BANYAK sisi untuk menilai Bondan Winarno.
Tidak hanya soal jurnalisme investigasi, atau acara-acara kuliner dan
jalan-jalan yang dipandunya. Dia juga punya keberpihakan pada kuliner lokal
yang disajikan di warung-warung kaki lima. Ia menaikkan “kelas” warung kaki
lima dan kuliner lokal hingga bersanding dengan restoran bintang lima di
layar-layar televisi.
Dalam satu makan siang bersamanya, ia
pernah menjelaskan resep kuliner Pencong di Bali yang hanya digunakan saat ada
ayam aduan yang mati. Saya pun menceritakan pengalaman dan bacaan saya mengapa
masakan Jawa terasa manis di lidah.
***
PERTENGAHAN tahun 2010, saya bertemu
Bondan Winarno di Denpasar dalam satu acara diskusi mengenai pariwisata
kuliner. Acara itu mempertemukan beberapa stakeholder, mulai dari
pemerintah, pelaku pariwisata, jurnalis, blogger, dan para traveler.
Seusai diskusi, kami ngobrol-ngobrol di ruang makan saat makan siang.
Saking asyiknya pembicaraan, kami tak
sadar kalau hari telah beranjak sore. Kami berpisah. Malamnya, Bondan mengajak
saya untuk ngopi-ngopi di satu warung kaki lima yang menyajikan kopi khas Bali
yang nikmat. “Maknyuss” katanya.
Di mata saya, Bondan adalah sosok yang hangat.
Ia tak pernah kehabisan topik. Kami membahas beragam topik yang tidak pernah
habis dikupasnya. Ia punya banyak bumbu-bumbu untuk membuat setiap kisah jadi
menarik. Lidahnya serupa alat canggih yang bisa mengenali semua jenis bumbu
yang disajikan dalam makanan. Ia juga pencerita hebat yang selalu bisa mengemas
semua kisah jadi menarik.
Kesan saya, wawasannya luas. Ia banyak
keliling dunia demi berbagai tugas, sekaligus berpetualang mencicipi kuliner
baru. Ia bertemu banyak kalangan, mulai dari pejabat hingga warga biasa yang
saban hari ngopi di tepi jalan. Terhadap banyak kalangan itu, ia bisa
memosisikan diri. Makanya, ia selalu menjadi kawan akrab banyak orang. Bahkan
saya yang baru mengenalnya pun tiba-tiba merasa seperti kawan akrab yang sudah
puluhan tahun saling mengenal.
Saat diajak membahas makanan, ia penuh
antusias. Kata Bondan, hampir semua daerah memiliki khazanah pusaka, yakni
aneka kuliner yang hingga kini masih lestari. Ia menolak anggapan bahwa
masuknya berbagai kuliner impor akan mematikan semua kuliner lokal. Justru yang
terjadi adalah sebaliknya. Kuliner asing itu yang terancam gulung tikar oleh
kuliner lokal.
“Kita sering khawatir sama pengaruh
McDonald. Padahal, gerainya di seluruh Indonesia nggak lebih dari 115. Malah
jumlahnya makin berkurang. Demikian pula dengan Starbucks yang bangkrut di
mana-mana. Orang Indonesia berpikir, ngapain ngopi di Starbuck dan harus bayar
sampai 50 ribu rupiah. Mending ngopi di pinggir jalan. Di Bali ini, harga ngopi
di pinggir jalan cuma dua ribu rupiah. Padahal kenikmatannya sama
saja,” katanya.
Bondan juga menjelaskan betapa tangguhnya
para pengusaha kuliner kita. Saat krisis menerjang, justru para pengusaha
kuliner yang paling tangguh menghadapinya. Mereka tangguh karena yakin publik
tanah air kita akan selalu mencari kuliner lokal. “Sejauh-jauhnya manusia
Indonesia berkelana, tetap saja lidahnya akan lebih suka nasi goreng ketimbang
spageti,” katanya sembari terkekeh.
Jika dihitung, maka jumlah pengusaha
kuliner bisa sampai separuh dari jumlah pengusaha di Indonesia. “Pengusaha
kuliner itu bukan cuma tukang masak saja. Sebab semua peternak, pedagang ayam,
juga masuk dalam kategori pengusaha kuliner. Demikian pula petani. Mereka semua
menyediakan bahan untuk kuliner,” katanya.
Sayangnya, pemerintah tidak begitu peduli
dengan pusaka kuliner. Padahal, jika kuliner dikelola dan dikemas secara
kreatif, maka akan menjadi satu kekayaan budaya serta potensi wisata yang
sangat besar.
“Sebenarnya, ini kan soal kemasan. Kita
tidak mengemas kuliner kita secara kreatif. Misalnya saja di bali ini kita
mengenal menu bernama Pencong. Ini masakan ayam yang amat enak. Pada masa lalu,
resep ini hanya dibuat ketika ada ayam aduan yang kalah. Andaikan sejarah ini
diceritakan, pastilah semua orang akan ngiler dan penasaran untuk
mencoba,” lanjutnya lagi.
Nah, saat ia membahas ini saya tertarik.
