James Ferguson yang Memberi Ikan, Bukan Kail!



DI satu blog milik mahasiswa program doktor bidang antropologi di Amerika Serikat, saya membaca ulasan provokatif tentang sepuluh buku antropologi yang wajib untuk dibaca. Ia menuliskan beberapa buku dari nama yang cukup familiar, diantaranya adalah Marcel Mauss, Evan Pritchard, Karl Polanyi, Marshal Sahlins, hingga Marvin Harris.

Di antara nama-nama dan buku-buku yang disebutkannya, saya tertarik dengan buku Give a Man a Fish yang ditulis James Ferguson. Judulnya mengejutkan sebab melanggar kaidah dalam pemberdayaan yang sering dirapal serupa mantra yakni “Jangan beri ikan, berilah kail. Sebab dengan memberi ikan, maka seseorang akan hidup sehari, tapi memberi kail, maka seseorang bisa hidup selamanya.” Dari judulnya, kelihatan kalau James Ferguson menentang anggapan tentang "beri kail, jangan ikan." Menurutnya, berilah ikan.



Yang membuat saya penasaran adalah sosok James Ferguson ini adalah sosok yang sangat kondang di kalangan antropolog yang mengkaji pembangunan. Beberapa tahun silam, saya membaca bukunya yang berjudul The Anti-Politics Machine yang menyajikan kritik atas wacana pembangunan. Buku itu membahas riset tentang kegagalan proyek pembangunan di Lesotho yang didanai Bank Dunia dan CIDA. Buku itu membedah ide-ide “pembangunan,” bagaimana proses penciptaan wacana pembangunan, bagaimana pembangunan dijalankan, hingga efek yang dihasilkan.

Makanya, sesuai membaca ulasan tentang buku terbaru James Ferguson, saya lalu memesannya. Kini, buku itu telah ada di meja belajar saya. Seperti biasa, bagian paling saya sukai adalah pendahuluan, sebab penulis akan menjelaskan posisi teoritisnya, metodologi, serta ide-ide pokok yang menjadi nyawa keseluruhan halaman buku. Bagian awal cukup memesona. Mudah-mudahan saya bisa tuntas membacanya. Mohon maaf, buku sebagus ini tidak untuk dipinjamkan.

Bagi Ferguson, pepatah yang menyebutkan “beri kail, jangan ikan!” tidak selalu benar. Melalui riset dengan metode etnografis, ia mengajak orang berpikir tentang cara lain dalam melihat kemiskinan dan ketidakberdayaan. Studi yang dilakukannya menunjukkan bahwa transfer uang tanpa syarat --atau sering disebut direct cash transfer- kepada masyarakat miskin justru memunculkan semangat wirausaha. Masyarakat justru bisa mengelola bantuan dana itu lalu digunakan secara berkelanjutan. Intinya adalah distribusi yang adil, pengelolaan kepercayaan, dan kesempatan.

Riset ini menjadi menarik sebab kita terlalu sering melihat orang miskin dengan cara pandang kita. Padahal, sebegaimana pernah ditulis oleh Robert Chamber, yang sering terjadi adalah begitu banyaknya bias dalam melihat orang miskin disebabkan kuasa pengetahuan yang kita miliki. Kita mendefinisikan mereka dengan cara pandang kita, yang tentu saja, tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.

Dalam buku ini, Ferguson secara impresif mengajukan pertanyaan, dekonstruksi, dan rekonstruksi atas pandangan klasik tentang kemiskinan, pembangunan dan negara-negara sejahtera. Dengan fokus pada kebijakan “bagi-bagi uang” atau cash transfer, ia menyajikan risalah antropologi di selatan Afrika, termasuk perdebatan mutakhir tentang praktik pembangunan dan anti-poverty activism.

Yang mengejutkan, dia tidak melakukan studi di negara-negara sejahtera, misalnya Eropa Barat dan Skandinavia, yang menerapkan kebijakan ini. Ia membahas negara miskin di Afrika Selatan yakni Namibia. Ia menjelaskan “politik distribusi.” Setiap warga negara adalah pemegang saham, sehingga semua warga berhal mendapatkan penghasilan dasar sebagai bantuan tanpa syarat. Ini berbeda dengan sistem pada masyarakat kapitalis yang hanya memberikan dana bagi hasil kepada para pekerja.

Seringkali kita beranggapan bahwa memberikan dana kepada orang lain secara gratis adalah perbuatan sia-sia. Belum apa-apa kita menduga akan digunakan untuk foya-foya, bersenang-senang, sehingga habis hanya dalam sehari. Melalui studi etnografis, Ferguson menunjukkan bahwa transfer uang tanpa syarat justru memberikan kekuatan positif. Di Namibia, dana diberikan kepada istri dan anak. Tindakan ini berakibat positif sebab mengurangi ketimpangan gender. Pemberian dana juga tidak mengakibatkan inflasi karena uang yang diberikan adalah hasil pajak dari ekstraksi tambang dan pajak progresif dari orang kaya.

Ferguson menunjukkan bahwa kewajiban dalam melakukan transfer redistribusi oleh negara dengan merujuk pada contoh-contoh sistem bagi hasil masyarakat primitif dari berburu, yang mana sudah dilakukan sebelum adanya negara. Membaca bagian ini, saya langsung teringat buku Jared Diamond berjudul The World until Yesterday yang begitu detail meriset masyarakat tradisional, yang memberinya banyak pelajaran kepada masyarakat modern. Praktik distribusi dana ini rupanya telah lama dilakukan oleh masyarakat tradisional di Afrika sana.

Selama ini kaum Marxian, pengkaji antropologi ekonomi, dan praktisi pembangunan  melihat bahwa produksi adalah hal dominan. Ferguson melihat justru distribusilah yang menentukan produksi. Dia menganjurkan pergeseran dari produksi ke distribusi. Dia mempertanyakan ulang tentang pasar, livelihood, buruh, dan masa depan politik progresif. Makanya, memberikan ikan lebih penting daripada memberikan kail. Sebab dengan memberikan ikan, artinya, satu masyarakat sanggup melakukan produksi dengan baik, sehingga tahapan berikutnya adalah bagaimana membagikannya secara adil kepada semua warga.

***

SEUSAI membaca buku ini, saya memikirkan banyak hal. Mulai dari dana desa, distribusi bantuan orag miskin, serta bagaimana mengawal penggunaan dana desa itu agar memberi manfaat kepada banyak orang. Bisakah tesis Ferguson digunakan untuk mengkaji kasus-kasus di Indonesia? Tentu saja bisa. Saya menemukan banyak narasi tentang ini.

Namun biarlah itu dibahas di tulisan lain. Untuk saat ini, saya memilih tenggelam dulu di bab-bab lain buku Give a Man a Fish ini.


Bogor, 18 April 2017


BACA JUGA:






0 komentar:

Posting Komentar