung BIG DATA di Balik Laga Jerman Versus Inggris


Berkat AI, manusia bukan hanya bisa mengendalikan bumi dan merancang kehidupan yang lebih mudah, tetapi perlahan merambah ke jagat raya, menjelajah tata surya pada bidang yang tak bertepi.

Tadinya, AI ibarat mainan yang diciptakan manusia untuk membantu beberapa pekerjaan menghitung dan komputasi. Siapa sangka, AI berkembang pesat hingga mengalahkan manusia. Tentunya, kita semua mengingat bagaimana Gary Kasparov dikalahkan komputer Deep Blue yang berbasis AI.

Sebagai mesin, AI terus bisa meningkatkan kecerdasannya. Semakin banyak input data, maka dia semakin cerdas dalam menganalisis berbagai pola. Tidak mengejutkan, jika AI menjadi jantung dari modernitas hari ini. AI bersama Big Data menjadi benda paling bernilai di zaman kini, mengalahkan emas dan minyak bumi di abad-abad lalu.

Bahkan perlahan, kita melihat banyak manusia yang tersingkir dari pekerjaannya karena AI bisa menggantikannya dengan lebih efektif dan efisien. Jika Anda menonton film dokumenter American Factory, bagian akhirnya cukup menyedihkan. 

Ratusan warga Amerika, buruh pabrik di perusahaan kaca mobil asal Cina berlokasi di Amerika, yang dikit-dikit demonstrasi, makin tak berdaya ketika melihat pekerjaannya diganti dengan lengan-lengan robot yang lebih efektif, efisien, patuh, dan tak mengenal demonstrasi.

BACA: Marketing 5.0, Phygital, dan Kisah Homo Deus


Di buku ini, saya menemukan banyak cerita menarik tentang peran besar yang kini dimainkan AI. Mulai dari mobil cerdas, internet of things, dunia medis, hukum, militer, hingga penerbangan antariksa. AI menjadi kecerdasan yang mengendalikan dunia.

AI membentuk wajah dunia hari ini dan masa mendatang. Bahkan di masa mendatang, AI diperkirakan akan menjadi musuh manusia, persis apa yang kita saksikan dalam film-film bertema distopia dan science fiction. Dalam buku Homo Deus, terdapat uraian panjang tentang bagaimana AI mulai merambah bidang seni dan kreativitas manusia, sesuatu yang tadinya dianggap tidak akan bisa dikerjakan mesin.

Saya ingat, di dunia jurnalisme sedang berkembang jurnalisme robot. Media-media besar di luar negeri, mulai menggunakan AI untuk menghasilkan liputan straight news. Beberapa berita, mulai ekonomi dan olahraga, mulai dikerjakan robot, bukan lagi manusia. Cara kerjanya adalah menyiapkan template, tinggal mengisi skor dan angka-angka.

Life 3.0, yang masih merupakan terminologi baru di era teknologi saat ini. Sejak awal kehidupan, secara garis besar, kehidupan yang berlangsung di dunia ini terbagi dalam tiga tahapan besar, yaitu tahap evolusi biologis (life 1.0), evolusi budaya (life 2.0), serta evolusi teknologi (life 3.0).

Di era Life 3.0, teknologi akan mampu mengubah atau menyempurnakan bentuk fisik manusia agar lebih mampu menghadapi tantangan perubahan lingkungan. Teknologi pun akan mengubah lanskap kehidupan.

Penulisnya Max Tegmark adalah profesor fisika di MIT, yang bersahabat dekat dengan Elon Musk dan para pendiri Google yakni Larry Page dan Sergey Brink. Dia menulis topik yang lama digelutinya, sehingga terasa kedalaman dan keluasan pembahasannya.

BACA: Dari Big Data, Artificial Intelligence, dan Kediktatoran Digital


Sebagai orang yang tidak intens belajar fisika, saya agak kesulitan ketika membaca buku ini dalam bahasa Inggris. Untunglah, saat keluar versi bahasa Indonesia pun, yang diterbitkan Elex Media Komputindo, saya bisa sedikit memahami. Saya bisa menangkap poin penting yang sedang didiskusikan.

Dari sisi bahasa, saya menganggap masih jauh lebih renyah Carl Sagan dalam membahas fisika, khususnya mengenai astronomi dan kosmologi. Carl Sagan adalah maestro yang bisa mengubah fisika semenarik sastra, sains bisa semenarik dongeng, dan matematika seindah melukis. 

Namun kedua fisikawan ini menggarap dua tema yang berbeda. Tema yang dibahas Max Tegmark sangat spesifik. Dia membicarakan tentang benda mati ciptaan manusia dalam ratusan lembar, mendiskusikan kode dan logika, juga membahas implikasinya bagi kehidupan manusia. Dia membahas komputer dengan runtut, mulai dari Alan Turing hingga era Googe dan Microsoft.

Karena ditulis fisikawan, sejak awal kita sudah berkenal dengan nama-nama fisikawan, seperti Ernest Rutherford dan Stephen Hawking. 


Buku ini memberikan pencerahan kepada saya bahwa semua teknologi yang berkembang hari ini dan masa depan, semuanya dimulai dari imajinasi dan angan-angan para fisikawan. 

Para fisikawan tidak selalu satu suara. Mereka berdebat dalam berbagai forum akademik. Terhadap AI, mereka tidak satu suara. Ada yang skeptis, ada pula yang optimis. Berkat perdebatan itu, kita bisa melihat banyak lompatan teknologi dan kemajuan hari ini.

Seusai membaca buku, saya termenung, betapa jauhnya bangsa kita dalam penguasaan dunia sains dan teknologi. Bangsa-bangsa lain sudah menciptakan robot dengan AI yang tinggi dalam skema internet of things. 

Tapi setidaknya, kita punya alibi atas ketidakmampuan. Kita memang kalah dalam teknologi. Namun kita menang dalam perlombaan menuju surga. Buktinya, ada banyak rumah ibadah bertebaran di negeri kita. Ada banyak penghafal kitab. Banyak pula orang yang mengklaim Covid akan kalah oleh mantra, doa, dan sihir.

Kata seorang menteri, “Ntar juga sembuh sendiri kok.”



0 komentar:

Posting Komentar