Saya setuju dengannya. Semua daerah punya kuliner yang resepnya diwariskan dari
zaman ke zaman. Di setiap kuliner itu, ada banyak kisah, narasi, dan sejarah
yang jika dikisahkan akan membuat semua orang penasaran. Saat ia mengisahkan
menu Pencong di Bali, saya jadi penasaran untuk mencicipinya. Tapi saya
membayangkan pasti akan sulit menemukan adu ayam di masa kini. Padahal, kata
Bondan, menu pencong itu akan dikeluarkan saat ada ayam mati.
Berpose dengan Bondan Winarno |
Ternyata di balik setiap masakan atau
kuliner, terselip demikian banyak kisah-kisah yang bisa dieksplorasi dan
menunjukkan bagaimana sebuah kebudayaan tumbuh dan berkembang. Kuliner bisa
menjadi sebuah jendela atau pintu masuk untuk menjelaskan banyak hal. Mulai
dari kebiasaan-kebiasaan yang ada di suatu tempat, bahan-bahan alami yang mudah
ditemukan, hingga pelapisan sosial ketika satu kuliner di masa silam hanya
dikonsumsi oleh keluarga bangsawan.
Kuliner bisa menjadi starting
point untuk menjelaskan kebudayaan secara lebih luas. Dalam khasanah
ilmu sosial yang menganut logika induktif, kuliner menjadi pintu masuk yang
akan membawa seseorang memasuki jantung sebuah kebudayaan melalui pengenalan
akan khasanah alam, serta dinamika dan interaksi antar manusia yang ada di
dalamnya.
Melalui kuliner bernama Pencong tersebut,
kita bisa mengenal lebih jauh tradisi sabung ayam, potensi alam Bali, serta
bagaimana dinamika manusia-manusia Bali yang mengolah kuliner tersebut.
Saya teringat penuturan seorang sejarawan,
mengapa makanan Jawa selalu terasa manis. Ada dua argumentasi yang bisa dikemukakan.
Pertama, rasa manis telah lama dikenal
sebagai rasa yang wajib ada dalam makanan. Dalam teks Jawa kuno, terdapat
ajaran tentang enam rasa yakni manis, asin, asam, pedas, pahit, dan sepat.
Keenam rasa ini harus ada dalam setiap makanan demi menghasilkan rasa yang
sempurna.
Kedua, rasa manis itu diduga terkait
dengan banyaknya suplai gula di Jawa akibat didirikannnya banyak pabrik
gula. Sejarah mencatat, pada tahun 1830, Gubernur Jenderal Van den
Bosch memberlakukan kebijakan tanam paksa untuk mengisi kas pemerintah yang
kosong karena habis digunakan untuk perang melawan Pangeran Diponegoro. Para
petani di Jawa hanya dibolehkan menanam komoditas tertentu yang laku di pasaran
internasional, di antaranya adalah tebu dan kopi.
Lebih 100 pabrik gula lalu didirikan di
Jawa. Sejuta petani menanam tebu, yang kemudian berimbas pada menipisnya stok
beras. Di saat kekeringan, petani memasak dengan air perasan tebu. Sejarawan
Onghokham menulis bahwa setelah tanam paksa dihapus, bisnis gula lalu beralih
ke pedagang Tionghoa dan swasta. Melalu kerjasama dengan raja-raja Jawa, semua
kerajaan lalu mengalami kemakmuran. Para abdi dalem, lalu mendapatkan konsesi
tanah yang kemudian ditanami gula.
Walaupun bisnis gula kemudian meredup
akibat krisis ekonomi tahun 1930-an, para priyayi dan bangsawan telah telanjur
memiliki lifestyle sebagai warga kelas atas. Kebiasaan
kuliner, khususnya yang manis-manis, menjadi gaya hidup masyarakat. Tak heran
jika banyak yang terkena sakit gula. Konon, Sultan Hamengku Buwono VIII meninggal
karena sakit gula. Ia menjadi satu dari banyak orang yang terkena dampak dari
makanan berasa manis.
Ternyata, di balik setiap rasa makanan
terdapat banyak pelajaran berharga yang bisa diserap. Melalui makanan, kita
bisa memasuki rimba kebudayaan, merambah tepian sejarah, lalu membawa pulang
demikian banyak inspirasi pengetahuan di sana. Melalui tradisi, kita bisa
menyerap segenap masa lalu untuk memahami segala dinamika di masa kini.
***
PADA diri Bondan, saya temukan idealisme
untuk mengangkat kuliner lokal. Melalui acara-acara yang diasuhnya, ia
mempromosikan berbagai khasanah kuliner lokal yang cita rasanya selalu
maknyuss. Tak terhitung betapa banyak restoran yang memajang fotonya yang
pernah singgah dan mencicipi makanan di situ. Ia meninggalkan banyak jejak di
hati pengusaha kuliner yang jualannya mendadak laris karena disinggahi dan
dipromosikan Bondan.
Hari ini, saya membaca berita tentang
Bondan yang sudah berpulang. Saya rasa Bondan sedang memulai perjalanan baru.
Andaikan bisa kembali berdialog dengannya, saya berharap dirinya bisa bercerita
seperti apa nikmatnya menu di surga. Apakah manis, asin, ataukah asam?
Biarlah Bondan yang merasakannya di sana.
0 komentar:
Posting Komentar