PADA mulanya, buku Sapiens: A Brief History of Humankind diterbitkan dalam bahasa
Hebrew, bahasa yang digunakan orang Yahudi di Israel. Ketika diterjemahkan
dalam bahasa Inggris, buku ini langsung menjadi best-seller internasional. Topik yang dibahas Yuval Noah Harari,
anak muda yang menjadi profesor sejarah di Israel ini tak biasa. Ia
mendiskusikan lintasan panjang yang dilalui manusia, sepanjang 150.000 tahun
eksis di planet bumi.
Yuval Noah Harari, anak muda kelahiran
1976, adalah sejarawan yang meraih gelar PhD dari Oxford University. Kini ia mengajar di Universitas Ibrani, Israel. Buku Sapiens ini tak murni karya sejarah. Ia membahas dari berbagai perspektif,
mulai dari antropologi, zoologi, filsafat, ekonomi, psikologi, neuroscience,
dan teologi. Spektrum pembahasannya luas. Ia menyajkan sesuatu yang provokatif.
Buku ini menempatkan Harari sebagai “anak ajaib” di bidang sejarah, yang meraih
popularitas pada usia 39 tahun, usia yang cukup muda di kalangan sejarawan. Ia
sepopuler JK Rowling di ranah fiksi anak. Ia sehebat Samuel Huntington di ranah
ilmu politik.
Sejak buku ini terbit dalam bahasa
Inggris, saya sudah berangan-angan membacanya. Seorang kawan pernah mengirimkan
review atas buku ini dalam bahasa
Inggris. Saya hanya membacanya sekilas. Kemarin, saat berkunjung ke toko buku,
saya melihat buku ini telah diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia. Tanpa
banyak menimbang, saya langsung membelinya. Saya tak sabar membaca satu buku
yang didiskusikan secara luas di level internasional hingga menjadi bestseller
yang dibahas di banyakmedia.
Terdapat tiga peristiwa penting yang
membuat Sapiens mencapai puncak peradabannya. Pertama, revolusi kognitif,
sekitar 70.000 tahun lalu. Manusia mulai meningkat kecerdasannya, menciptakan
perkakas, lalu menyebar ke banyak lokasi. Kedua, revolusi pertanian. Sekitar
11.000 tahun lalu, manusia mulai berhenti dari kegiatan berburu dan meramu,
mulai tinggal di perkampungan, melakukan domestikasi hewan, serta mulai
berkebun dan bersawah. Ketiga, revolusi sains, sekitar 500 tahun lalu.
Peristiwa ini memicu revolusi industri, yang mendorong revolusi informasi, dan
revolusi bio-teknologi. Harrari menduga, revolusi bio-teknologi adalah signal
berakhirnya manusia. Manusia akan digantikan oleh post-human, cyborg, dan robot
yang tidak pernah mati.
Buku ini dengan berani mendiskusikan apa
saja jejak-jejak yang dibuat manusia sebagai Homo Sapiens sejak pertama
kemunculannya. Kata Harrari, manusia sebagai Sapiens adalah makhluk paling
egois yang justru tidak banyak memahami dirinya. Sapiens bukan satu-satunya
manusia. Dalam catatan para arkeolog, terdapat beberapa manusia lain yang
pernah ada, di antaranya adalah Neanderthal di Eropa, Homo Soloensis di Solo
(Indonesia), ataupun manusia cebol di Flores (Indonesia).
Harari menduga kuat bahwa Sapiens telah
melakukan genosida atau penyingkiran kepada Neanderthal secara kejam. Dikarenakan
Sapiens memiliki kecerdasan yang lebih, Sapiens telah menyingkirkan Neanderthal
lalu menguasai semua sumberdaya makanan. Toleransi tak ada dalam kamus seorang
Sapiens. Jika saja Neanderthal masih ada, maka barangkali sejarah akan
bergeser. Manusia akan berbagi bumi dengan spesies manusia lainnya.
Sapiens tak sendiri di alam semesta. Ada
pula hewan lain yang tersebar di mana-mana. Bedanya, hewan hanya bisa bekerja
sama dan membangun solidaritas pada cakupan yang kecil. Sementara Sapiens bisa
bekerja dalam struktur yang kompleks, bisa berjejaring dengan banyak orang yang
tidak mengenalnya, lalu menciptakan budaya dan perkakas untuk membantunya
menguasai alam semesta.
