Gene Ammarell dan istrinya sebagaimana dipotret di Athens, Ohio |
DUA jam bertemu Gene Amarell, profesor
antropologi asal Amerika Serikat yang dikenal sebagai penulis buku Navigasi
Bugis, banyak ide-ide berseliweran di benak saya. Saya mencatat beberapa hal
yang terus menggelisahkan saya.
Pertama, seringkali apa yang kita anggap
biasa, ternyata justru menjadi kajian yang memikat saat ditulis oleh peneliti.
Sesuatu yang kita anggap kuno dan ketinggalan zaman, justru menjadi berlian
bagi warga negara lain yang tertarik untuk melakukan riset atas pengetahuan
itu. Namun, seberapa besarkah penghargaan kita atas khazanah pengetahuan yang
kita miliki?
Kedua, mengapa publikasi mendalam tentang
navigasi Bugis, yang merupakan khazanah kekayaan pengetahuan orang Bugis,
justru dilahirkan seorang profesor asing di negeri jauh sana? Mengapa tidak
ditulis dan disebarkan ke seluruh dunia oleh para ilmuwan kita sendiri?
Ketiga, apakah kelak generasi muda Bugis
harus jauh-jauh ke negeri sana untuk menemukan catatan riset mendalam atas
pengetahuan navigasi dan membaca perbintangan sebagaimana diproduksi oleh nenek
moyangnya? Tidakkah kita khawatir bahwa bangsa lain yang lebih paham atas
budaya kita sehingga kelak kita harus mengunjungi negeri lain demi belajar
sesuatu yang sebenarnya kita punyai namun kian asing disebabkan hasrat kita
pada modernitas?
Saya ingin berkisah sekelumit perkenalan
saya dengan Gene Amarell.
***
Sebuah pesan masuk ke handphone saya.
Pengirimnya adalah Profesor Gene Ammarell. Pesan itu berisi permintaan agar
saya menemuinya di satu lokasi di dalam Kota Kendari, kemudian menemaninya ke
Bandara Haluoleo. Bersama sahabat Syamsul Anam, saya menjemput Ammarel lalu
berbincang banyak.
Tadinya, saya melihat foto Amarell di
media sosial bersama seseorang yang diakuinya sebagai anak adopsinya. Saya melihat
lokasi foto itu di Kendari. Kebetulan, saya sedang berada di Kendari untuk satu
keperluan. Saya lalu mengontak Ammarell melalui Whatsapp. Gayung bersambut. Ia
mengajak saya untuk bertemu.
Saya mengenal Ammarell sejak tahun akhir
tahun 2000-an. Pada saat itu saya belum pernah bertemu secara fisik. Akan
tetapi, saya membaca buku Navigasi Bugis yang ditulisnya. Di buku itu,
saya menemukan peta pulau-pulau, serta peta-peta bintang yang dinamai dengan
nama-nama Bugis. Buku itu serupa harta karun yang menyimpan banyak pelepah
pengetahuan mengenai maritim dan dinamika di lautan sana.
Tak disangka, jalan nasib mempertemukan
saya dengan Ammarell. Malah, saya belajar etnografi di kelas yang diasuhnya.
Pada dirinya saya melihat ketekunan yang begitu hebat. Ia menunjukkan ribuan
lembar catatan lapangan yang ditulisnya saat melakukan riset di Pulau
Balo-baloang, di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Tak hanya itu, ia juga
membuka gulungan kertas sebesar gulungan karpet masjid yang isinya adalah
peta-peta kekerabatan (kingship) semua warga pulau. Saya yakin, tidak
ada satupun warga pulau yang punya peta kekerabatan dan silsilah selengkap yang
dibuat Ammarell.
Mengapa tertarik untuk belajar mengenai
dunia maritim orang Bugis? Ia hanya menjawab satu kata yakni “serendipity” atau
kebetulan. “Sejak dulu, saya tertarik dengan perbintangan dan navigasi. Saya
pernah bekerja sebagai relawan di Peace Corps di Malaysia. Kebetulan, saya
bertemu seorang kolega yang pernah berlayar dengan perahu Bugis untuk studi
post-doktoral. Saya lalu bertanya, "Apakah orang Bugis menguasai
navigasi?"
