Dari Big Data, Artificial Intelligence, hingga Kediktatoran Digital




MEMBACA buku bagus itu serupa menghadapi satu es krim nikmat, yang harus dicicipi pelan-pelan. Rasanya tak tega untuk menghabiskannya sekaligus sebab ada banyak hal menarik yang bisa di-stabilo kemudian direnungi maknanya.

Sepekan ini saya membaca buku 21 Lessons for the 21st Century yang ditulis sejarawan asal Israel, Yuval Noah Harari. Untuk buku sebagus ini, saya sengaja membacanya pelan-pelan seperti sedang makan es krim. Malah kadang saya mengulangi bagian-bagian tertentu.

Dalam versi bahasa Inggris, buku ini terbilang baru sebab diluncurkan pada September 2018. Namun, saya melihat di media sosial, seseorang di Manado telah menerjemahkannya. Buku itu kemudian diterbitkan oleh satu perusahaan penerbitan di Manado. Ini baru keren, sebab penerbitnya berasal dari daerah, dan bukan dari penerbitan mapan. Sebagai orang daerah, saya bangga bisa membeli buku dari penerbit daerah.

Di Twitter, saya melihat ada keberatan dari pihak penerbit besar karena merasa telah memegang lisensi penerbitan. Saya sempat khawatir kalau penerbitannya akan ditarik sebab penerbit besar punya kuasa modal dan kuasa hukum. Makanya saya segera membelinya sebab takut akan ditarik. Biarpun tak dijual di toko buku besar, saya mendapatkannya dengan cara membeli online.

Sebagai pembaca, saya tidak peduli siapa yang berhak menerbitkannya. Bagi saya, selama buku itu sudah terbit, maka saya ingin segera memilikinya demi menuntaskan rasa dahaga. Di tambah lagi, saya membaca review yang dibuat Bill Gates tentang buku ini di New York Times. Saya makin penasaran. Baca review Bill Gates itu DI SINI.

Sebelumnya, saya sudah memiliki dua buku dari penulis yang karyanya amat disukai Barrack Obama, Bill Gates dan Mark Zuckerberg ini. Buku pertamanya adalah Sapiens yang mengurai ikhwal kemunculan Homo Sapiens hingga menjadi spesies terakhir di muka bumi. Selanjutnya, dia menulis Homo Deus yang isinya adalah masa depan manusia. Di dalamnya ada tema-tema seperti algoritma dan artificial intelligent, hingga agama baru bernama Big Data.

Dari sisi sistematika, buku baru ini terkesan lebih “berantakan.” Pada dua buku sebelumnya, alurnya ditata dengan rapi sehingga kita diberi pemahaman sejak awal lalu pelan-pelan maju ke berbagai topik. Perbedaan lain, jika  Sapiens membahas masa lalu, Homo Deus membahas masa depan, maka 21 Lessons membahas masa kini. Yang dibahas adalah 21 topik penting yang menjadi perbincangan manusia di masa kini.

BACA: Manusia dalam Tafsiran Sejarawan Israel

Buku ini terbagi atas lima bab utama, yang lalu di-breakdown menjadi 21 topik pembahasan. Lima bab utama itu adalah: (1) tantangan teknologi, (2) tantangan politik, (3) keputusasaan dan harapan, (4) kebenaran, (5) daya tahan.

Saya agak tertipu dengan judulnya. Dengan mengatakan 21 Lessons, maka kesannya ada sesuatu yang sudah jadi di situ. Saya pikir semacam buku Chicken Soup for the Soul. Tapi setelah membaca isinya, yang ada malah hamparan berbagai fenomena dan realitas yang menarik untuk didekati dengan intens. 

Harari bertindak sebagai filsuf, sejarawan, dan juga futurolog yang mengajak kita berbincang tentang manusia. Pada setiap kisah, dia mengajukan beberapa pertanyaan atau paragraf yang berisi pertanyaan atau renungan filosofis. Kutipan itu jadi semacam panduan untuk menelusuri dan mencari jawabannya di bagian itu. Minimal kita mendapatkan insight apa yang tertulis di situ.

Saya ambil contoh pada bagian 5 berjudul resilience atau daya tahan. Dia mengajukan pertanyaan sepeti ini: “How do you live in an age of bewilderment, when the old stories have collapsed and no new story has yet emergence to replace them.” Bagaimana Anda hidup di zaman kebingungan, ketika cerita-cerita lama telah runtuh, dan tidak ada cerita baru yang muncul untuk menggantikannya?

tiga buku yang ditulis Harari

Kekuatan Harari adalah dia bisa mendiskusikan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dia memahami sejarah manusia, sebab basic-nya adalah ilmu sejarah, namun dia juga memahami masa kini dan bisa membaca masa depan. Di ujung  diskusi itu, kita dikejutkan dengan pertanyaan apa yang harus kita lakukan di masa kini.

