Terlalu Kecil Gelar Profesor untuk Mega


Dia menerima gelar doktor kehormatan dari beberapa kampus di dalam dan luar negeri. Kampus-kampus itu bukan kaleng-kaleng. Mulai dari kampus-kampus di Jepang, Korea, dan Rusia. Jika hari ini dia menerima gelar profesor dari satu kampus, apa salahnya? 

Orang-orang dengan sinis berucap, “Dia kan hanya lulus SMA. Dia kan bodoh dan tidak bisa bicara. Masa kepemimpinannya kan terlalu singkat. Tidak ada hal yang bisa dibanggakan.”

Jika dia bodoh, dia tidak mungkin berada di titik ini. Sejarah mencatat namanya sebagai seorang presiden yang separuh hidupnya dilalui dalam periode sulit. Berbagai rintangan dan duri-duri terhampar di perjalanan kakinya, namun dia tetap bisa menapak kaki ke posisi puncak republik.

Ada yang mengatakan, gelar itu didapat karena kuasa yang dipegangnya. Di dalam negeri, mungkin iya. Namun apakah kita bisa mengatakan hal yang sama pada kampus-kampus di luar negeri yang begitu murah hati dan baik budi karena memberikan gelar doktor kehormatan pada dirinya?

Ada yang bilang etika akademik runtuh sebab kampus dengan mudahnya mengobral gelar kepada seorang politisi. Bukankah dengan memberikan gelar kepada orang luar kampus adalah pertanda dari dedikasi kampus pada mereka yang punya rekam jejak dan pengabdian untuk orang banyak?

Yang patut dipersoalkan adalah apakah dia memenuhi semua syarat untuk menerima gelar kehormatan dari kampus. Lagian, itu kan urusan kampus. Selagi mereka menganggap layak, go ahead. Kalau Anda merasa dia tak layak dan merasa nyaman saat mem-bully dirinya, silakan saja.

Yang pasti, sejak awal menapak di jalur politik, Mega sudah kenyang dengan bully. Dia politisi yang terbiasa menghadapi ancaman. Dia menjalani hidup yang pahit dan berat, yang tidak dirasakan anak-anak presiden masa kini, mulai Tommy, Ilham, Yenny, Ibas, hingga Kaesang.

Ada masa di mana dia adalah anak istana yang menjalani masa remaja dalam kawalan Tjakrabirawa. Bersama saudaranya Sukma dan Rachma, dia ikut menari bersama 100 ribu penari saat pembukaan Ganefo di Stadion Gelora Bung Karno, 10 November 1963.

Selanjutnya hidupnya tidak mudah. Dia menyaksikan dengan perih, bagaimana hidup bapaknya yang dihabiskan dari pengasingan ke pengasingan demi kemerdekaan, tiba-tiba jadi tahanan oleh bangsa sendiri. 

Bulir air matanya menetes saat bapaknya dalam keadaan sekarat menyapa “Hoe goat het,” apa kabar kepada rekan seperjuangan Bung Hatta yang datang menjenguk. 

Dia saksi hidup saat bapaknya jadi tahanan politik yang ketika sakit tidak diobati oleh negara yang dimerdekakannya.

Bagi bapaknya, Bung Karno, kemerdekaan ibarat gerbang emas untuk menggapai semua kemajuan-kemajuan. Namun, kemerdekaan bisa serupa belati yang berbalik menikam mereka yang menggagasnya.

Megawati dan saudara-saudaranya meninggalkan istana, tanpa membawa pesangon. Mereka pun dijauhkan dari politik sebab bisa menggetarkan rezim. Mereka tak tahu bagaimana mencari uang untuk sekadar melanjutkan hidup. Kakaknya Guntur menjadi fotografer. Rachma membikin kampus. Guruh menjadi seniman Mega jadi ibu rumah tangga. 

Beberapa kali Mega ditawari sekolah di luar negeri, namun semuanya ditampik. Jika dia keluar, maka akan jadi “jebakan betmen.” Dia tak mungkin balik lagi sebagaimana ratusan ilmuwan yang dikirim bapaknya untuk studi di luar negeri, lalu dituduh kuminis oleh rezim.

Mega tetap sabar dan teguh saat rezim terus menyingkirkannya. Dia pun diam saja saat tiba-tiba di–DO dari kampus, tiba-tiba saja suaminya tewas misterius, hingga puncaknya saat aparat menyerbu markas partai yang dipimpinnya.

Dia melawan dalam diam. Tak ada kata atau makian yang menyembur dari bibirnya. Tak ada juga bully, sebagaimana ditunjukkan para ilmuwan sosial yang mengaku kritis di medsos.

Semua tekanan itu kian mendewasakannya. Dia punya kharisma yang membuat semua orang di sekitarnya tunduk pada perintahnya. Dia pun bisa membesarkan partai, yang tadinya dibonsai pemerintah, hingga menjadi kekuatan besar yang tak terbendung di negeri ini sejak masa reformasi. 

Jangan bandingkan dengan partai yang selalu teriak terzalimi. Bahkan di saat Mega di-bully, dia terus kokoh dan kian kuat di belantara politik negeri ini.