Kolega saya itu berkata, "Buginese
people are good navigators.”
Ammarell amat penasaran dengan para pelaut
Bugis. Besar dalam alam pikiran masyarakat Barat, tadinya ia berpandangan bahwa
lautan adalah arena yang dihadapi dnegan menggunakan semua perangkat mekanis.
Seorang pelaut, nelayan, ataupun petualang harus memiliki alat-alat seperti
kompas, perangkat GPS, dan peta demi bisa melintasi samudera.
Namun pelaut Bugis justru bisa melepaskan
dari segala ketergantungan pada alat mekanis itu. Mereka tidak bergantung pada
alat modern. Mereka membaca bintang di langit, melihat tanda-tanda alam seperti
gelombang, arus laut, serta semilir angin. Seorang pelaut dibekali kemampuan
mengenali alam, sebagai pengetahuan yang diwariskan oleh generasi sebelunya.
Inilah yang kemudian dicatat Ammarell dalam bukunya.
“Navigasi barat sangat matematis dan
tergantung pada alat-alat mekanis seperti Global Positioning System (GPS),
kompas magnetik, dan lainnya. Ketika alat itu tidak bekerja, pelaut tidak bisa berbuat
apapun. Sedangkan navigasi Bugis mengandalkan bintang, arah angin, cuaca, serta
kemampuan membaca laut. Bukankah itu menakjubkan?” katanya.
Saya teringat artikel yang saya baca di National
Geographic. Warga dunia akhirnya menyadari bahwa teknologi tidak selalu
menjadi solusi atas persoalan manusia di abad ini. Peradaban manusia memang
kian canggih, namun dalam situasi tertentu, teknologi tak selalu menyediakan
jawaban atas situasi manusia.
Kita bisa mengambil contoh bagaimana
hantaman tsunami di Aceh. Pada saat, korban tsunami di Aceh mencapai ratusan
ribu orang, hanya ada tujuh korban di Simeulue. Rahasianya terletak pada
kekuatan tuturan kisah rakyat di Simeulue yang membuat warga pulau waspada saat
melihat tanda-tanda alam. Generasi Simeulue hari ini diselamatkan oleh warisan
pengetahuan yang ditanamkan nenek moyang mereka sejak masa lalu melaui kearifan
lokal.
***
Betapa saya bangga dan bahagia melihat
publikasi Ammarell. Betapa saya bangga melihat kecintaannya pada pengetahuannya
mengenai orang Bugis yang kemudian ditulisnya dalam berbagai publikasi
internasional.
Tapi, sejujurnya, ada rasa iri dan cemburu
dalam batin saya. Mengapa karya sebagus itu tidak dihasilkan oleh para penulis
bangsa ini. Apakah kita sama tidak menyadari bahwa kekayaan bangsa kita sendiri
telah dinarasikan oleh bangsa lain?
Apakah kita tidak punya nasionalisme untuk
menuliskan sendiri semua hal-hal yang menarik di bangsa ini? Mengapa dalam
dunia publikasi riset, kita masih saja menjadi pemamahbiak atas karya-karya
ilmiah yang dituliskan bangsa lain tentang bangsa kita sendiri?
“Kita para peneliti lokal tidak setekun
peneliti asing,“ demikian kata seorang kawan. Kalau itu persoalannya, mengapa
kita tidak tekun dalam hal menjaga milik kita, warisan leluhur kita? Bukankah
ilmu pengetahuan memiliki metode yang bisa dipelajari siapapun yang intens
mengkaji fenomena sekitar? Jika soalnya adalah ketekunan, lantas apa sih yang
dilakukan oleh para profesor yang saat ini tunjangannya hingga 13 juta rupiah
di negara ini?
Mungkin ini bukan cuma soal ketekunan. Ada
banyak hal yang membuat kondisi dunia riset sosial dan humaniora di negara ini
seakan jalan di tempat. Boleh jadi, para ilmuwan kita lebih sibuk mengurusi
dunia politik, ketimbang membikin jejak di dunia ilmiah. Boleh jadi, kita lebih
suka “jago kandang”, tanpa ada hasrat untuk menggemakan kekuatan tradisi dan
pengetahuan lokal kita.