Beberapa pertanyaan yang diajukan cukup provokatif. Misalnya, dia bertanya bagaimana komputer dan robot mengubah makna menjadi manusia? Bagaimana kita menghadapi epidemi hoaks atau fake news? Apakah nasionalisme dan agama masih relevan? Apa yang harus kita ajarkan pada anak-anak kita pada saat algoritma teknologi jauh lebih memahami segala hal tentang keingintahuan anak kita ketimbang kita sendiri?

Harari mendiskusikan beberapa topik-topik aktual yang ramai dibahas masyarakat dunia, mulai dari isu bangkitnya nasionalisme, yang dipicu oleh kebijakan politik Donald Trump dan Vladimir Putin. Isu lain adalah imigrasi, terorisme, perang, hingga disrupsi teknologi. 

Dalam banyak argumen, saya temukan beberapa dilema manusia modern. Misalnya, di saat manusia tengah merayakan kebebasan dan ideologi liberalisme, di sisi lain ada revolusi kembar dalam teknologi informasi dan bioteknologi yang membuat manusia kehilangan kebebasannya. Revolusi ini menyebabkan banyak orang kehilangan kebebasan, dan kesetaraan manusia. Pesatnya perkembangan artificial intelligence (kecerdasan buatan) akan merenggut dunia bisnis dan menghilangkan pekerjaan banyak orang. 

Selain itu, algoritma Big Data membuat kekuasaan terkonsentrasi pada sedikit orang yang kemudian mengendalikan dunia politik dan dunia sosial sehingga manusia lain tak lebih dari sekadar sasaran produk serta banjirnya informasi yang menyesatkan. 

Posisi buku ini lebih kritis dalam memandang teknologi, sebab menawarkan banyak kemudahan, termasuk prediksi tentang usia manusia yang seolah akan abadi dikarenakan kemajuan bioteknologi yang bisa memindai tubuh manusia dan mengetahui biometrik, lebih dari yang diketahui manusia atas tubuhnya. 

Tapi di sisi lain, buku ini agak pesimis melihat semakin melemahnya manusia berhadapan dengan kecerdasan buatan yang perlahan akan mengambil alih semua pekerjaan. Mesin digital akan melaksanakan semua pekerjaan, robot akan bekerja tanpa mengenal kata istirahat, dan teknologi Big Data akan selalu membuat keputusan terbaik di tengah ribuan arus informasi dan data yang mengalir.

Saya menyenangi argumentasi tentang siapa yang memiliki data akan memiliki masa depan. Dulu, pada era agrikultur, aset paling berharga adalah tanah. Di era modern, mesin dan pabrik menjadi lebih penting. Inilah yang menjadi titik analisis dari Karl Marx tentang kelas borjuis dan proletar. 

BACA: Nicholas Carr dan Era Bodoh di Internet 

Tapi di era sekarang, aset terpenting adalah data, menggeser tanah dan industri. Bahkan politik menjadi arena untuk merebut dan memperjuangkan kontrol atas data. Aktivitas manusia modern tak bisa lepas dari data. Bahkan ketika kita bepergian sekali pun, kita mempercayakan pada Google dan Waze untuk memandu perjalanan kita.

Jika melihat peta politik sekarang, maka pemenangnya adalah siapa yang bisa mengendalikan algoritma dan data sehingga bisa pesan-pesan bisa menjadi peluru yang ditembakkan pada masa yang tepat. Kita sudah melihat bagaimana kemenangan Trump yang diikuti skandal atas bocornya data Facebook ke Cambridge Analytica.

Tak cuma politik. Di dunia bisnis, semua orang tak berdaya berhadapan dengan kedigdayaan Google dan Facebook yang mengontrol semua lalu lintas data di situ. Dua perusahaan raksasa ini punya algoritma yang mengendalikan mana informasi yang dilihat orang-orang dan mana yang bukan. Ibarat pedagang, Google bisa memilih produk mana yang disimpan di etalase.

Persoalannya, banyak negara yang dituntut untuk melakukan nasionalisasi data sehingga mengurangi kekuatan perusahaan besar. Inilah kondisi yang bisa menyebabkan lahirnya kediktatoran digital. Politisi ibarat dirigen yang mengendalikan orkestra manusia melalui data. Ketika mereka men-tweet, tiba-tiba saja publik heboh. 

Ketika mereka memosting di media sosial, kerusuhan bisa terjadi. Bahkan ketika mereka memberi komentar, kebencian muncul di mana-mana. Inilah situasi kediktatoran digital di mana seseorang mengendalikan semua arus informasi, melakukan rekayasa, sehingga kita semua berada di era post-truth atau pasca-kebenaran. 

Penjelasan Harari tentang post-truth juga menarik. Beberapa ahli mendefinisikan ini terjadi pasa masa sekarang ketika terjadi limpahan informasi. Harari menilai sejak awal kemunculan manusia, maka manusia sudah berada di era post-truth. Sebab kekuatan manusia selalu bergantung pada penciptaan dan keyakinan pada fiksi.

