Tulisan ini dikembangkan dari salah satu tulisan di blog ini, kemudian ditayangkan di locita.co. Silakan membaca.
***
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi
selama ia tidak menulis,
ia akan hilang dari masyarakat dan
sejarah..”
– Pramoedya Ananta Toer
DI tanah air kita, terdapat ribuan
perguruan tinggi, terdapat jutaan sarjana yang dilahirkan setiap tahun, tapi
mengapa tak banyak lahir buku-buku yang meramaikan dunia literasi? Di tanah air
kita terdapat begitu banyak para pengamat yang wara-wiri di
televisi, coba cek, berapa banyak di antara mereka yang punya karya akademik
sebagai puncak perjalanan intelektual?
Saya banyak mengamati percakapan di media
sosial. Banyak yang punya ide-ide brilian. Tapi ide-ide itu hanya berakhir pada
sebaris atau dua baris komen dalam perdebatan yang sengit dan tidak produktif.
Di banyak grup percakapan, banyak orang yang sibuk membagikan postingan dari
grup sebelah. Banyak yang lebih suka copy-paste lalu sengit
berdebat demi membela atau membantah tulisan. Saat ditantang untuk menulis ide
serupa, langsung saja beringsut ke tepian? Mengapa tak ditulis?
Setiap orang punya keunikan masing-masing.
Setiap orang punya potensi cerita yang pasti menarik untuk dihamparkan kepada
orang lain. Tapi tidak semua orang bersedia untuk berbagi pengetahuan dan
pengalaman kepada orang lain. Banyak yang mau, tapi belum apa-apa sudah mundur
duluan saat diminta untuk menulis.
Apakah menulis adalah momok yang
menakutkan?
Dalam beberapa diskusi, saya menemukan
beberapa alasan yang sering dihadapi oleh orang-orang yang tak kunjung bisa
menggoreskan sesuatu di layar komputer. Di hari blogger nasional ini, saya
ingin berbagi apa saja alasan orang mengapa tidak menulis, serta berusaha
menjawabnya.
Adanya hasrat untuk melahirkan karya-karya
hebat
Saya sering menemukan alasan ini pada
beberapa sahabat. Ternyata banyak yang berkeinginan memiliki karya yang punya
kualifikasi hebat dan kelak akan dibicarakan banyak orang. Seorang sahabat
peneliti selalu bermimpi untuk melahirkan buku hebat selevel buku yang dibuat
akademisi James Scott ataupun Benedict Anderson.
Ia tak kunjung bisa melahirkan karya tulis
itu, sebab selalu menganggap karyanya buruk dan tidak setara dengan karya James
Scott. Ia minder dengan apa yang ditulisnya sendiri. Pesan saya, tulis saja. Biarkan
takdir yang menentukan nasib buku itu, apakah jadi best-seller atau
sekadar memenuhi rak buku di kamar.
Ketika buku itu terbit, itu adalah capaian
besar. Kalaupun ingin best-seller, lakukan banyak strategi untuk
memasarkannya. Yang pasti setiap buku pasti punya pembaca. Minimal dibaca oleh
lingkaran pergaulan anda sendiri. Iya khan?
Harusnya kita memosisikan setiap karya
sebagai cara bertutur ataupun medium untuk menyampaikan sesuatu. Peneliti
sekelas James Scott pun memiliki proses yang cukup panjang untuk bisa
melahirkan karya-karya besarnya. Lagian, setiap orang tidak dilahirkan untuk
serupa yang lain.
Kita tak terlahir dengan misi untuk
melahirkan hal-hal hebat dalam sejarah. Apa yang dianggap hebat itu, boleh jadi
berawal dari sesuatu yang biasa saja, namun terus dipupuk dan dirawat hingga
akhirnya besar. Anggap saja kita ditakdirkan untuk melahirkan hal-hal yang
biasa, akan tetapi selagi hal biasa itu bermanfaat bagi orang lain, maka kita
telah melahirkan satu hal yang bermakna. Setiap karya punya takdir
masing-masing, tergantung posisi yang membaca karya itu.