Di tengah semua bully-an, dia bisa memimpin partai besar, menaikkan banyak pengikutnya sebagai pemimpin, bahkan bisa mendudukkan seorang “petugas partai” menjadi presiden di republik ini.

Lantas, di mana salahnya? 

Harusnya Megawati menampik gelar-gelar hadiah.  Dia sejatinya tak perlu gelar profesor. Pengalaman hidup telah menempa dirinya untuk jadi lebih besar dari profesor mana pun. Bahkan gelar jenderal dengan bintang tujuh pun kecil baginya.

Di negeri ini, gelar profesor identik dengan legal formal yang tak selalu berkaitan dengan substansi. Anda bisa jadi profesor sepanjang memenuhi syarat serta mengurus administrasi dan kepangkatan. Soal kapasitas dan pengetahuan, sering tak menjadi hitungan.

Di negeri ini, gelar-gelar akademik menjadi gelar kosong tanpa makna. Tak ada bedanya dengan gelar bangsawan, atau gelar Haji yang disematkan semua calon pemimpin di pilkada. Gelar-gelar itu hanya casing, sekadar untuk membuat orang lain terkesan, namun tak selalu identik dengan substansi.

Harusnya Megawati tak perlu ikut-ikutan bikin karya ilmiah untuk memenuhi syarat administrasi.  Dia tak perlu sitasi dan menulis di jurnal terakreditasi. Dia tak perlu menyuruh orang untuk menulis makalah atas nama dirinya.

Biarlah upaya mengejar gelar itu menjadi milik sedikit orang yang bermimpi jadi bangsawan baru. Gelar-gelar itu bisa meninggikan gengsi, bisa menaikkan nilai tawar. Bisa dipakai saat menjabat sebagai kepala daerah, meskipun setelah itu dicokok lembaga anti korupsi.

Cukuplah Megawati menjadi bahan kajian dari ilmuwan sebagai perempuan yang bisa mendobrak “the glass ceiling” atau langit kaca kekuasaan yang tak pernah bisa ditembus perempuan Amerika Serikat, sehebat apa pun itu.

Cukuplah dia menjadi bahasan dari para ilmuwan kalau dirinya ibarat komet yang tetap bersinar sampai ke bumi, meskipun dihadang meteor di angkasa sana. Megawati adalah mega-mega yang tak butuh banyak penjelasan. 

Seperti kata Bung Karno, dia adalah mega yang selalu putih di angkasa sana, meskipun sebelumnya menjadi air yang mengalir di gorong-gorong kemudian ke laut lepas, lalu naik ke langit.

Kalaupun dia menerima, anggap saja itu adalah bentuk keramahtamahan dan penghargaan pada kampus-kampus yang makin miskin analisis dan kehilangan ritme ilmiah di tengah terpuruknya peringat mereka di daftar kampus terbaik antar bangsa.



17 komentar:

GASA mengatakan...

Tulisan yg bisa menghentikan caci para kadrun dan sebangsanya

Steve Gaspersz mengatakan...

Sudut pandang yang jernih

Unknown mengatakan...

M emberi itu sangat mulya
E ntah dinilai atau tdk, yg
G encar akan alibi,
A kan terungkap.
🤟
Merdeka🙏

Unknown mengatakan...

Entarr lgi dpt panggil ke intana 😁😁

TJ mengatakan...

Sayangnya Mega ga pernah belajar dari pahitnya hidupnya. Di luar itu tampaknya penulis meremehkan profesi fotografer, bahkan PEMILIK SEKOLAH TINGGI! Trus maksudnya mau jadi apa? Presiden juga?

Anonim mengatakan...

Opini yang paling santun di tengah kepelikan kondisi akademis di negeri ini. Gelar profesor sekalipun di dunia akademis tdk menjamin seseorang itu beepikir ilmiah. Banyak contoh...

ut-surabaya mengatakan...

selalu ada perspektif lain yang lebih jernih dan segar.

Unknown mengatakan...

Ya e

fatwasaja.blogspot.com mengatakan...

Tunggu panggilan dari istana negara

Anonim mengatakan...

sepanjang sepengetahuan saya, gelar profesor kehoramatan itu tdk ada dalam literatur kemendikbud. coba dibaca artikel ini https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210610195104-20-652880/polemik-mega-dikbud-sebut-tak-ada-gelar-profesor-kehormatan

Kyai Gombalamoh mengatakan...

Tulisan sempak.

huldi amal mengatakan...

Keren bang

Unknown mengatakan...

JERNIH...dari Sudut pandang yg berbeda

Anonim mengatakan...

Kalo Lo rajin nulis kayak gini, sebentar lagi lo bakal jadi komisaris BUMN bro

irma.kirana mengatakan...

Saya fokus di alinea terakhir, dan kembali berfikir..

Anonim mengatakan...

halah.. males banget... gak masuk akal

Begras Satria mengatakan...

Tulisan yang jernih! saya bukan pengagum Bu Mega, tapi tulisan ini merupakan hasil olah pikir yang jernih dan menempatkan nalar pada proporsinya. Salut!

Posting Komentar