buku-buku Thomas Friedman |
SALAH satu nikmat memiliki memiliki
sahabat yang kuliah di luar negeri adalah akses memiliki buku-buku berkualitas.
Saat mereka ke tanah air, saya selalu menitip beberapa buku bagus. Barusan,
sahabat Elizarni membawakan saya buku terbaru karya Thomas Friedman berjudul Thank You for Being Late: An Optimist’s
Guide to Thriving in the Age of Accelerations.
Saya tidak secara rutin membaca tulisan
para jurnalis-jurnalis hebat Amerika Serikat. Saya hanya membaca beberapa
artikel lepas yang melintas di beberapa web. Di antara sedikit nama yang pernah
saya baca, saya menyukai tulisan-tulisan Thomas Friedman dan Fareed Zakaria.
Saya penikmat tulisan-tulisan Thomas
Friedman. Dia seorang jurnalis The New York Times. Dia tipe jurnalis intelektual
yang bergelar PhD dari satu kampus berpengaruh di Amerika. Dia terkenal karena
liputan-liputan mendalamnya di berbagai negara. Tak mengherankan jika liputan-liputan
investgasi itu telah mengantarnya sebagai jurnalis penerima Pulitzer Prize
sebanyak tiga kali. Bagi para jurnalis, Pulitzer serupa hadiah nobel bagi
seorang ilmuwan.
Saya menyukai gaya menulisnya yang ringan,
tapi penuh makna. Gaya menulis yang ringan ini juga saya temukan pada beberapa akademisi Amerika dan peraih nobel, di antaranya adalah Joseph Stiglitz, William Easterly, dan Daron Acemoglu. Mereka bisa menyederhanakan hal yang rumit, tapi tetap tidak kehilangan rasa intelektual. Sebagamana halnya para intelektual itu, Friedman bisa mendiskusikan hal-hal yang rumit seperti
globalisasi, serenyah saat makan mie ramen di satu kedai. Ia mengakui bahwa
seringkali ide-ide untuk bukunya lahir saat dirinya tengah bersantai di satu
kafe atau warung kopi.
Pada dirinya terdapat dua tipe yang saling
melengkapi. Dia seorang jurnalis, sekaligus seorang pembelajar. Dia
mengumpulkan semua amatan, bacaan, dan pengalaman menjadi satu telaga yang tak
habis-habis untuk dijelajahinya dengan menggunakan berbagai perspektif. Ia
terus mengasah dirinya sehingga tulisannya selalu bernas, tapi tetap bisa
dipahami siapapun. Buktinya, saya bisa memahami buku-bukunya dengan mudah,
padahal saya juga sering mengalami kendala bahasa Inggris. Biasanya saya suka
tertatih saat membaca buku berbahasa Inggirs. Tapi khusus buku-buku Friedman,
saya lancar membacanya.
Tulisannya yang pertama saya baca membahas
tentang Taiwan. Ia mengatakan jika terlahir kembali sebagai manusia dan
diizinkan memilih hendak lahir di mana, ia akan memilih Taiwan. What? Bukankah
negara itu hanyalah pulau karang yang tak punya sumberdaya alam hebat?
Jawabannya sederhana. Taiwan memang tidak punya
tambang, tandus, dan tanpa sumber daya alam hebat. Tapi negara itu menjadikan
23 juta otak warganya sebagai tambang paling dahsyat. Taiwan memperkuat
sumberdaya manusianya sehingga memaksimalkan talenta, energi, dan pemikiran lalu
menjadi pusat teknologi. Taiwan bisa keluar dari ketergantungan pada sumberdaya
alam, lalu mengubah talenta manusianya menjadi kekuatan besar dalam memasuki
era ekonomi abad pengetahuan. Di bidang teknologi tinggi, Taiwan segaris dengan
Korea dan Jepang.
Kata Friedman kepada orang Taiwan, “You’re the luckiest people in the world.
How did you get so lucky? You have no oil, no iron ore, no forests, no
diamonds, no gold, just a few small deposits of coal and natural gas — and
because of that you developed the habits and culture of honing your people’s
skills, which turns out to be the most valuable and only truly renewable
resource in the world today. How
did you get so lucky?”
Tulisan Thomas
Friedman tentang Taiwan itu bisa dibaca DI SINI.
Sejak saat itu,
saya mulai membaca tulisan Friedman. Buku pertamanya yang saya baca tuntas adalah The
Lexus and the Olive Tree, yang ditulis tahun 1999. Saya membacanya tahun
2010, saat diobral melalui kindle seharga 1 dollar. Memang, saya agak terlambat
membacanya, tapi tetap saja saya sangat terkesan. Dia menjelaskan tentang dunia
saat ini yang di dalamnya terdapat dua pergolakan: (1) dorongan untuk menggapai
kesejahteraan, yang disimbolkan dengan mobil mewah Lexus, (2) hasrat untuk
mempertahankan tradisi dan identitas, sebagaimana disimbolkan dengan pohon
Olive. Dia membahas bagaimana sejumlah negara Asia Timur dan Eropa berlomba
menggapai kesejahteraan dan kekuayaan, di saat sebagian negara Timur Tengah
sibuk berkonflik dan saling menghancurkan.
Buku ini menarik sebab mendiskusikan
globalisasi melalui pengalamannya bertemu banyak orang di berbagai negara.
Globalisasi bukanlah trend atau mode, tetapi merupakan sistem internasional.
Seperti halnya Perang Dingin, globalisasi memiliki peraturan dan logika
tersendiri. Hari ini secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi politik,
lingkungan, geopolitik dan ekonomi hampir setiap negara di dunia.