Kita sering mengidap perasaan “di atas
angin” sehingga tidak menyadari bahwa ada sejumlah ilmuwan asing dari berbagai
penjuru yang secara intens mengkaji kebudayaan kita dan memublikasikannya. Kita
terlalu pongah seolah kitalah ahli waris yang berhak menginterpretasikan suatu
kebudayaan.
Di tengah kepongahan itu, kita tak mampu
menghasilkan publikasi dengan kualitas sehebat para peneliti asing itu. Publikasi
ilmiah kita demikian parah. Karya-karya terbaik di bidang ini justru dilahirkan
oleh mereka yang berasal dari negeri lain yang datang meneliti dengan penuh
ketekunan dan kesungguhan. Banyak ilmuwan asing yang justru mendunia dan
melegenda berkat riset tentang apa yang terjadi di tanah air kita, yang sering
disebut sebagai laboritorium sosial paling luas.
Seorang kawan ikut berseloroh. Katanya,
kultur akademik nyaris hilang di banyak kampus. Seorang ilmuwan di kampus
tidaklah diukur dari seberapa banyak buku yang ditulisnya, melainkan seberapa
sering membawa proyek bernilai miliaran ke dalam lembaga kampus.
Reputasi seseorang bukan pada publikasi,
melainkan jumlah uang yang dibawa masuk, demi memperkaya diri dan lembaga.
Parahnya, reputasi juga diukur dari sedekat apa seseorang dengan seorang
penguasa.
Saya sering bertemu para ilmuwan yang
sangat bangga karena dekat dengan pejabat dan punya banyak proyek riset
pesanan. Riset pesanan itu justru tidak memperkaya body of knowledge
dalam diskursus intelektual di Indonesia. Riset itu hanya untuk menambah
pundi-pundi keuangan dan hasilnya hanya untuk sekedar legitimasi bahwa satu
instansi pemerintah telah menyelenggarakan riset.
Dalam situasi ini, kita selayaknya
berterimakasih pada peneliti seperti Ammarell. Pada sosok seperti ini, kita
menemukan kekuatan publikasi yang amat jarang dilahirkan dalam situasi akademik
tanah air kita.
Kita bisa mengoleksi publikasi penting
yang dihasilkan oleh bangsa lain, yang ketika melakukan riset, seringkali
menjadi tertawaan kita disebabkan bahasa Indonesia mereka yang terbata-bata.
Berkat para peneliti seperti Ammarell, khasanah pengetahuan kita bisa
terselamatkan sehingga kelak anak cucu kita bisa berguru pada mereka.
***
Di Kendari, saya bertemu Gene Ammarell. Ia
bercerita tentang beberapa replika perahu Bugis yang dititipkannya ke beberapa
museum maritim yang menyimpan koleksi budaya maritim dunia. Ia menyebut Darwin
di Australia dan Singapura, dua lokasi yang akan menyimpan koleksi perahu Bugis
yang dibawanya.
“Di Indonesia, saya belum menemukan ada
satu museum yang menyimpan koleksi kapal dan perahu tradisional selengkap
museum di dua kota itu,” katanya.
Bersama Ammarell |
Ammarell berpikir tentang perlunya menyimpan
perahu itu sebelum punah dan lenyap. Saya bisa memahami kekhawatirannya. Lautan
Sulawesi yang dahulu hilir-mudik perahu layar yang perkasa menantang lautan,
kini hanya dipadari kapal-kapal besi dengan tumpahan solar yang mencemari
lautan. Tak banyak lagi kita saksikan para nakhoda yang memandang langit demi
melihat rasi bintang lalu berlayar dengan mengikuti arah angin.
Sembari mendengar celoteh Ammarell yang
berapi-api, saya memikirkan hal lain. Saya memikirkan betapa jauhnya generasi
baru Bugis yang hendak memahami navigasi dan pengetahuan para nakhoda Bugis
masa lalu. Saya membayangkan betapa jauhnya generasi muda Bugis itu belajar
navigasi nenek moyangnya.
Mungkin mereka akan berangkat ke Amerika
Serikat, yang menyimpan semua publikasi Ammarell. Atau mungkin mereka pergi ke
Darwin dan Singapura demi melihat replika perahu nenek moyang yang dahulu
memenuhi lautan.
Di titik ini, saya merasa sedih.
0 komentar:
Posting Komentar