“Jika Anda letakkan 100,000
simpanse di Oxford Street, atau Wembley Stadium, atau Tiananmen
Square atau Vatikan, yang ada hanyalah kekacauan. Bayangkan Wembley
Stadium dengan 100,000 simpanse. Pasti akan kacau. Sebaliknya, puluhan
ribu manusia biasa berkumpul di sana. Yang terjadi bukanlah kekacauan,
melainkan sistem kerja sama yang canggih dan efektif. Semua pencapaian
besar manusia dalam sejarah, baik itu membangun piramid atau terbang ke
bulan, tidak didasarkan pada kemampuan individu, namun pada kemampuan
untuk bekerja sama secara fleksibel dalam jumlah besar,” katanya.
Mengapa manusia bisa bekerjasama dan
berjejaring? Mengapa hanya manusia satu-satunya makhluk yang bisa
melakukannya? Jawabannya adalah imajinasi. Kita dapat bekerja sama dengan
baik dengan orang yang tidak kita kenal, karena hanya kitalah satu-satunya
makhluk di bumi yang dapat menciptakan dan mempercayai cerita
fiktif. Selama setiap orang mempercayai cerita yang sama, setiap
orang akan mentaati dan mengikuti peraturan yang sama, serta norma dan
nilai yang sama.
Hewan lain hanya berkomunikasi untuk
melukiskan realita. Seekor simpanse bisa mengisyaratkan, "Lihat! Ada
singa, ayo lari!" Atau, "Lihat! Ada pohon pisang di sana! Ayo
kita ambil pisangnya!" Manusia, sebaliknya, menggunakan bahasa tidak
hanya untuk menggambarkan realita, namun juga untuk menciptakan realita
fiktif. Seseorang bisa berkata, "Lihat, Tuhan berada di atas
langit! Dan apabila kalian mengingkari saya setelah mati, Tuhan akan
menyiksa kalian di neraka." Jika orang-orang percaya pada cerita
ini, maka banyak harus mengikuti norma, hukum, dan nilai yang
sama, sehingga dapat bekerja sama.
Tak hanya di tataran religi. Manusia
bekerja sama dengan mempercayai cerita yang sama. Jutaan orang
bersama-sama membangun katedral. Jutaan orang melakukan jihad dan perang salib.
Orang-orang ini meyakini hal yang sama. Mekanisme tersebut mendasari
semua bentuk kerja sama manusia dalam skala yang masif, tidak hanya dalam
tataran religi
Sebagai contoh, bidang
hukum. Kebanyakan sistem hukum di dunia didasarkan pada kepercayaan akan
HAM. Namun apakah HAM itu? “HAM, seperti Tuhan dan surga, hanyalah
cerita yang kita ciptakan. Mereka bukan realita obyektif; maupun efek
biologis tentang homo sapien. Misalnya, coba bedah tubuh seseorang,
tiliklah ke dalamnya, Anda akan temukan jantung, ginjal, neuron, hormon,
DNA, namun Anda tidak akan temui HAM apapun. Satu-satunya tempat di
mana Anda bisa temukan HAM, hanyalah dalam cerita yang kita ciptakan dan
sebarkan dalam beberapa abad terakhir. Cerita tersebut bisa jadi positif,
kisah yang sangat terpuji. namun itu hanyalah cerita fiktif yang kita
buat-buat,” kata Harari.
Begitu juga dalam bidang
politik. Faktor paling penting dalam politik modern adalah bangsa dan
negara. Namun apa itu bangsa dan negara? Mereka bukanlah realita
obyektif. Gunung adalah realita obyektif. Anda bisa melihatnya,
memegangnya, bahkan menciumnya. Namun bangsa dan negara, seperti
Israel, Iran, Prancis, atau Jerman, hanyalah sebuat cerita yang kita
buat yang sangat melekat dalam diri kita.