Ide yang paling menggugah di buku ini
terdapat di halaman 232, di mana Friedman menjelaskan "if you can't see the world, and you can't see the interactions
that are shaping the world, you surely cannot strategize about the world. You
need a strategy for how to choose prosperity for your country or company."
Jika kamu tidak bisa memahami dunia, dan jika kamu tidak memahami interaksi
yang membentuk dunia, kamu pasti tidak bisa menyusun strategi menghadapi dunia.
Kamu butuh strategi bagaimana memilih kesejahteraan untuk negaramu dan
perusahaanmu.
Buku Friedman selanjutnya yang saya baca
adalah The World is Flat. Inilah buku Friedman yang paling berpengaruh. Buku
ini menjadi semacam almanak atau panduan untuk memasuki abad ke-21. Dia
membahas dunia yang kian terhubung oleh internet dan teknologi komunikasi. Ini
membawa konsekuensi pada perubahan lanskap bisnis, politik, dan kebudayaan.
Ia mendiskusikan banyak isu penting bagi
berbagai negara dan para pelaku perubahan. Spektrum pembahasannya cukup luas.
Dia menjelaskan globalisasi sebagai dunia tanpa tapal batas (borderless world)
yang kian nyata. Dunia dilihatnya semakin datar, tapi bukan datar sebagaimana pengertian
kaum bumi datar yang percaya bumi ini seperti piring. Bagi Friedman, istilah
datar dimaksudkan sebagai kian menghilangnya batas antar negara sehingga
interaksi menjadi satu keniscayaan. itu membawa banyak konsekuensi pada
ekonomi, politik, perubahan sosial, juga kebudayaan. Teknologi membuat batas
sosial semakin runtuh. Ini harusnya direspon manusia dengan cara memahami cara
kerjanya, lalu menyusun strategi untuk berselancar di era globalsiasi.
peta pikiran buku The World is Flat |
Saat ini, menurut Friedman, telah terjadi
globalisasi gelombang ketiga (Globalization 3.0). Globalisasi gelombang pertama
(Globalization 1.0) terjadi mulai tahun 1492, ketika Columbus memulai
pelayarannya keliling dunia, hingga tahun 1800. Pada masa ini, negara
maupun pemerintah yang biasanya dipicu oleh agama, imperialisme atau gabungan
keduanya mendobrak dinding dan menjalin dunia menjadi satu hingga terjadi
penyatuan global.
Globalisasi kedua berlangsung dari sekitar
tahun 1800 hingga 2000 dengan diselingi oleh Masa Depresi Besar dan Perang
Dunia I dan II. Pelaku utama dalam proses penyatuan global ini adalah
perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan ini mendunia demi pasar dan
tenaga kerja yang dipelopori oleh Revolusi Industri.
Globalisasi ketiga dimulai sekitar tahun
2000. Motor penggeraknya adalah kekuatan baru yang ditemukan untuk bekerja sama
dan bersaing secara individual dalam kancah global. Proses penyatuan global
masa ini memungkinkan, memberdayakan, dan melibatkan individu serta kelompok
kecil untuk dengan mudah dan mulus menjadi global dengan sebutan ‘tatanan
dunia datar’ (flat-world platform).
Tatanan dunia datar adalah konvergensi
(penyatuan) antara komputer pribadi yang memungkinkan setiap individu dalam
waktu singkat menjadi penulis materi mereka sendiri secara digital, serat optik
yang memungkinkan mereka untuk mengakses lebih banyak materi di seluruh dunia
dengan murah juga secara digital, serta work flow software(perangkat
lunak alur kerja).
***
KINI, saya menimang buku terbaru Friedman
berjudul Thank You for Being Late. Saya senang sekali karena seorang teman
membawakan buku yang diterbitkan tahun 2016 lalu. Buku ini cukup tebal yakni 486
halaman. Biarpun belum ada waktu membacanya, saya cukup puas bisa membuka-buka
lembaran buku ini.
Pekan silam, saya membeli buku Friedman
lain, yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, yakni Hot, Flat, and
Crowded. Di satu sudut Gramedia, saya menemukan buku ini diobral hanya seharga
20 ribu rupiah. Tanpa banyak menimbang, langsung saya bawa pulang. Saya melihat
Friedman tetap konsisten dengan tema-tema mengenai globalsiasi, kesejahteraan,
serta perlunya cara pandang baru dalam membawa negara bangsa menuju ke titik
itu.
Di banyak tulisan, saya men-stabilo
pandangan Friedman yang melihat perlunya menghadapi globalisasi dengan memahami
akarnya lalu membuat strategi dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya manusianya.
Jika Indonesia hendak menjadi bangsa unggul, dia harus membangun kualitas hebat
manusianya, menghadirkan rasa lapar pada inovasi serta penemuan hal baru, juga
memperkuat ekonomi bangsanya, dengan cara memanfaatkan semua keunggulannya demi
memenangkan perdagangan gobal.
Saya ingin menulis lagi beberapa catatan
mengenai Friedman. Saya membayangkan bagaimana perlombaan inovasi dan kemajuan
antar negara. Namun sejenak saya singgah memantau media sosial. Di situ ada
hasutan dan teriakan bunuh dan ganyang atas nama agama terhadap seseorang yang dituduh
kafir. Sayup-sayup di layar kaca, saya mendengar komentar presiden tentang
negeri lain sudah memasuki abad angkasa, kita di sini masih saling mengkafirkan.
Ah, saya tak ingin komentar. Rasanya,
pandangan Friedman terlampau jauh ke depan. Rakyat negeri ini lebih suka jalan di
tempat.
0 komentar:
Posting Komentar