Ketidaksiapan menghadapi sikap nyinyir
orang lain
Amat sering saya temukan
ketakutan-ketakutan dalam diri terhadap sikap nyinyir orang lain. Masyarakat
kita tak terbiasa mengapresiasi apapun yang dihasilkan orang lain. Yang
seringkali muncul adalah sikap sinis, atau malah mencaci orang lain yang
melahirkan sesuatu. Parahnya, kita yang hendak menulis tiba-tiba saja terbebani
oleh penilaian orang lain.
Sejak dulu, saya beranggapan bahwa mereka yang
suka mencaci atau sinis pada karya orang lain bukanlah penulis sejati. Saya
malah menduga kalau pencaci itu tak pernah melahirkan apapun. Mengapa? Sebab
seorang penulis pasti paham bahwa setiap karya lahir dari proses yang tidak
mudah.
Ada proses belajar, merumuskan topik
penting, lalu melahirkan karya tulis. Prosesnya seringkali panjang dan boleh
jadi ‘berdarah-darah.’ Tak ada guna untuk nyinyir atas satu karya, jauh lebih
penting mengapresiasi proses yang dilalui seseorang, setelah itu menyerap hal-hal
baik yang dilahirkan orang tersebut.
Ketidaksiapan menghadapi debat atau kritik
dari banyak orang
Ada saja yang tak sabar menghadapi kritik
ataupun debat atas karya itu. Sering saya temukan di internet, komentar tentang
satu karya yang dianggap buruk dan gagal paham atas persoalan yang dibahas.
Yang sering terjadi bukanlah satu debat
publik yang mencerdaskan serta memberikan catatan-catatan untuk perbaikan
karya. Yang muncul adalah kritik pedas yang serupa pedang lalu menebas-nebas
semua hal baik yang ditulis seseorang. Kritik seringkali dilandasi oleh
tendensi emosional.
Terserah apa kata orang. Bagi saya, para
penulis selalu melangkah lebih maju dari para pendebat. Para penulis memiliki
nyali untuk menampilkan karyanya di hadapan publik untuk kemudian dilihat dari
berbagai perspektif.
Mereka lebih punya nyali dibandingkan para
pendebat, yang seringkali tak pernah melahirkan apapun. Bagi penulis yang
berjiwa besar, semua kritikan itu akan menjadi nutrisi yang semakin menyuburkan
kemampuan menulisnya. Ia akan menyerap energi kritik di sekitarnya demi
melahirkan satu karya yang jauh lebih baik di masa depan. Ia terus menyempurna.
Terlampau banyak ekspektasi (pengharapan)
atas setiap karya tulis
Para penulis pemula selalu ingin membuat
karya yang berkategori best seller. Selalu saja menginginkan
karyanya dihargai tinggi oleh publik. Ketika publik menilai karya itu biasa
saja, semangat langsung down. Tak ada lagi niat melahirkan satu
karya.
Padahal, ketinggian satu karya tidak
pernah bergantung pada penilaian publik. Faktanya, kualitas karya tak selalu
berujung pada sanjungan publik. Banyak karya yang biasa-biasa malah lebih bisa
diserap publik luas sehingga punya tingkat keterbacaan yang tinggi.
Tak perlu minder dengan karya anda. Kalau
anda punya follower banyak, anda bisa membentuk para pembaca
anda sendiri, tanpa harus bergantung pada penerbit dan toko buku. Saya sudah
melihat banyak contoh mereka yang sukses memasarkan karyanya dan meraup untung
dengan cara berdiri di atas kaki sendiri.
Idealnya, setiap penulis menerima setiap
tulisan apa adanya. Ia mesti memahami bahwa setiap tulisan memiliki takdir
sendiri-sendiri. Tugas setiap tulisan adalah mengalirkan gagasan, sekaligus
menjadi cara untuk menyampaikan pesan ke hadapan publik.
Apakah pesan itu sampai diapresiasi publik
atau tidak, itu soal lain. Tugas seseorang adalah melahirkannya dengan susah
payah, lalu membesarkan gagasan itu secara terus-menerus untuk memperkaya
pengetahuan serta menginspirasi orang lain.
