SEMINGGU silam, saya membaca buku yang
ditulis Manuel Castells berjudul Communication Power, terbitan Oxford University.
Saya agak terlambat membaca buku yang terbit tahun 2009 ini. Saya tertarik
membaca setebal 571 halaman ini sebab direkomendasikan oleh beberapa orang sebagai salah satu
buku yang jernih mengupas bagaimana masyarakat informasi bekerja. Saya semakin
tertarik saat membaca catatan Olga Zernetska, seorang profesor di Ukraina, yang mengatakan: “Jika
Adam Smith menjelaskan bagaimana kapitalisme bekerja, sedang Karl Marx mengatakan
tidak, maka Manuel Castells membahas bagaimana relasi sosial dan ekonomi di
masyarakat informasi.”
Guru besar sosiologi dan komunikasi
ini memang fenomenal. Sepanjang tahun 2000-2012, Manuel Castells menjadi salah
seorang sosiolog dan akademisi Ilmu Komunikasi yang paling populer. Mengacu
pada Social Science Citation Index (SSCI), nama Manuel Castell menempati urutan
ketiga yang paling banyak dikutip, setelah Anthony Gidens dan Robert Putnam. Ia
telah menulis 26 buku, yang kesemuanya berkisar mengenai abad digital, kekuatan
sosial dan ekonomi, serta bagaimana masyarakat jaringan.
Saya baru membaca satu bukunya yakni
Communication Power sebagai menjadi buku rujukan saat membahas fenomena
masyarakat berjejaring (network society), gerakan sosial baru, dan media baru. Saya
merasa terlambat membaca buku bagus ini. Padahal Communication Power bukanlah
buku terbarunya. Di tahun 2012, ia menerbitkan buku berjudul Networks of
Outrage and Hope. Lebih terlambat lagi karena saya belum membaca tiga buku yang
menjadi karya terbaiknya yakni The Rise of the Network Society, The Power of
Identty, dan buku The End of Millenium. Saya cukup senang karena tiga bukunya
yang terbaik itu bisa segera saya baca. Saya tinggal menyiasati waktu membaca
di tengah kesibukan serta kemalasan.
Membaca Communication Power, saya
serasa bertualang ke segala sudut masyarakat informasi. Di sini, informasi
menjadi komoditas paling penting. Semua rezim berusaha mengendalikan informasi
demi menjaga dan mempertahankan kekuasaan. Pegaturan informasi adalah jantung
dari setiap kekuasaan. Lewat informasi, kesadaran orang-orang bisa diatur dan
ditentukan.
Buku ini hendak menjawab pertanyaan
mengapa, bagaimana, dan oleh siapa relasi kekuasaan dibangun dan diuji melalui
pengaturan komunikasi. Yang hendak ditelusuri adalah bagaimana relasi itu
dipengaruhi oleh para aktor sosial untuk perubahan sosial dengan cara mengubah
pola pikir masyarakat. Castell mengajukan dugaan bahwa kekuatan paling
fundamental adalah kemampuan untuk membentuk pola pikir manusia. Bagaimana kita berpikir, akan menentukan bagaimana kita bertindak, baik
secara individual maupun kolektif.
Beberapa konsep kunci yang
dibahas bisa diuraikan secara singkat Pertama, masyarakat jaringan (network society), yakni suatu struktur sosial masyarakat, pada awal
abad 21, yang terbentuk oleh komunikasi berbagai jaringan digital. Kedua, konsep kekuasaan membutuhkan pemahaman atas kekhususan berbagai bentuk dan proses
komunikasi sosial termasuk di dalamnya adalah media massa dan komunikasi jaringan horisontal yang
dibangun oleh komunikasi internet dan nirkabel.
Ketiga, kekuasaan adalah kapasitas
relasional yang memungkinkan seorang aktor sosial mempengaruhi keputusan aktor
sosial lain secara asimetris untuk mengikuti kemauan, minat, dan nilai-nilai
yang dimilikinya. Definisi kekuasaan ini menjelaskan bekerjanya network
society, sebagai salah satu konsep kunci dalam pemikiran Manuel Castells.
