Senjata Digital untuk Aktivis "Jaman Now"




DAHULU, para aktivis hanya mengandalkan strategi demonstrasi dan perlawanan melalui perlemen jalanan. Di banyak kota, para aktivis, khususnya mahasiswa, seringkali hanya bisa berekspresi melalui aksi menutup jalan sembari menyampaikan tuntutan melalui megaphone

Ada anggapan bahwa jalan aktivis paling heroik adalah jalannya para demonstran. Ada asumsi bahwa untuk jadi seorang pembela hak rakyat, anda harus berpanas-panas di jalan raya sembari membawa spanduk.

Seiring dengan dinamika zaman, banyak hal yang berubah. Aktivis Jaman Now yang hanya mengandalkan demonstrasi justru menjadi lelucon. Pergerakan aktivis harus lebih canggih. Mereka tidak cuma mengandalkan demonstrasi dan parlemen jalan, tapi bergerilya melalui tulisan-tulisan menggugah di media sosial. 

Mereka bisa mengkoordinir ribuan massa melalui ujung jemari saat mengirim pesan di Facebook dan Twitter, kemudian menggerakkan banyak orang.

Aktivis sekarang bekerja melalui banyak jalur di media sosial. Mereka bergerak jauh lebih cerdas. Mereka bisa memonitor dinamika sosial melalui perangkat teknologi yang dimilikinya. Mereka menjadikan ujung jemari sebagai senjata yang menggugah kesadaran. Senjata mereka bukan lagi spanduk dan megaphone. Senjatanya adalah menulis di ranah digital.

***

PERNAHKAH anda mendengar nama Wael Ghonim? Di usia 31 tahun, anak muda Mesir ini telah dinominasikan untuk meraih hadiah Nobel. Majalah Time pernah memasukkan namanya ke dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di tahun 2011. World Economic Forum juga menyebutnya sebagai salah seorang Young Global leader pada tahun 2012. Apakah yang dilakukan anak muda ini?

Anak muda ini seorang penggerak demonstrasi. Jutaan warga Mesir turun berdemonstrasi di jalan-jalan lalu menumbangkan rezim berkat provokasi anak muda ini. Ia menggalang dukungan, mengorganisir, membuat petisi serta membuat postingan yang menyentuh agar rakyat Mesir turun ke jalan dan berkumpul di Tahrir Square memulai revolusi yang disebut Arab Spring.

Dengan cara apa ia bisa menggerakkan jutaan orang? Ia menggunakan semua kanal media sosial. Wael Ghonim adalah seorang karyawan Google yang resah melihat rezim otoriter di negaranya. Dia lalu menggunakan Facebook dan Twitter untuk menggerakkan orang-orang. 

Dia membuat kampanye di Facebook Page yakni “We are all Khaled Saeed” yang isinya adalah simpati kepada Khaled Saeed yang tewas saat diinterogasi oleh polisi. Massa tersentuh oleh postingan Wael Ghonim.

Revolusi disulut anak muda ini. Masyarakat Mesir saling berkoordinasi lewat Twitter. Semua orang bergerak serentak mengikuti komando anak muda ini. Orang-orang tidak saling kenal, bahkan tidak mengenali siapa dan seperti apa wajah anak muda ini. Tapi semua ikut dengan semua skenario dan rencananya. Semua bergerak demi menumbangkan rezim. 

Melalui media sosial, pesan Wael Ghonim bergema lebih kuat. Ia tidak menjangkau sekumpulan orang. Ia bisa menyentuh jutaan orang yang sibuk dengan ponsel ataupun sedang terkoneksi internet. Pesannya menggugah dan menyentuh hati untuk melakukan sesuatu.

Di dalam buku yang ditulisnya Revolution 2.0, Wael Ghonim mengatakan, “Our revolution is like Wikipedia, okay? Everyone is contributing content, [but] you don't know the names of the people contributing the content. This is exactly what happened. Everyone contributing small pieces, bits and pieces..” Revolusi kita seperti Wikipedia. Setiap orang berkontribusi pada konten. Tapi kamu tidak tahu nama-nama orang yang berkontribusi tersebut. Inilah yang terjadi. Setiap orang berkontribusi melalui kepingan-kepingan kecil.