Begitu pula dalam bidang ekonomi. Peran paling penting dalam ekonomi global saat ini adalah perusahaan. Kebanyakan orang sekarang mungkin bekerja untuk perusahaan, seperti Google, Toyota, atau McDonald's. Apakah mereka itu? Kesemua nama itu adalah cerita yang dibuat dan dipertahankan oleh orang-orang sakti yang disebut pengacara, bankir, pejabat negara.
Sama halnya dengan pertanyaan, apa itu
uang? Lagi-lagi, uang bukanlah realita obyektif. Ia tidak memiliki nilai
obyektif. Uang tidak bisa dimakan, diminum, ataupun
dipakai. Kemudian datanglah para pendongeng ulung yakni para bankir
besar, para menteri perekonomian, para perdana menteri. Mereka
memberi konsep yang sangat meyakinkan: "Anda lihat lembar kertas
ini? Ini nilainya sama dengan 10 pisang."
Uang adalah salah satu konsep yang paling
sukses ditemukan dan disebarkan oleh manusia. Uang adalah satu-satunya
konsep yang dipercaya semua orang. Tidak semua percaya Tuhan, tidak
semua percaya HAM, tidak semua percaya pada nasionalisme, namun semua
percaya akan uang, dan mata uang dolar. Harrai berkata, “Lihat Osama Bin
Laden. Ia membenci politik dan agama di Amerika, juga kebudayaan
Amerika, namun dia tidak menolak dolar Amerika. Dia bahkan cukup
memujanya.”
***
TERDAPAT banyak hal yang tidak mungkin saya
uraikan dalam tulisan singkat ini. Point besarnya adalah buku ini cukup sukses
meneror pikiran kita, khususnya pada hal-hal yang dianggap sudah mapan.Banyak
hal menarik lainnya yang dijelaskan di seputar dinamika modernitas, tentang
perang dan damai, tentang individualisasi dan runtuhnya unit keluarga inti,
tentang evolusi peran negara dalam mengatur masyarakat, dan semacamnya.
Di bagian terakhir Harari masuk ke
pertanyaan eksistensial: homo sapiens akan terus berevolusi, tetapi sejauh ini,
dengan semua pencapaian yang telah diraih, apakah manusia pada umumnya merasa
lebih berbahagia dan mensyukuri kehidupan?
”Was
the late Neil Armstrong, whose footprint remains intact in the windless moon,
happier than the nameless hunter-gatherer who 30,000 years ago left her
handprint on a wall in Chauvet Cave? If not, what was the point of developing
agriculture, cities, writing, coinage, empire, science and industry?” Apakah Neil Amstrong, yang jejak kakinya
tertinggal di bulan, lebih bahagia dari seorang pemburu dan peramu tak bernama
yang 30.000 tahun lalu meninggalkan jejak tangan di dinding Gua Chauvet?
Harari mencoba menjawab pertanyaan ini
dengan teori dan penelitian terbaru yang tersebar di berbagai jurnal akademik.
Pertanyaan ini tak mudah untuk dijawab. Barangkali kita butuh membuka ulang
berbagai literatur, sebelum akhirnya menyilakan nurani kita untuk menjawabnya.
Dalam catatan saya yang belum tuntas,
Harrari ingin berkata, manusia mengontrol dunia karena imajinasi dan realita
fiktif yang disepakati bersama. Realita itu bisa berupa negara, Tuhan, uang,
dan perusahaan. Yang menakjubkan adalah seiring sejarah, realita
fiktif ini menjadi sedemikian kuatnya sehingga kini, kekuatan terbesar di
dunia adalah konsep-konsep fiktif tersebut. Kini, kelangsungan hidup
sungai, hutan, harimau, dan gajah bergantung kepada kebijakan dan
keinginan konsep-konsep fiktif, seperti Amerika Serikat, Google, Bank
Dunia, yang merupakan konsep dalam imajinasi kita semata.
Ah, mungkin saya terburu-buru dalam
membuat kesimpulan. Maklumlah, saya belum menyelesaikan separuh buku ini.
Biasanya, saat membaca buku bagus, saya sengaja melambat-lambatkan diri. Mohon
maaf kalau keliru.
Bogor, 16 Agustus 2017
BACA JUGA:
1 komentar:
hi, thank you for sharing
walisongo.ac.id
Posting Komentar