Setelah Lafran Pane, Siapa Lagi Pahlawan dari HMI?




KEGEMBIRAAN atas dianugerahkannya gelar pahlawan nasional kepada Lafran Pane, pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merebak di mana-mana. Alumni HMI sontak membingkai foto profil di media sosial dengan warna hijau hitam serta pernyataan bangga atas gelar bagi Lafran Pane. Di berbagai wilayah, mereka yang bergabung dalam KAHMI menggelar kegiatan sebagai tanda syukur.

Pemberian gelar pahlawan memang selalu politis. Apalagi, Indonesia adalah negara yang terbanyak memiliki pahlawan, yakni sekitar 187 orang. Sementara negara seperti Amerika Serikat hanya memiliki 50-an orang pahlawan. Tak hanya itu, gelar pahlawan selalu dikaitkan dengan siapa rezim berkuasa. Sebab rezim akan memberi stempel layak tidaknya seseorang menjadi pahlawan.

Terpilihnya Lafran Pane harus dilihat sebagai penanda positif bagi Indonesia. Ia akan menambah barisan para pahlawan yang bukan berkiprah di arena peperangan. Pahlawan tak selalu mereka yang bertarung di medan perang, atau memanggul senjata. Pahlawan adalah mereka yang melampaui dirinya, memikirkan sesuatu yang jauh lebih penting dari sekadar capaian pribadi.

Sukarno dan Hatta adalah sosok yang melampaui dirinya. Mereka alumni perguruan tinggi pada masanya. Jika saja mereka menjadi pegawai pemerintah atau mendirikan perusahaan, mereka akan menangguk untung dan kaya raya dari profesinya itu. Tapi mereka memikirkan sesuatu yang melampaui semua capaian material itu. Mereka memikirkan bangsa, serta meletakkan fundasi bagi negeri baru yang memosisikan semua orang dalam posisi sama. Mereka ingin membebaskan bangsa dari hardikan bangsa lain.

Atas pertimbangan ini, mereka pantas menjadi pahlawan. Namun, kepahlawanan harus dipandang sebagai tindakan, bukan sebagai gelar semata. Kepahlawanan adalah ikhtiar untuk melakukan sesuatu, bukan satu predikat yang disahkan dalam selembar kertas putih dengan lambang negara. Kepahlawanan adalah kesediaan untuk membantu orang lain, sembari mengabaikan kepentingan diri.

Sebagaimana halnya Sukarno dan Hatta, Lafran Pane bekerja dengan cara memercikkan api intelektualitas, melalui organisasi kader bagi mahasiswa. Ia membangun basis organisasi mahasiswa berbasis Islam terbesar di Indonesia. Organisasi itu melahirkan banyak kader, intelektual, serta aktivis yang bertebaran di segala penjuru. Ia juga memperkenalkan integrasi antara Islam dan kebangsaan sebagai dasar dalam bernegara.

Ditinjau dari banyak sisi, dia layak menjadi pahlawan. Ditambah lagi, ada inisiatif dari sejumlah tokoh politik, termasuk Akbar Tanjung yang meggelar roadshow dan seminar di puluhan kampus. Ide-ide Lafran disebarkan. Akbar menjadi lokomotif yang menarik gerbong pengusung nama Lafran ke pemerintah. Maka stempel dan gelar kepahlawanan itu menjadi keniscayaan.

Jika melihat kiprah HMI yang sedemikian luas, dengan kader yang sedemikian banyak, mengapa hanya Lafran seorang yang diangkat menjadi pahlawan? Adakah nama lain yang sekualitas Lafran, memiliki kiprah yang menginspirasi, serta pantas menjadi teladan bagi bangsa ini?

Siapakah nama lain yang pantas dikedepankan sebagai sosok yang telah melampaui dirinya dan meninggalkan jejak dalam di hati banyak orang? Adakah kader HMI yang berbuat hal membanggakan bagi bangsa ini?

Jika saya ditanya, maka saya akan menyebut banyak nama. Mulai Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, hingga Munir. Masing-masing punya jejak penting di hari orang yang mengenalnya. Jika diminta mengerucutkan satu nama, saya akan menyebut satu nama yakni Munir.

Nurcholis adalah intelektual yang membumikan spirit keislaman dalam lungkup kemodernan dan keindonesiaan. Demikian pula Dawam yang banyak menulis tema ekonomi Islam. Ahmad Wahib adalah sosok muda yang menulis catatan penuh pergolakan dan menggelisahkan banyak anak muda Islam.

Tapi Munir berbeda dengan mereka. Di dunia intelektual, bintangnya tak seberapa benderang. Tapi di dunia aktivis dan pergerakan sosial, namanya adaah matahari yang tak pernah kehabisan sinar. Munir adalah monumen bagi semua pejuang keadilan di tanah air.