Seperti halnya kontributor Wikipedia, yang tidak saling mengenal tapi bisa bersama-sama mengisi konten, masyarakat Mesir yang digerakkan Wael Ghonim juga tidak saling kenal. Tapi mereka semua terhubung lewat Twitter, saling memperkaya informasi, lalu sama-sama mengajak semua orang untuk bergerak. Mereka berkoordinasi secara spontan, dan bergerak juga secara spontan.

buku Revolution 2.0 yang ditulis Wael Ghonim

Wael Ghonim adalah potret dari aktivis Jaman Now. Banyak aktivis di berbagai negara yang kemudian mengikuti jejak langkahnya dalam merancang perubahan melalui tulisan. Kita bisa melihat kenyataan itu di Hongkong, Korea, hingga negara-ngara-negara Amerika Latin. Semuanya punya obsesi revolusi dan melakukannya melalui tulisan menggugah di media sosial.

Di Indonesia pun, seorang aktivis seyogyanya memahami karakter zaman yang kini saling terhubung. Bergerak melalui tulisan memang tidak lantas membuat seseornag bergerak dan meneriakkan revolusi. Namun seiring waktu, orang-orang bisa tergugah lalu menjadikan seseorang sebagai influencer, ataupun role model yang dikuti untuk perubahan.

Pernah, saya ngopi dengan beberapa mantan aktivis senior. Para aktivis senior ini marah-marah karena generasi masa kini tidak pernah lagi menutup jalan dan berdemonstrasi. Dia membandingkan dengan zamannya. Dalam hati saya berbisik, aktivis senior ini tidak memahami karakter zaman. 

Dia tidak tahu bahwa di era ini, oramg-orang tak perlu turun ke jalan untuk sekadar memperjuangkan satu isu. Banyak cara-cara lebih elegan dan efektif untuk menyatakan sikap.

Kita bisa menggunakan media sosial sebagai senjata untuk menggugah kesadaran. Kita bisa bergerak menggunakan petisi online. Bisa pula mengumpulkan dana melalui crowdsourcing. Melalu instagram, seorang aktivis bisa memasarkan idenya dan menggalang dukungan. Melalui Facebook, ia bisa membentuk barisan di mana anggotanya adalah para follower yang rutin mengikuti postingannya.

Senjata utama yang dibutuhkan aktivis Jaman Now adalah kemampuan menulis di ranah digital. Senjata ini jauh lebih canggih dari semua senjata yang dimiliki militer. Jika satu senjata hanya bisa menembak satu kepala, maka satu tulisan bisa menembus jutaan pikiran orang lain. Satu tulisan bisa tersebar secara viral lalu mempengaruhi opini orang demi satu kalimat perubahan.

Kekuatan Internet

Di Indonesia, ruang-ruang maya yang dibangun teknologi digital juga punya sejarah menumbangkan rezim. Internet mulai hadir saat Indonesia berada dalam iklim politik yang otoritarian pada masa Orde Baru. Saat itu, negara mengontrol semua informasi yang ada di media massa. 

Kehadiran internet disambut gembira oleh semua aktivis pro-demokrasi, sebab media ini tidak bisa dikontrol dan dikendalikan pemerintah. Di masa itu, pemerintah kerap memberikan ancaman berupa sensor atau pencabutan izin cetak kepada media-media yang anti-pemerintah.

Sebagaimana dicatat David T Hill dan Krishna Sen dalam buku The Internet in Indonesia’s New Democracy yang terbit tahun 2005, internet memainkan peran penting dalam transisi demokratis. Pemerintah tidak bisa mengontrol internet, sekaligus menyeleksi lalu lintas informasi yang ada di dalamnya. 

Semua aktivitas di internet, seperti email, newsgroup, website telah menjadi senjata bagi aktivis karena karakteristik real-time dalam tindak oposisi terhadap pemerntah melalui tukar-menukar informasi serta ajang konsolidasi gerakan.

Tak mengherankan jika internet memainkan peran penting untuk menjatuhkan kediktatoran Soeharto dari kekuasaannya. Internet memasuki ruang-ruang publik, membayangi proses demokratisasi. Semua aktivitas politik, mulai dari kampanye dan pemilihan umum tak bisa dilepaskan dari kehadiran internet. 

Bahkan pendekatan terbaru dalam kampanye adalah melalui media online, yang dilakukan hampir semua partai politik. Ini menjadi bukti bahwa semua partai politik menggunakan internet untuk menopang aktivitas politiknya.

Gazali (2014) menyebut fenomena ini sebagai “new media democracy” atau “social media democracy” yang kadang-kadang sering pula disebut “networking democracy”. Dalam hal ini, internet –khususnya media sosial—dianggap sebagai katalis demokratisasi. 