Definisi kekuasaan ini menjelaskan
bekerjanya network society, sebagai salah satu konsep kunci dalam
pemikiran Manuel Castells. Dalam pahamannya, aktor sosial tidak selalu
individu, melainkan bisa pula kolektif, organisasi, institusi atau
jaringan.
dua buku Manuel Castells yang lain |
Ia menyebut kekuasaan itu asimetris
sebab di era internet, setiap orang memiliki kuasa dan pengaruh yang berbeda.
Kita bisa mengatakan bahwa di era Facebook dan Twitter, masing-masing individu
punya pengaruh yang berbeda. Semuanya ditentukan oleh likers, follower, ataupun
penggemar. Kekuatan seseorang di media sosial ditentukan oleh sejauh mana interaksi
dan kemampuannya menghadirkan postinganyang bisa di-share dalam waktu singkat
ke banyak orang.
Keempat adalah “mass self
communication.” Ini adalah bentuk baru komunikasi yang muncul di era internet
atau digital yang bersifat interaktif dengan kapasitas pengiriman pesan many
to many, real time dan juga memungkinkan untuk menggunakan komunikasi point
to point, broadcasting, yang semuanya bisa diatur sesuai maksud dan tujuan
komunikasi yang diinginkan. Disebut self-communication karena setiap orang
mampu membuat dan mengirim pesan sendiri dan bisa menentukan sendiri
pihak-pihak yang akan dituju (receiver).
***
SAYA menyukai bab lima yang berjudul
Reprogramming Communication Networks. Di bab ini ia membahas bagaimana gerakan sosial dan
agen-agen perubahan dalam masyarakat, melalui berbagai jaringan komunikasi yang
telah diprogram ulang, sehingga mampu menyampaikan nilai-nilai baru ke dalam
pola pikir manusia dan memberikan inspirasi akan harapan perubahan politik. Ia juga mendiskusikan bagaimana
peta jaringan sosial baru yang merupakan dampak dari kehadiran teknologi
Terdapat empat studi kasus yang
dibahas pada bab ini: (1) studi tentang bagaimana meningkatkan kesadaran atas
lingkungan dan perubahan iklim, (2) gerakan global melawan globalisasi
perusahaan yang diorganisir melalui internet dan mobile telephone, (3)
pengunaan SMS untuk melawan manipulasi informasi pemerintahan Aznar setelah
serangan teroris yang menuduh ETA ketimbang Al Qaeda, (4) kampanye Barrack
Obama yang menggunakan internet.
Dari keempat topik di atas, bagian
yang saya anggap paling menarik adalah topik pertama dan keempat. Topik pertama
membahas bagaimana upaya meningkatkan kesadaran tentang lingkungan. Kesadaran
ini bermula dari komunitas saintis yang melakukan riset, dan saling berbagi
informasi. Selanjutnya, mereka berusaha membangun koneksi dengan politisi agar
bisa menjadi kebijakan. Namun, pendekatan ini gagal menarik simpati publik.
Strategi selanjutnya adalah
membangun kampanye melalui media massa dan para selebriti. Strategi ini sukses
dalam memikat audience, serta membangkitkan kesadaran publik tentang pentingnya
menjaga lingkungan. Kampanye ini semakin efektif saat beberapa film tentang
lingkungan tayang di jaringan bioskop.
Topik tentang terpilihnya Barrack
Obama juga menarik untuk dibahas. Kekuatan Obama adalah: (1) kemampuannya
menghadirkan para pemilih yang sbeelumnya tidak pernah berpartisipasi dalam
pemilihan presiden, (2) strategi kampanye yang bertumpu pada internet, serta
beberapa kampanye kreatif. Terkait kampanye, sosok yang disebut-sebut merancang
strategi ini adalah Chris Hughes, pemuda berusia 23 tahun, yang merupakan salah
satu pendiri Facebook. Chris lalu merancang kampanye dunia maya. Ia membuat
websites, blog, serta jejaring internet yang melibatkan banyak generasi muda.
