PEKAN silam, hampir semua media
memberitakan Umi Pipik, janda almarhum Ustad Uje, yang konon menikah diam-diam
dengan Sunu. Perempuan yang kerap mengenakan kerudung hitam ini mendapatkan
umpatan di berbagai media karena dianggap berselingkuh. Ia dianggap merusak
rumah tangga orang lain. Saking massifnya hujatan yang diterimanya, ia
memutuskan untuk mengganti akun instagramnya.
Pekan ini, berita tentang Umi Pipik mulai
bergeser. Isu tentangnya digantikan oleh berita mengenai Jennifer Dunn yang
dilabrak seorang remaja perempuan di mal. Jennifer juga dituduh merampas
kebahagiaan sebab memacari Faisal Haris, ayah remaja perempuan itu. Laksana
setitik api yang terpantik di atas bensin yang terlanjur merembes ke mana-mana,
berita mengenai Jennifer merebak.
Nyaris semua media menjadikan Jennifer
sebagai bulan-bulanan. Masa lalunya “dikuliti.” Atas dalih investigasi, media
sibuk membahas siapa perempuan ini. Fotonya, dalam berbagai pose, tampil di
semua media, khususnya media infotainment. Tak hanya itu, berita mengenai
hujatan atasnya juga merebak bak cendawan di musim hujan.
Media masih tak puas. Keesokan harinya,
wawancara dengan Sarita, istri Faisal Haris, tayang di semua media. Bahkan
remaja pelabrak Jennifer juga tampil di media. Terungkaplah perselingkuhan abad
ini antara Jennifer dan Faisal Haris. Terbuka pula apa saja hadiah-hadiah yang
diberikan Faisal kepada Jennifer. Berkat semua liputan itu, Jennifer dituduh
sebagai pelakor, perusak rumah tangga, dan menurunkan marwah kaum perempuan.
Mungkin saja, Jennifer berhadapan dengan
tatap benci di mana-mana. Mungkin saja ia akan melakukan diet informasi
belakangan ini. Mungkin tindakannya salah. Namun apakah adil jika semua
kesalahan dan keburukan ditimpakan pada Jennifer seorang? Mengapa media tidak
mengulik segala hal tentang Faisal Haris sebagai lelaki yang punya keluarga,
namun berani meninggalkan keluarganya demi seorang Jennifer?
Kita pun bisa mengajukan pertanyaan yang
sama tentang Umi Pipik dan Sunu. Mengapa media dan warganet tidak melakukan
hujatan yang sama kepada Sunu? Mengapa hanya Umi Pipik yang diminta untuk
membuka jilbabnya, sementara Sunu justru tetap petantang-petenteng dengan
mengenakan surban ala seorang kiai? Mengapa Sunu bisa bersembunyi dengan aman,
sementara Umi Pipik terus-terusan mengalami penghakiman publik atas kenyataan
yang justru tak banyak diketahui oleh media dan semua orang?
Dalam kasus Faisal Haris dan Jennifer,
media jelas-jelas tidak tertarik membahas Faisal Haris, lelaki tukang selingkuh
itu. Informasi tentang Faisal Haris di Google hanya muncul sebanyak 717 ribu
kali. Sementara Jennifer Dunn ditampilkan Google sebanyak 24 juta kali. Itupun,
kebanyakan informasi tentang Faisal Haris hanya menyebut namanya sekilas saja.
Yang dibahas tetap Jennifer Dunn yang sempat dilabeli sebagai pelakor abad ini.
Jika Faisal dan Jennifer berselingkuh,
maka keduanya punya kontribusi dan saham atas perselingkuhan itu. Keduanya
melakukannya atas dasar mau sama mau. Faktanya, Faisal Haris menyukai Jennifer,
memberinya berbagai hadiah mewah, dan rela melakukan apapun untuk perempuan
itu. Jika Jennifer dianggap kurangajar, maka Faisal Harris harusnya dianggap
sebagai rajanya kurangajar. Dia lebih tak tahu malu karena sudah punya anak
istri, tetap saja masih melirik perempuan lain. Tapi mengapa media hanya sibuk
mengulas segala hal tentang Jennifer?
Saya teringat pada Frederickson dan
Roberts (1997) yang mengemukakan objectification theory. Kata mereka,
”Apa yang tampil di media adalah refleksi dari kultur masyarakat yang mengalami
obyektifikasi.” Masyarakat menempatkan perempuan sebagai obyek yang ditangkap
mata. Makanya, identitas perempuan dan laki-laki kemudian tampil berbeda di
media. Laki-laki menjadi subyek, yang punya kendali dan hasrat pada perempuan.
Sementara perempuan adalah obyek fantasi laki-laki, yang mempertontonkan
sebagian tubuhnya agar laki-laki merasa puas. Ini terlihat dalam iklan, gambar,
visual, suara, maupun liputan media massa.
Di saat media terus-terusan menampilkan
sosok Umi Pipik dan Jennifer secara negatif, dan di saat bersamaan abai pada
Sunu dan Faisal Haris, maka media telah mengonstruksi apa yang ingin dilihat
oleh masyarakat. Bahwa perempuan masih dilihat sebagai penyebab masalah dan
menyebabkan rusaknya hubungan rumah tangga. Media tidak melihat secara adil
bahwa laki-laki pun punya kontribusi pada persoalan ini.
Padahal, wacana tentang perlunya
menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki telah lama disuarakan para
feminis. Bahkan lembaga Unesco pernah membuat panduan sensitif gender di ruang
redaksi. Lembaga itu membuat indikator sensitif gender dan senantiasa
mengampanyekan perlunya keseimbangan di redaksi sehingga liputan media tidak
selalu maskulin atau didominasi laki-laki, tapi juga memberi ruang positif bagi
perempuan.
Dengan menampilkan wajah cantik Umi Pipik
dan Jennifer secara terus-terusan di media, maka pesan yang timbul adalah aspek
fisik perempuan adalah obyek utama yang membuat seorang lelaki rela melakukan
apapun. Persoalannya seolah terletak pada wajah cantik mereka, bukan pada sisi
negatif Sunu dan Faisal Haris yang secara aktif memikat mereka hingga berani
meninggalkan keluarganya.
Jika pandangan ini tidak dikoreksi, maka
bisa merasuk menjadi kesadaran kognitif warga. Laki-laki dan perempuan akan
memahami perannya di dunia sosial sebagaimana yang hadir di media, di mana
laki-laki sebagai pemegang kuasa, dan perempuan sebagai obyek kuasa. Identitas
laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh degree of power (derajat
kekuasaan) yang mereka miliki. Laki-laki mengendalikan wacana melalui media.
Jika suatu saat ada persoalan, lagi-lagi kita, yang terlanjur jadi korban media
ini, akan menyalahkan perempuan.
Nah, marilah kita bertanya pada diri
sendiri. Seberapa adilkah kita pada Jennifer Dunn?
0 komentar:
Posting Komentar