Media sosial memiliki potensi untuk menyusun ulang relasi kuasa dalam komunikasi. Dengan menggunakan media sosial, warga bisa memfasilitasi jejaring sosial (social networking) dan memiliki kemampuan untuk menantang kontrol monopoli produksi media dan diseminasi yang dilakukan negara dan institusi komersial.

Keterbukaan platform media sosial bagi individu dan kelompok telah menjadi sumber inovasi dan ide-ide dalam praktik demokratik. Bersetuju dengan Gazali, kita bisa menyebutnya sebagai “demokrasi media sosial” yakni proses demokratis yang secara substansial dipengaruhi oleh penggunaan media sosial. 

Dalam hal ini, setiap ‘click’ yang dakukan warga bisa disebut sebagai ekspresi dalam iklim demokratisasi yang wadahnya berlangsung di media sosial.

Tak hanya digunakan oleh para aktivis pro-demokrasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa internet juga digunakan oleh elemen gerakan sosial yang lain sebagai wadah untuk membangun konslodasi. Di antaranya adalah studi yang dilakukan Yanuar Nugroho (2012) yang dipublikasikan dengan tajuk Localising the Global, Globalising the Local: The Role of the Internet in Shaping Globalisation Discourse in Indonesia NGOs.

Ia menunjukkan bahwa pihak aktivis NGO menggunakan internet untuk merespon berbagai wacana antiglobalisasi. Mereka menggunakan konteks lokal untuk merespon wacana global, menggunakan teknologi secara strategis sebagai pelempar isu ke dunia luar.

Terlepas dari itu, beberapa suara kritis penting pula untuk disampaikan. Merlyna Lim (2013), pengajar di Arizona State University, menilai bahwa khalayak media sosial hanya heboh saat membahas kasus-kasus tertentu. Makanya, ada gerakan sosial yang berhasil, misalnya kasus Prita Mulyasari dan gerakan “cicak versus buaya” untuk mendukung KPK. 

Hanya saja, dalam banyak kasus lain, yang terjadi adalah riuh di media sosial, tapi tidak begitu nampak aksinya. Merlyna Lim menyebutnya “many click but little sticks.” Banyak klik, tapi sedikit tongkat pemukul. Artinya, lebih banyak orang yang meng-klik ketimbang turun ke jalan untuk bergerak.

Namun, lagi-lagi ini sial momentum. Tidak menutup kemungkinan, akan muncul satu sosok generasi seperti Wael Ghonim yang punya kemampuan sebagai influencer di ranah digital, bisa menggerakkan orang-orang, yang kemudian membatalkan satu kebijakan publik yang tidak adil kepada rakyat.

Melalui postingan, para aktivis Jaman Now bisa memberikan advokasi kepada masyarakat. Satu kekeliruan yang kerap melanda aktivis adalah anggapan bahwa advokasi adalah tindakan berdemonstrasi dan berdiri tegak untuk menghadapi senjata dari aparat pemerintah. Advokasi dilihat sebagai kegiatan heroik, revolusioner, serta penuh keberanian.

Padahal, melalui tulisan, langkah-langkah advokasi itu bisa dipicu daya ledaknya. Melalui tulisan, para aktivis bisa memberikan panggung bagi masyarakat agar suaranya bisa didengar publik luas. Pada titik ini, seorang aktivis telah membuka pintu gerbang perubahan, ketika masyarakat tercerahkan dan bisa menyampaikan apa yang dirasakannya. Dan kita bisa berharap pada dunia yang warganya punya sikap jelas, tanpa terombang-ambing!

Di Jaman Now, kerja-kerja seorang aktivis tidak selalu terkait dengan bagaimana ‘menggoreng’ isu sehingga menjadi wacana besar. Tapi bagaimana mengubahnya. Penguasaan atas teknologi bisa membantu seseorang untuk menguasai ranah dunia maya secara cepat. 

Jika saja teknologi itu berada di tangan seorang baik yang di kepalanya penuh gagasan revolusioner, maka perubahan bisa berlangsung dengan cepat.

Yang pasti, tidak semua mereka yang berselelancar di ranah digital adalah mereka yang sekadar curhat, berbagi info makanan, atau berbagi foto sedang melakukan perjalanan. Di balik aktivitas itu, terdapat banyak postingan yang mencerahkan, menggetarkan batin kita, lalu mengingatkan kita bahwa ada banyak hal yang keliru di negeri ini. 

Peran-peran aktivis Jaman Now adalah memfasilitasi orang lain untuk menulis dan berbagi informasi. Dia harus bisa bergerak, sebagaimana dikatakan penyair WS Rendra, “Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”




0 komentar:

Posting Komentar