Kemampuannya membangun jejaring inilah yang sukses membawa Obama ke kursi
presiden.
Contoh pelibatan selebriti dalam
kampanye gerakan lingkungan dan Chris Hughes senagai organizer kampanye Obama
ini menguatkan hipotesis Castells tentang tumbuhnya “mass self communication”
yakni para individu yang menggunakan berbagai perangkat media sosial, lalu
mengirimkan pesan yang menjangkau banyak orang. Posisi individu ini adalah sebagai
aktor sosial yang berpengaruh pada perubahan sosial. Para individu ini adalah
pengirim sekaligus penerima pesan-pesan komunikasi.
Dalam kehidupan sehari-hari,
terdapat sejumlah pengendali jaringan. Untuk mengetahui siapa mereka, Castells menganjurkan supaya: mencari relasi antara jaringan komunikasi
korporat, jaringan finansial, jaringan kebudayaan, jaringan teknologi, dan
jaringan politik, melakukan analisis jaringan global dan
jaringan lokal mereka, melakukan identifikasi kerangka/pola
komunikasi dalam jaringan yang membentuk pola pikir publik, terus gunakan pikiran kritis untuk melatih cara pikir dalam dunia yang
secara budaya telah terpolusi.
Buku ini memiliki satu
konklusi penting, Bahwa konstruksi otonom terhadap pemaknaan hanya bisa terjadi
apabila kebebasan di ruang publik internet bisa terjaga. Di satu sisi, ini
dianggap sulit oleh sebagian kalangan sebab para pemegang
kekuasaan dalam masyarakat jaringan mempunyai misi untuk mengatur pola pikir
publik melalui pemograman relasi antara komunikasi dan kekuasaan.
Beberapa Catatan
Terbitnya buku ini menimbulkan
beragam reaksi dari komunitas ilmuwan. Olga Zernetska, seorang profsor di The
National Academy of Sciences of Ukraine, menyambut baik buku ini. Ia menyebut
Castells memberikan kontribusi besar dan analisis mendalam atas relasi antara
kekuasaan (power), jaringan (networks), politik, finansial, dan komunikasi pada
masyarakat jaringan global.
Manuel Castells |
Namun, kritik terhadap Castells juga
bermunculan. Di antaranya adalah Jan AGM, Van Dijk, profesor bidang komunikasi
di University of Twente, Belanda. Ia menilai beberapa bukti yang diajukan
Castells tidak begitu meyakinkan untuk menopang hipotesisnya. Dalam kasus
gerakan lingkungan, Castells tidak memberikan penjelasan tentang bagaimana
jaringan antara peneliti, aktivis, dan selebriti yang kemudian memasok beragam
isu di media massa. Menurutnya, tekanan publik dan peran media-media
tradisional masih lebih dominan ketimbang internet.
Dalam kasus Obama, Castells dianggap
terlalu berlebihan dalam membahas pengaruh internet. Faktanya, polling Obama
sempat turun dua bulan sebelum pemilihan. Yang kemudian menyelamatkan Obama
adalah kualitas pribadinya serta respon yang diberikannya untuk menghadapi
krisis. Bagi Van Dijk, Castells hanya melihat satu aspek saja dari internet.
Dia tidak banyak fokus pada sisi-sisi lain yang juga muncul.
***
Yang juga menarik adalah saat
membahas bagaimana relevansi studi Castells atas Indonesia. Di Indonesia,
kehadiran internet memiliki sejarah yang cukup menarik untuk ditelusuri.
Internet mulai hadir saat Indonesia berada dalam iklim politik yang otoritarian
pada masa Orde Baru. Saat itu, negara mengontrol semua informasi yang ada di
media massa. Kehadiran internet disambut gembira oleh semua aktivis pro-demokrasi,
sebab media ini tidak bisa dikontrol dan dikendalikan pemerintah. Di masa itu,
pemerintah kerap memberikan ancaman berupa sensor atau pencabutan izin cetak
kepada media-media yang anti-pemerintah.
