Menteri Susi di Mata Mama Jana


foto menteri Susi diapit Mama Jana dan Jana

DI warung ikan sederhana yang cukup terkenal di Baubau, saya melihat potret terpasang di dinding bambu. Potret itu menampilkan seorang pejabat setingkat menteri yakni Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Ia diapit oleh dua orang pemilik warung itu, yakni Mama Jana dan Jana. Semuanya tersenyum. Ceria.

Tanpa saya minta, Mama Jana menjelaskan kisah di balik potret itu. Katanya, saat dipotret, Susi dalam keadaan basah kuyup. Susi berkunjung ke Kadatua, pulau seberang Baubau. Sebelum tiba di Baubau, ia memilih mendayung dengan perahu kecil hingga akhirnya tiba di pesisir Wameo, dekat lokasi warung itu berdiri. Mama Jana masih mengingat persis kapan foto itu diambil. "Bulan Desember tahun lalu," katanya.

Mama Jana bercerita tentang Menteri Susi dengan wajah berseri-seri. Bagi seorang warga biasa sepertinya, kedatangan seorang menteri dari Jakarta memiliki kenangan yang dalam. Kedatangan seorang menteri di lapak sederhana ibarat durian runtuh. Dirinya ingin memberi pelayanan terbaik, tapi Susi menolak diistimewakan. Susi tak ingin diperlakukan seperti tamu agung. Ia duduk selonjoran di kursi plastik, menyalakan selinting rokok, lalu berbincang santai.

“Dia tanya-tanya mengapa laut di sekitar sini bersih sekali. Dia kagum. Dia senang datangke Buton karena lautnya masih bersih,” kata Mama Jana. “Saya sempat lihat tato lipan di betisnya. Suaranya seperti laki-laki,“ lanjutnya. Seingat saya, tato itu bukan lipan, melainkan burung merak. Mungkin, Mama Jana hanya melihat sekilas.

Biarpun Susi memuji laut di pesisir Buton, ia juga tak lupa memberi kritik. Kata Mama Jana, Susi bercerita, “Saya sudah keliling ke banyak tempat di Indonesia. Saya selalu ketemu orang Buton yang membom ikan di mana-mana.” Mama Jana mengiyakan. Mungkin ia juga pernah melihat hal yang sama.

Saya pernah mendengar pernyataan serupa saat berkunjung ke Raja Ampat, Papua. Banyak warga sana yang menuduh pelaku pemboman adalah orang Buton. Entah benar atau tidak, yang pasti, orang Buton menjadi nadi penting bagi aktivitas menangkap ikan di sana. Orang Buton menyebar di banyak titik dan mengandalkan kecakapannya di lautan. Mereka meneguhkan jejak bangsa ini sebagai bangsa bahari.

Mama Jana lahir dan besar di Ambon, lalu kembali ke Buton bersama keluarganya. Ia lalu membuka warung yang menyajikan parende, olahan ikan khas Buton, yang dengan segera laris manis dan disukai warga Kota Baubau. Resepnya sederhana. Ia melakukan inovasi resep parende yang khas Buton dengan beberapa bumbu rempah-rempah lainnya. Parendenya punya rasa yang khas. Ia seorang maestro kuliner yang bisa membuat siapapun rindu dengan racikannya.

pemandangan di belakang warung Mama Jana

Perjumpaan dengan Susi adalah perjumpaan penting baginya. Di mata Mama Jana, Susi adalah figur yang sangat merakyat. Ia memajang fotonya bersama Susi, dan kepada setiap pengunjung, ia akan bercerita dengan penuh antusiasme. Berkat foto itu, warung kian ramai sebab masyarakat berpikir jika menteri sekelas Susi saja singgah, berarti warung itu punya sesuatu yang spesial.

Saya memandang foto itu lekat-lekat. Saya bisa merasakan kedekatan serta kehangatan hubungan antara seorang pengambil kebijakan dan seorang warga biasa. Foto itu tak mengesankan hubungan hierarki yang cukup jauh. Tak ada jarak sosial antara figur yang menentukan anggaran triliunan rupiah, dan figur rakyat biasa yang menghitung receh demi receh. Mereka adalah manusia biasa yang berbagi bahagia bersama di tepi laut.

Saat sedang asyik memandang foto, terdengar suara Mama Jana. “Nak, parendenya sudah dingin. Saatnya makan.” Saya menyaksikan olahan ikan itu di atas meja. Liur saya serupa minyak di atas kuali yang mulai panas dan siap menelan ikan yang hendak digoreng. Singgah dan makan di warung ini adalah bagian dari prioritas yang susun sejak jauh-jauh hari merencanakan datang. Saatnya menikmati.


Yummy!


BACA JUGA:




0 komentar:

Posting Komentar