Adanya hasrat ingin kaya dan terkenal
melalui tulisan
Ada saja orang yang beranggapan melalui
tulisan maka dia akan sekaya dan seterkenal Andrea Hirata. Padahal,
kenyataannya tidak selalu demikian. Di tanah air kita, sangat jarang ditemukan
seorang penulis yang kaya-raya berkat buku-bukunya.
Sebagaimana dicatat sastrawan Korrie Layun
Rampan di satu media, nasib para penulis adalah nasib para penyepi yang setidak
segemerlap karyanya. Mereka seringkali tidak menerima banyak pemasukan,
meskipun bukunya laris. Mengapa? sebab honor itu terkait banyak hal, mulai dari
perjanjian dengan penerbit, biaya distribusi, hingga pemasukan toko buku.
Tapi yakinlah, ada banyak keuntungan lain
yang didapatkan dari menulis. Meskipun keuntungan dari penjualan tak seberapa,
seseorang bisa menguatkan personal branding-nya sehingga dianggap
menguasai satu kecakapan tertentu.
Ia akan dikenal banyak orang, dan
seringkali mendapatkan berkah tak terduga. Ia akan dianggap punya banyak
kelebihan dibandingkan mereka yang tak menulis. Pada titik ini, setiap karya
ibarat etalase pengetahuan yang lalu dilihat banyak orang.
Percayalah, ada banyak hal baik yang
didapatkan melalui menulis. Mulai dari jaringan pertemanan yang tetap terjaga,
banyaknya sahabat dan pembaca yang berinteraksi di berbagai kanal social
media, serta perubahan sosial yang dipicu oleh tulisan kita.
Merasa tidak punya waktu untuk menulis.
Ini alasan yang paling sering saya
temukan. Seorang kawan yang bekerja di instansi mengeluh tidak punya waktu. Saat
saya tanya, memangnya, berapa lama waktu dia benar-benar bekerja selama di
kantor? Ia mengaku lebih banyak santai. Nah, pertanyaannya, mengapa ia tak juga
menulis?
Coba refleksi pengalaman sehari-hari.
Berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk bekerja, bergosip, atau melakukan
hal-hal yang tidak penting. Di luar negeri, masyarakat terbiasa fokus bekerja,
namun setelah itu bisa fokus untuk rehat. Menulis bisa dilakukan di sela-sela
itu.
Tanyalah diri masing-masing. Berapa lama
waktu kita yang terbuang untuk sekadar obrolan ngalor-ngidul atau sekadar hangout bareng
teman-teman. Memang itu, penting juga, tapi kalau diarahkan untuk menulis,
banyak hal hebat yang bisa dilahirkan.
Menulis tak membutuhkan waktu khusus. Dia
bisa dilakukan saat sedang marah, santai, senang, atau saat lagi bahagia. Bisa
pula dilakukan saat sedang menonton tivi. Jadikan aktivitas menulis itu semudah
membuat status di Facebook.
Yang terpenting adalah meluangkan waktu
sejenak untuk mengetik kata demi kata, lalu diteruskan hingga menjadi kalimat
dan paragraf, lalu berlembar-lembar. Prosesnya sederhana. Dimulai dari
menyempatkan waktu sejenak.
Menganggap kegiatan menulis hanya untuk
para doktor.
Banyak yang beranggapan bahwa menulis itu
membutuhkan “teknik tingkat tinggi.” Hanya para doktor dan akademisi yang bisa
mencapai level itu. Ditambah lagi anggapan kalau menulis itu membutuhkan
kualifikasi akademik tertentu. Seolah-olah, hanya kelompok tertentu yang bisa
menulis lalu melahirkan karya-karya besar yang lalu dibaca banyak orang.
Padahal, menulis telah lama menjadi
kegiatan yang bisa dilakukan siapa saja. Tahukah anda bahwa kebanyakan blogger
di Indonesia adalah ibu rumah tangga?
Mereka menulis di sela-sela kegiatan di
rumah dengan kualitas yang seringkali lebih baik dari orang yang berumah di
perguruan tinggi. Siapapun anda, selagi anda mau menulis, maka pastilah akan
bisa. Anda hanya membutuhkan motivasi bahwa anda sanggup melakukannya. Itu
saja.