Sebagaimana dicatat David T Hill dan
Krishna Sen dalam buku The Internet in
Indonesia’s New Democracy yang terbit tahun 2005, internet memainkan peran
penting dalam transisi demokratis. Pemerintah tidak bisa mengontrol internet,
sekaligus menyeleksi lalu lintas informasi yang ada di dalamnya. Semua aktivitas
di internet, seperti email, newsgroup, website telah menjadi senjata bagi
aktivis karena karakteristik real-time dalam tindak oposisi terhadap pemerntah
melalui tukar-menkat nformasi serta ajang konsolidasi gerakan.
Tak mengherankan jika internet memainkan
peran penting untuk menjatuhkan kediktatoran Soeharto dari kekuassaannya.
Internet memasuki ruang-ruang
publik, membayangi proses demokratisasi. Semua aktivitas politik, mulai dari
kampanye dan pemilihan umum tak bisa dilepaskan dari kehadiran internet. Bahkan
pendekatan terbaru dalam kampanye adalah melalui media online, yang dilakukan
hampir semua partai politik. Ini menjadi bukti bahwa semua partai politik
menggunakan internet untuk menopang aktivitas politiknya.
Hubungan antara politisi dan media
baru di era internet telah dibahas dalam beberapa laporan penelitian. Gazali
(2014) pernah mendiskusikan tentang “new
media democracy” atau “social media
democracy” yang kadang-kadang sering pula disebut “networking democracy”. Dalam hal ini, internet –khususnya media
sosial—dianggap sebagai katalis demokratisasi. Media sosial memiliki potensi
untuk menyusun ulang relasi kuasa dalam komunikasi. Dengan menggunakan media
sosial, warga bisa memfasilitasi jejaring sosial (social networking) dan
memiliki kemampuan untuk menantang kontrol monopoli produksi media dan
diseminasi yang dilakukan negara dan institusi komersial.
Keterbukaan platform media sosial
bagi individu dan kelompik telah menjadi sumber inovasi dan ide-ide dalam
praktik demokratik. Bersetuju dnegan Gazali, kita bisa menyebutnya sebagai
“demokrasi media sosial” yakni proses demokratis yang secara substansial
dipengaruhi oleh penggunaan media sosial. Dalam hal ini, setiap ‘click’ yang
dakukan warga bisa disebut sebagai ekspresi dalam iklim demokratisasi yang
wadahnya berlangsung di media sosial.
Tak hanya digunakan oleh para
aktivis pro-demokrasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa internet juga digunakan
oleh elemen gerakan sosial yang lain sebagai wadah untuk membangun konsolidasi.
Di antaranya adalah studi yang dilakukan Yanuar Nugroho (2012) yang
dipublikasikan dengan tajuk Localising
the Global, Globalising the Local: The Role of the Internet in Shaping
Globalisation Discourse in Indonesia NGOs.
Ia menunjukkan bahwa pihak aktivis
NGO menggunakan internet untuk merespon berbagai wacana antiglobalisasi. Mereka
menggunakan konteks lokal untuk merespon wacana global, menggunakan teknologi
secara strategis sebagai pelempar isu ke dunia luar.
Terlepas dari itu, beberapa suara
kritis penting pula untuk disampaikan. Merlyna Lim (2013), pengajar di Arizona
State University, menilai bahwa khalayak media sosial hanya heboh saat membahas
kasus-kasus tertentu. Makanya, ada gerakan sosial yang berhasil, misalnya kasus
Prita Mulyasari dan gerakan “cicak versus buaya” untuk mendukung KPK. Hanya
saja, dalam banyak kasus lain, yang terjadi adalah riuh di media sosial, tapi
tidak begitu nampak aksinya. Merlyna Lim menyebutnya “many click but little
sticks.” Banyak klik, tapi sedikit tongkat pemukul.
Bogor, 22 Oktober 2016
0 komentar:
Posting Komentar