Menonton DISTOPIA


Sejak angka korban pandemi kian meninggi, saya kurangi update informasi di media. Ada banyak sedih setiap mengintip timeline media sosial. Ada pula banyak kesal melihat pandemi tidak bisa dikendalikan. 

Sejak pandemi pula, saya semakin menjadi pemalas yang lebih banyak di rumah. Saya ikuti kata komika Ernest Prakasa, saat ini kita jangan berpikir tentang produktivitas dulu. Jangan berpikir kekayaan dulu. Target kita adalah bagaimana bisa bertahan, bagaimana bisa tetap sehat walafiat saat pandemi berlalu. 

Jika spesies manusia tengah mengalami kepunahan akibat Corona, maka kita harus menjadi bagian dari spesies yang survive untuk melanjutkan kehidupan di bumi. Kita punya tanggung jawab untuk membangun bumi dari situasi yang porak-poranda. 

Makanya, patuhi semua prokes. Jangan merasa pintar dan kebal lalu abai kesehatan. Jangan merasa jago, tidak bermasker, petantang-petenteng, setelah itu terkapar di ICU rumah sakit dan merepotkan keluarga yang harus mencari oksigen. Segeralah vaksin, dan lebih banyak di rumah. 

Kata Darwin, mereka yang survive, bukanlah mereka yang paling kuat, paling hebat, dan paling pintar. Tapi mereka yang paling kreatif dan tahu bagaimana strategi bertahan. 

Selain urus kucing yang baru saja melahirkan, aktivitas saya di rumah hanya ada dua: membaca dan menonton. Entah kenapa, sejak pandemi, saya sangat suka mengikuti topik mengenai distopia. 

Saya suka membaca dan menonton film tentang bencana besar, kepunahan manusia, dunia yang muram, serangan wabah atau virus, serbuan alien, time travel, hingga konflik antar manusia pasca bencana.

Saya membaca ulang beberapa buku mengenai distopia, yang semakin bikin pesimis lihat tingkah manusia di bumi. Di antaranya 1984 dari George Orwell, Sixth Extinction dari Elizabeth Kolbert, Brave New World dari Aldous Huxley, The Uninhabitable Earth dari David Wallace Wells, Homo Deus dari Yuval Noah Harari. Saya masih mencari novel IQ84 dari Haruki Murakami.

Bahkan saya juga membaca novel populer Tere Liye berjudul Hujan yang mengisahkan bencana besar di bumi tahun 2049, manusia merekayasa cuaca sehingga memicu kepunahan, kemudian ada ilmuwan membuat pesawat untuk menampung ribuan manusia pindah ke langit.

Di Netflix, semua film dan serial tentang distopia sudah saya tamatkan. Yang paling membekas adalah beberapa serial, di antaranya adalah Black Mirror, The 100, The Sweet Tooth, Tribes of Europa, Ragnarok, Social Dilemma, dan film dokumenternya David Attenborough. Film terakhir ini sempat bikin gak bisa tidur.

Kemarin, saya lihat postingan seorang kawan mengenai film The Tomorrow War. Saya tertarik karena genrenya adalah mengenai distopia dan time travel. Saya lihat tayang di Amazon Prime. Langsung saya langganan Amazon Prime karena saya tidak puas nonton di situs bajakan. Sering buram, ngadat, dan diselingi iklan

The Tomorrow War adalah film baru, tahun 2021 yang diperankan Chris Pratt (pemeran Star Lord dalam Guardian of Galaxy dan Avengers: Endgame). 

Cerita film ini dimulai adegan pertandingan Piala Dunia 2022 di Qatar, di mana Brazil sedang bertanding. Saat itu, di tengah lapangan yang ditonton ribuan orang, portal waktu terbuka. Ada prajurit masa depan yang datang dan meminta bantuan manusia. Rupanya, di masa depan, populasi manusia akan punah karena serbuan alien. Manusia masa kini dibawa ke masa depan untuk bertempur.

Saya pikir situasinya persis dengan apa yang kita hadapi sekarang. Saat kita dihantam pandemi, kita butuh pesan dari masa depan yang mengingatkan kita untuk tidak lengah. Film The Tomorrow War ini bukan jenis film yang memenangkan penghargaan, namun sangat menghibur. Saya cukup menikmatinya.

Selesai nonton film ini, saya lihat ada banyak serial bertemakan distopia di Amazon Prime. Hmm., Sepertinya, saya akan kembali begadang untuk menghabiskan serial sembari menunggu jadwal final Euro. Saya berharap Inggris yang menang, tapi sepertinya kali ini milik Italia. 

Gimana menurut Anda?


0 komentar:

Posting Komentar