Dalam buku Sapiens dan Homo Deus, dia juga sudah menjelaskan, yang membedakan spesies kita dengan hewan adalah kemampuan kita untuk membuat fiksi yang memungkinkan kita untuk bekerja dalam skala kolektif yang besar. Fiksi akan selalu ada di sekitar kita di setiap zaman. Dulu orang percaya pada dewa, iblis, setan, hingga malaikat. Keyakinan itu lalu memandu manusia menjalani kehidupan. Kini, orang juga percaya pada fiksi seperti uang, negara, korporasi, pengadilan, hingga Google dan Facebook.

BACA: Pokemon Go, Game, dan Kecerdasan Generasi Internet

Bagian yang provokatif adalah ketika dia mengatakan bahwa “Ketika orang percaya pada satu berita bohong, maka itu dinamakan hoaks. Namun ketika orang percaya pada cerita yang dibuat-buat selama beribu-ribu tahun, maka itu adalah agama.” 

Saya melihat pernyataan itu sebagai teka-teki ilmiah yang menarik untuk didiskusikan. Dia memberikan banyak argumentasi atas pendapatnya. Meskipun dia menilai agama mengajarkan fiksi yang penuh berita dibuat-buat, tapi dia tidak mengingkari fungsi agama yang bisa menyatukan manusia lintas negara dan ras, serta bisa menggerakkan peradaban.

Dia memberi contoh beberapa katedral yang menjulang. Meskipun menurutnya bersumber dari fiksi, tapi bangunan berbentuk katedral dan ribuan lahirnya bisa muncul sebab manusia meyakini fiksi itu sebagai realitas.

Overall, saya menyukai pembahasan Harari yang sangat luas. Tak cuma bahas sejarah, tapi juga banyak aspek, mulai dari politik, sosial, budaya, hingga agama. Beberapa pertanyaan di sini membuat saya tertegun. 

Apakah kita masih punya kebebasan ketika big data selalu mengawasi kita? Apakah kita masih jadi manusia yang punya kebebasan ketika artificial intelligence bisa memahami kita dengan amat baik lebih dari pemahaman kita pada diri sendiri? Bagaimana menghadapi kediktatoran digital yang sekarang sudah mulai muncul di lapangan politik dan bisnis? 

Pertanyaan ini memang tak mudah dijawab. Seperti kata Harari, terhadap banyak persoalan global, seperti perubahan iklim, krisis ekologi, dan disrupsi teknologi, maka manusia harus menghadapinya secara bersama-sama. Manusia harus kembali membangun cerita-cerita kolektif yang bisa menyatukan semua bangsa sehingga semua sumber daya bisa dikerahkan untuk mengatasi berbagai soal itu. 



Sayangnya, saya tak begitu menyukai bab terakhir atau semacam kesimpulan buku ini. Harari menekankan pada pentingnya meditasi untuk melihat kembali perjalanan manusia di tengah jutaan informasi yang mengalir setiap saat. Sepanjang buku, kita dijejali dengan berbagai fakta, serta kekhawatiran, tiba-tiba saja di akhir buku, yang kita temukan adalah argumentasi klasik seperti halnya agama.

Kita seakan berlari dan mendaki satu gunung untuk menemukan semacam firdaus, tapi ternyata yang kita temukan bukan apa-apa. Kita hanya menemukan satu gundukan tanah, yang memberi kita keluasan pandang untuk melihat kembali apa-apa yang sudah dilalui. 

Bagian ini mengingatkan saya pada bab awal buku Thank You for Being Late yang ditulis Thomas L Friedman yang berterimakasih pada temannya yang terlambat datang ketika janjian sehingga dia ada waktu untuk merenungi banyak aspek yang berlarian di kehidupannya.

BACA: Empat Buku Thomas L Friedman

Mungkin demikian halnya di era serba digital ini. Yang hilang ataupun perlahan dikooptasi mesin adalah kesadaran kita sebagai spesies. Yang hilang adalah perenungan dan kontemplasi atas apa yang sudah dilalui, sebab semua mesin dan perangkat artificial intelligence jelas tak punya kesadaran. Mereka hanya bisa memproses informasi dan memberikan rekomendasi, namun tak bisa diajak bicara mengenai eksistensi manusia dan apa dilema moral dari setiap perubahan.

Sebagaimana saya katakan di awal, buku ini buat ketagihan. Ibarat es krim, kita tak puas mencicipinya. Sesuai membaca buku ini, saya rajin menonton banyak presentasi dan diskusi Harari di banyak lembaga, termasuk di kantor Google yang dihadiri banyak insinyur pengembang kecerdasan buatan. Seperti biasa, saya selalu terkesima melihatnya.





0 komentar:

Posting Komentar