Melihat Surga di Belakang Rumah

Suasana di Pantai Nirwana, Baubau

DI Instagram, saya menampilkan foto pesisir pantai di Buton, yang serupa kaca, dan di atasnya ada perahu nelayan sedang melintas. Saya cuma sekadar memosting foto yang jaraknya hanya 10 menit dari rumah. Saya juga memosting foto dua perahu berjejer di pasir putih. Bagi orang kampung seperti saya, itu adalah pemandangan biasa. Laut biru adalah kenyataan sehari-hari yang tak istimewa. Tapi seorang kawan berkebangsaan Jerman mengirimi pesan singkat, “Yos. It’s Amazing. You live in a paradise!”

Seringkali apa yang kita anggap biasa adalah surga bagi orang lain. Kita sering tak menyadari bahwa ada begitu banyak orang yang iri kepada kita-kita yang berumah di pesisir, bermain di pasir putih hingga bosan, serta berenang di antara ubur-ubur dan penyu. Banyak yang cemburu karena matahari yang setiap saat bersinar di kampung kita, laut-laut biru dengan pohon kelapa hijau yang melambai, hingga pemandangan matahari senja yang sedemikian memukau.

Kita tak menyadari bahwa kita tinggal di atas kepingan surga. Ketika orang lain melihat sisi surga itu, barulah mata kita membuka, barulah nalar kita tersentak. Saat saya belajar di kelas riset, seorang profesor pernah memberi tahu, “Kamu tak akan pernah menyadari bahwa kamu tinggal di atas gunung, ketika kamu tak pernah turun gunung.” Benarkah kita tak sadar jika sedang memijak negeri surga?

Kemarin, saya mengambil gambar suasana pantai yang masih perawan, dalam pengertian belum terjamah oleh tangan-tangan kekar kapitalisme seperti jasa perhotelan atau para pengusaha rakus yang mengkapling pantai. Saya memotret pantai yang indah, di mana semua warga kampung bebas untuk datang dan mandi, lalu membangun istana pasir.

Sahabat asal Jerman itu kembali mengirim pesan,  "I’m absolutely jealous.” Saya lalu merespon. Saya ceritakan padanya bahwa banyak warga kampung yang justru menganggap Eropa dan Amerika adalah segala-galanya. Dia lalu mengirimkan link foto tentang sisi lain negerinya. Ia berpesan bahwa negerinya bukanlah surga.

Dialog dengannya sangatlah menarik. Banyak warga di tanah air yang sering tidak menyadari betapa beruntungnya tinggal di negeri tropis ini. Ada jutaan orang yang bermimpi setinggi langit untuk menginjakkan kaki di negeri empat musim.

Niat mereka tak selalu terkait dengan keinginan untuk mengasah pengetahuan, namun banyak yang menganggapnya sebagai tantangan, refleksi dari hasrat untuk menjelajah dunia, atau mungkin hanya untuk sekadar memasang foto di situs jejaring sosial. Pada titik ini, negeri lain selalu dianggap lebih ideal ketimbang negeri sendiri. Yang parah adalah ketika beberapa orang berada pada titik yang merendahkan negeri sendiri.

Memang, di sini tak ada salju. Di sini tak ada pohon mapple dengan daun yang berwarna-warni mengikuti musim. Juga tak ada gedung-gedung tinggi. Namun negeri ini justru menyimpan begitu banyak pemandangan eksotik yang justru amat digilai masyarakat luar. Di antara pemandangan eksotik itu adalah pantai berpasir putih dan laut biru.

Bagi masyarakat Amerika, berpesiar ke pantai dengan pasir putih adalah sesuatu yang amat mewah. Maklum saja, demi menemui laut dan pasir putih, mereka mesti terbang ke Miami atau Florida. Ongkos penerbangan cukup mahal. Pantas saja jika traveling ke sebuah pulau tropis yang terdapat pasir putih dan laut biru adalah hal yang amat mahal bagi warga Amerika. Ketika ada seseorang yang melakukannya, maka orang itu dianggap kaya sebab mengeluarkan banyak ongkos demi perjalanan tersebut.



Bagi kita warga Indonesia, khususnya yang bermukim di pulau-pulau, pantai dengan pasir putih bukan sesuatu yang mahal. Saya hanya butuh lima menit untuk mencapai laut dari rumah. Bahkan demi mendatangi pantai dengan pasir putih, sebagaimana fotonya saya pajang di atas saya hanya butuh waktu sekitar 15 menit. Ketika berpose di pantai itu, maka para sahabat di Amerika dan Eropa akan berdecak kagum dan mengapresiasi betapa beruntungnya saya yang tinggal di pulau tropis.

Bagi saya, pernyataan surga itu bukanlah sebuah isapan jempol. Selama berpetualang ke luar negeri, ada banyak hal yang saya kangeni dari tanah air. Selain kangen pada pantai berpasir putih yang asri dan amat elok dipandang mata, saya selalu merindukan kuliner yang demikian kaya atau beranekaragam di berbagai daerah. Ke manapun saya berpindah, selalu saja saya temukan berbagai makanan khas yang rasanya selalu unik dan beda, serta mencerminkan kekhasan satu daerah.

Mengapa kita sering tak menyadari kenyataan bahwa kita sedang memijak negeri surga? Sebab kita lahir dan besar di negeri ini sehingga semua kenyataan berlalu begitu saja dan menjadi hal yang biasa saja. Kita tak merasakan betapa dahsyatnya pantai berpasir putih, jika kita tak pernah merasakan bagaimana danau-danau di Amerika yang berpasir hitam dan penuh lumpur. Kita tak merasakan nikmatnya makanan sea food di tanah air jika tak pernah merasakan bagaimana hidup di luar negeri, di mana pilihan ikan hanyalah ikan air tawar yang tak berasa sama sekali.

Mungkin pula peribahasa ‘rumput tetangga selalu lebih hijau’ berlaku di sini. Kita hanya sibuk memperhatikan nikmatnya mereka di negeri barat sana, tanpa menyadari bahwa negeri kita begitu dahsyat, memiliki garis pantai terpanjang di dunia, memiliki pemandangan yang mengagumkan dan hanya bisa dikhayalkan bagi sebagian besar masyarakat barat.

Ternyata, tak hanya warga kita yang bermimpi ke negeri lain. Warga negeri lain pun memelihara mimpi yang sama untuk berkunjung ke negeri kita dan melihat langsung pemandangan yang selama ini hanya bisa mereka khayalkan. Mimpi bagi sebagian orang barat untuk ke negeri kita juga berubah menjadi rasa cemburu serta iri untuk turut menikmati surga tropis, sesuatu yang setiap hari kita rasakan. Saat menulis artikel ini, saya masih terkenang dengan kalimat sahabat, “I’m absolutely jealous!”

Yah. Saya bahagia bisa mengunjungi pulau-pulau. Saya bahagia menikmati sesuatu yang hanya bisa dibayangkan mereka di negeri sana. Saya bahagia karena berumah di atas kepingan surga. Saya bangga dengan keadaan ini. Apakah Anda berpikir sama dengan saya?




0 komentar:

Posting Komentar