Setelah Motor Jokowi


Tak sampai sebulan, hadiah lomba menulis yang diadakan relawan capres udah habis. Sebagian besar hadiah sudah dipake beli motor, yang dinamakan Motor Jokowi. Untungnya, royalti menulis buku di sebuah penerbit ternama datang pula. Sayang, jumlahnya hanya sekitar 12 juta. Kok kecil?

Bagi saya, jumlah itu sangat kecil setelah buku dipajang di Gramedia selama setahun. “Ah itu udah lumayan. Novel saya lebih kecil royaltinya,” kata sahabat, seorang sastrawan muda pemenang sayembara novel di Dewan Kesenian Jakarta, yang karyanya juga dijual di Gramedia.

Seorang teman penulis puisi menyebut angka di bawahnya. Teman lain yang meraih gelar PhD dari luar negeri lebih apes lagi. Dia tak menerima royalti, malah harus nombok ke penerbit. Wajar sih. Saya lihat judul bukunya saja sudah pusing, yakni Statistik Multivariat. Buku lainnya adalah Strukturasi dan Kerentanan Sistem Sosial Kita. Saya yakin, dikasih hadiah motor pun, orang awam gak mau baca.

Mari kita hitung pendapatan penulis. Anggaplah pendapatan royati selama setahun adalah 12 juta. Setahun bukunya dipampang di toko buku. Setahun juga dipromosikan sampai muntah. Artinya, dalam sebulan seorang penulis hanya menerima 1 juta rupiah. Padahal proses menulisnya bisa enam bulan sampai setahun. Benar kata Puthut EA, pekerjaan macam apa itu? 

BACA: Motor JOKOWI


Masih mending jadi buruh pabrik sepatu di Cibinong, yang dalam sebulan bisa bawa pulang uang 4 juta rupiah. Yah, mau ginama lagi. Itulah nasib mereka yang memilih jalan pedang sebagai penulis.

Saat itu, saya melihat linimasa Twitter. Ada lomba menulis esai ekonomi yang diadakan Sekretariat Kabinet RI. Esainya pendek, cukup 3 halaman lebih. Hadiahnya 25 juta rupiah. Wow. 

Bagi saya, menang lomba menulis ibarat menang lotere. Bukan berarti tulisanmu terbaik, tapi tulisanmu yang paling memenuhi selera juri serta panitia lomba.

Nah, tema lomba itu adalah Kredit Usaha Rakyat. Saya tidak punya pengetahuan apa-apa tentang tema ini. Tapi saya ingin pelajari, lalu ikut lomba itu. Batas lombanya adalah sebulan kemudian.

Saya mengulang kembali strategi yang diterapkan selama ini. Jangan ambil tema yang lagi ramai di media. Cari kisah-kisah dari kampung. Temukan tema yang unik dan tidak biasa. Jangan penuh kata-kata canggih dan teori-teori. Bikin tulisan yang sederhana, langsung pada sasaran.

Saya lihat ketua tim juri adalah Profesor Firmanzah, Rektor Paramadina. Selama beberapa hari saya cek di yutub apa saja komentar-komentarnya. Saya catat tema-tema yang sering dia bahas. Saya baca buku-bukunya, lalu bikin daftar keyword atau kata-kata kunci yang sering dia ulang-ulang.

Sebagai peneliti di kampus besar, yang punya akses pada perpustakaan, saya mulai dengan membaca. Saya kumpulkan buku-buku. Saya unduh banyak riset tentang kredit rakyat. 

Seminggu membaca bahan, saya diminta ibu pulang kampung ke Pulau Buton. Saya lupa urusan apa. Saat itu, saya mengisi waktu dengan keliling kampung nelayan dan berbincang dengan mereka. Saya ketemu banyak paman dan keluarga yang berprofesi sebagai nelayan.

Saya ngobrol banyak. Dalam riset, ini adalah proses wawancara mendalam. Saya mendapat banyak data penting. Di antaranya nelayan enggan ke bank. Sebab bank identik dengan kantor yang bersih, harum, karyawannya cantik2. Mereka ingin kantor yang suasananya ala pasar. Mereka bisa pede datang dengan bau laut, tidak harus mandi dan rapi.

Saya ketemu kawan semasa kecil yang mengelola koperasi. Dia lama merantau di Ambon, lalu pulang dan bikin koperasi nelayan. Saya ngobrol sambil memandang senja di ufuk sana. Eh, dia mengajak saya menikmati olahan ikan parende yang segar.

Saya juga baca publikasi mengenai Muhammad Yunus di Bangladesh. Saya tertarik dengan kisahnya. Saya kombinasikan dengan pengalaman kawan saya untuk meramu tulisan yang akan diikutkan lomba.

Hanya butuh beberapa hari, saya selesaikan tulisan. Saya gabungkan pengalaman kawan saya dengan apa yang terjadi belahan bumi lain. Saya masukkan juga beberapa data. 

Setelah kirim tulisan, saya merasa plong. Memang dan kalah sudah bukan lagi tujuan. Saya senang dengan kerja-kerja mempersiapkan tulisan itu. 

Dua minggu berikutnya, datang telepon dari Jakarta. Penelepon menyebut namanya Prof Firmanzah. Dia bilang saya adalah pemenang lomba. Dia juga bilang, “Apa saya bisa ketemu dengan nelayan yang Anda tulis?” 

Saya tidak lagi mendengar apa kalimat selanjutnya. Saya seolah tidak berpijak di bumi. Uang hadiah seakan sudah di tangan. Dibelikan apa yaa? Mau beli mobil, jelas tak cukup. Sembari ngobrol, saya lihat ada lomba yang hadiahnya lebih besar.

Nanti saya ceritakan. Ingatkan saja.


2 komentar:

Suci mengatakan...

Okeeh, akan saya ingatkan terus menerus mengenai kisah2 menang lomba hadiah puluhan juta. Mupeeeng...

Waode1453 mengatakan...

Selamat Pak atas pencapaiannya. Salam kenal dari Tanah Buton. Berharap semoga bisa mengikuti jejak bapak.

Posting Komentar