Munir adalah aktivis HMI, mantan Ketua HMI Komisariat Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, yang paling fenomenal. Namanya menjadi getar bagi siapapun yang hendak membahas dunia aktivisme sosial, dunianya mereka yang berdiri di hadapan massa tertindas. Munir adalah nama yang disebut orang-orang yang tak berdaya karena represi dan penindasan negara.

Sebagai seorang sarjana hukum, Munir mendedikasikan pengetahuannya untuk menantang rezim. Munir bukan tipe seperti alumnus HMI lainnya yang memilih berlindung di balik ketiak pemerintah sembari mengais-ngais proyek untuk memperkaya diri.

Ia memasuki massa rakyat, menjalankan peran-peran advokasi dan membela mereka yang dibisukan haknya oleh negara. Ia tidak hendak menjadi intelektual baru penopang kuasa, tapi memilih menjadi kerikil di ujung sepatu militer dan penguasa yang berkelindan untuk menindas.

Pada akhir Orde Baru, Munir adalah simbol perlawanan terhadap rezim. Ia mengawal semua korban kekerasan melalui organisasi Kontras. Ia pembela HAM terdepan, yang mengedepankan nilai-nilai anti kekerasan, humanisme, toleransi, serta kritis pada watak negara yang otoriter.

Ia juga seorang yang amat sederhana. Para sahabatnya punya kenangan tentang sosok Munir yang ke mana-mana dengan menggunakan sepeda motor. Padahal, jika saja ia sedikit ramah pada negara, maka dirinya akan bergelimang harta. Ia memilih sesuatu yang melampaui semua harta.

Ia bergabung di LBH dan menjalankan peran sebagai intelektual organik, membangun kesadaran kritis, dan tak telah mengingatkan orang-orang bahwa ada yang salah di negeri ini. Ia ditahbiskan sebagai sosok panutan, idola, serta menjadi contoh bagaimana dedikasi seorang intelektual untuk membela ketertindasan.

Hingga akhirnya, Munir tewas secara menyedihkan pada usia 38 tahun, dalam perjalanan untuk menimba ilmu di negeri Belanda. Ia belum menuntaskan kerja-kerja sosialnya yang bersinggungan dengan kuasa, tapi jejaknya tersimpan abadi di hati banyak orang. Hingga kini, namanya masih disebut para aktivis, utamanya di kegiatan rutin di depan Istana Negara tiap hari Kamis, Kamisan.

Orang-orang meneladani karakternya yang memilih hidup sederhana dan digarami serta diasinkan oleh dunia pergerakan. Munir menjadi monumen bagi para pejuang HAM dan pembela orang biasa.

Sekali lagi, kepahlawanan identik dengan rezim. Mengakui kepahlawanan Munir sama dengan mengakui betapa rusaknya rezim yang dihadapi Munir. Mengakui kiprah Munir sama dengan membenarkan betapa banyaknya daftar kejahatan yang dilakukan negara pada rakyatnya sendiri. Berhadapan dengan Munir, rezim tiba-tiba saja penuh rahasia.

Bahkan, beberapa tahun setelah kematian Munir, tetap saja tak ada keadilan untuknya, Pembunuhnya raib. Negara merahasiakan investigasi mengenai kematiannya. Munir masih saja menimbulkan kontroversi dan saling tuding antar aktor negara dan militer.

Ia menyisakan begitu banyak teka-teki atas bangsa ini yang tak kunjung bisa menemukan siapa pembunuhnya. Bagi pengikutnya, Munir adalah tugu yang sukar digapai. Nyaris tak ditemukan aktivis dengan kematangan intelektual dan setaktis dirinya dalam menyusun strategi perlawanan.

Dilihat dari kriteria manapun, Munir adalah pahlawan. Ia menginspirasi, memberikan arahan, juga meninggalkan jejak basah di hati semua orang yang mengenalnya. Hanya saja, ia akan terabaikan sebagaimana nasib tokoh-tokoh hebat dengan jejak hebat yang juga diabaikan negara.

Di antara tokoh itu adalah Tan Malaka, Tirto Adhisuryo, Mas Marco Kartodikromo, Haji Misbach, Semaun, Amir Syarifuddin, dan banyak lagi. Munir adalah tokoh pergerakan abad kini yang terabaikan hanya karena soal perlawanannya pada negara.

Bahkan nama Munir tenggelam di kalangan aktivis “jaman now” yang lebih mengenal sosok seperti Nicholas Saputra dan Reza Rahadian. Padahal, Munir ibarat penganggu atas kian kekarnya pohon kekuasaan. Namun, seorang pahlawan sejati pastilah tidak mencari gelar atau embel-embel.

Seorang pahlawan sejati meletakkan bahagianya bukan pada gelar dan stempel, melainkan pada sejauh mana orang-orang akan mengenangnya, serta meletakkan namanya di hati orang banyak. Pahlawan sejati adalah mereka yang tak mencari sanjungan dan gelar, melainkan berbuat sesuatu untuk kehidupan yang lebih baik.

Pada titik ini, kita mesti mencatat nama Munir dengan tinta emas.





0 komentar:

Posting Komentar