Kesulitan memulai kalimat.
Pernah, saya menyaksikan, seorang sahabat
terus-menerus menghembuskan asap rokok sambil menatap layar komputer saat
hendak menulis. Hingga dua jam, tak ada satu baris aksarapun yang
dihasilkannya. Mengapa?
Sebab ia kesulitan hendak memulai
tulisannya sendiri. Ia tidak tahu hendak mulai dari mana dan bagaimana caranya menyusun
kalimat, argumentasi, dan gagasan. Yang harusnya dilakukan adalah menjadikan
tulisan itu sebagai kegiatan bertutur yang simpel. Anggap saja sedang berbicara
dengan seseorang. Mulailah dengan hal-hal yang sederhana, yang kira-kira akan
membuat orang-orang penasaran.
Buat orang lain penasaran, lalu tanpa
sadar mengikuti gagasan anda hingga tuntas. Buatlah menulis itu jadi kegiatan
yang menyenangkan, serta membahagiakan. Percayalah, segalanya akan mudah.
Kesulitan menjaga konsentrasi dan fokus.
Satu atau dua paragraf telah dituliskan.
Tapi, mood langsung berubah. Seseorang langsung didera rasa
malas untuk melanjutkan tulisan itu. Kelamaan menunda akhirnya, tulisan itu
“berdebu”. Akhirnya, tulisan itu tak pernah selesai. Problem yang sering
menghantui para penulis adalah hilangnya konsentrasi atau fokus dalam menulis.
Menulis itu ibarat mengikuti lomba lari
marathon. Jangan habiskan energi anda di awal-awal ketika mulai melesat. Atur
napas dan ritme. Yakinkan diri kamu bahwa jarak sejauh puluhan kilometer itu
akan bisa digapai. Untuk itu, fokus dan pengaturan energi menjadi penting bagi
setiap penulis.
Bagaimana jika mood hilang?
Banyak cara untuk mengembalikannya. Tinggalkan kegiatan menulis, lalu lakukan
hal lain. Baca buku, tonton film, ataupun berbincang-bincang dengan orang lain.
Dengan cara demikian, wawasan akan semakin luas, perspektif semakin kaya,
sehingga melihat satu hal dari berbagai perspektif.
Kesepuluh, sikap merasa mapan dan tidak
mau berkembang.
Sikap merasa cepat mapan ini menghinggapi
banyak penulis. Makanya, tulisan mereka tak pernah berkembang, alias jalan di
tempat. Sikap merasa mapan ini biasanya ditandai sikap cepat puas atas hasil
karya, tanpa mau mengasah diri untuk membuat karya itu lebih baik.
Jika ingin terus berkembang, maka
seseorang harus terus membuka diri pada berbagai perkembangan baru sembari
terus mengisi tulisannya dengan berbagai energi baru yang diharapkan bisa
membuat tulisan itu lebih bertenaga.
Menulis harus dilihat sebagai proses untuk
terus menyempurnakan diri. Makanya, segala masukan dan kritik ataupun apresiasi
harus diubah menjadi nutrisi yang membuat perjalanan kepenulisan seseorang
menyempurna.
Niatkan tulisan sebagai cermin diri untuk
terus berkembang, serupa tunas yang lalu tumbuh dan menjadi pohon rindang. Pada
titik tertentu, menulis menjadi ajang pembelajaran yang paling mengasyikkan,
hingga akhirnya seseorang tiba-tiba saja berada di ketinggian, tanpa
disadarinya.
Anda mengalami kesulitan dalam menulis?
Yuk, kita bisa belajar bersama di Locita.co.
2 komentar:
Keren mas penjelasannya, yang paling sering saya dengar yaitu kalo menulis harus ada gelar dulu di depan atau di belakang nama. Baru dianggap penulis
Aku paling ga bisa nulis kalo mood lagi jelek ,,
apalagi kalo suasana lingkungan sekitar berisik dan ganggu banget jadilah moodku tambah jelek heuhue
Posting Komentar