Lima Profesor yang Mencerahkan Media Sosial

ilustrasi


MEDIA sosial itu ibarat kerumunan manusia dengan berbagai latar belakang. Anda bisa memilih berteman dengan siapa saja. Mulai dari tukang sate, penghina presiden yang kini berurusan dengan polisi karena kasus penculikan anak, bisa pula berteman dengan seorang pemaki yang suka menyebut nama binatang, bisa pula bersahabat dengan seseorang yang setiap kalimatnya memancarkan energi negatif. Anda berhak untuk berteman atau berselancar di gelombang yang sama dengan mereka.

Saya sendiri akan menghapus siapapun yang memancarkan energi negatif. Kalaupun saya mengenal kawan itu, cukuplah berteman di dunia nyata saja. Saya memilih untuk bersahabat dan rajin mengikuti postingan mereka yang selalu memancarkan energi positif, mencerahkan media sosial dengan ide-ide baru, serta setia berinteraksi dan belajar bersama yang lain. Di antara sedikit orang itu, saya setia mengikuti postingan beberapa profesor yang mencerahkan.

Para profesor ini memosisikan dirinya sama dengan netizen lain, membagikan informasi yang diketahuinya, lalu berdiskusi dan berinteraksi dengan siapapun. Mereka menjadi cahaya yang membuat media sosial penuh gagasan-gagasan. Setiap kali membuka akun media sosial, saya tak sabar untuk melahap gagasan mereka, menyerap ilmu langsung dari mereka, lalu memperkaya pengetahuan saya tentang sesuatu.

Dikarenakan latar belakang saya ilmu sosial yang sesekali membaca buku ekonomi politik dan budaya, serta religi, saya mencatat ada lima orang profesor yang paling saya sukai postingannya. Inilah mereka yang mencerahkan itu.

Pertama, Ariel Heryanto. Beliau adalah satu dari sedikit ilmuwan sosial Indonesia yang punya nama di panggung internasional. Di jagad ilmu sosial budaya, tak ada yang meragukan reputasinya. Beliau adalah profesor di Australian National University. Saya mengoleksi beberapa buku yang ditulis olehnya. Selain buku berjudul Pop Culture in Indonesia, saya juga membaca bukunya yang berjudul Identitas dan Kenikmatan. Saya menyukai analisanya yang kritis saat mengamati budaya populer di tanah air.

Di dunia facebook, Ariel amat rajin berbagi informasi. Ia kerap membagikan kliping koran yang isinya dokumentasi tentang beberapa hal pada masa Orde Baru. Mungkin ia berniat untuk mengingatkan orang-orang agar tidak mudah melupakan apa yang terjadi. Saya sendiri menyukai postingan atau komentarnya tentang satu peristiwa. Ia sangat kritis saat membahas peristiwa 1965. Namun ia tidak asal ngomong, sebagaimana tentara Kivlan Zen. Ariel meladeni semua tantangan berdialog. Ia menulis banyak publikasi, serta memiliki dokumentasi yang memadai tentang peristiwa itu.

Sebagai pengkaji cultural studies, ia banyak fokus mengamati hal-hal sepele yang berseliweran di media sosial, lalu membagikan opininya. Saat heboh tentang Fadli Zon yang menggunakan fasilitas negara untuk mengantar anaknya di New York, ia menulis postingan yang menanggapi itu. Katanya: Ini bukan kasus unik atau tunggal. Ini sebuah tradisi panjang. Negaranya boleh jadi menanggung hutang berat. Anggaran negara serba mepet. Tetapi para pejabat tinggi negara itu super-kaya untuk ukuran dunia. Dan walau sudah kaya masih terus-menerus mencoba memeras dan menjarah sebisa-bisanya harta negara MUMPUNG ada kesempatan.

Ia juga pernah memosting daftar peringkat universitas di Asia, bagaimana persepsi kita tentang Cina, serta posisi negara yang hegemonik. Yang paling saya sukai dari semua postingannya adalah gaya bahasanya yang membumi, mudah dipahami siapa saja, serta tetap kritis mengamati semua fenomena. Bagi saya, Ariel adalah sosok cendekiawan yang paling saya sukai di media sosial. Saya mengidolakannya, sejak kuliah hingga kini.

Kedua, Nadirsyah Husen. Sebagaimana Ariel yang berkarier di luar negeri, Nadirsyah adalah pengajar di Monash University. Beliau adalah pengurus Nahdlatul Ulama (NU) di Australia. Di facebook, ia biasa memosting bidang kajian yang selama ini ditekuninya yakni Islamic Studies. Dia rajin menulis artikel pendek yang lalu dibagikannya secara gratis. Setiap kali ia memosting sesuatu, artikelnya akan di-share kembali oleh ratusan hingga ribuan orang. Dia mencerahkan media sosial.

Yang saya sukai dari Nadirsyah adalah pemikirannya yang sangat menghargai tradisi. Dia adalah ulama NU yang bisa menyerap makna di setiap ritual keagamaan, lalu menyajikannya kembali dalam analisis yang mencerahkan. Jangan mengira dia seorang liberal yang tak bisa mengaji. Dirinya tipikal alumnus pondok pesantren yang menguasai ilmu-ilmu Islam, lalu membumikannya dalam cara-cara memahami satu persoalan. Dia seorang radisionalis, sekaligus modernis. Dia menghormati tradisi tapi tidak kehilangan hasrat untuk mengkaji Islam secara modern.

Beberapa kali saya membagikan postingannya yang mencerahkan. Hari ini, saya menyukai dan membagikan apa yang ditulisnya. Inilah postingannya:

Tidak cukup memahami Islam sebagai doktrin
Saat saya menjelaskan proses panjang sejarah kodifikasi al-Qur'an, sejumlah pihak banyak yang kaget. Mereka tahunya hanya produk akhir berupa mushaf al-Qur'an yang sekarang kita pegang. Mereka tidak menyangka bahwa tanda baca, pembagian 30 juz, bahkan ilustrasi di pinggiran mushaf itu tidak ada di jaman Nabi Muhammad SAW.
Begitu juga ketika saya menjelaskan perbedaan tanda berhenti di sebuah potongan ayat akan melahirkan perbedaan pandangan ulama, sebagian menuduh saya mengada-ngada bahkan ada yang menyebut saya professor tolol atau kiai sesat. Saya terpaksa mencantumkan teks asli dari berbagai kitab tafsir klasik kepada mereka untuk membuktikan bahwa perdebatan itu sudah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu. Sejarah perdebatan dan perkembangan pemikiran keislaman dari mulai di jaman Nabi, sahabat, khilafah, sampai sekarang amat menarik untuk ditelusuri.
Di lain kesempatan saya mengulas mengenai sejarah agama di dunia, bahwa sebelum Islam datang, agama Nasrani memiliki sejarah yang amat panjang termasuk konflik saat pemilhan Paus. Agama apapun, apakah itu Islam, Budha atau Nasrani memiliki sejarah yang begitu asyik untuk dipelajari sehingga kita akan paham dinamika internal mereka. Bahkan ekspresi keberagamaan yang diwujudkan dalam bentuk seni baik berupa lukisan, tarian atau bahkan masakan yang berbeda semuanya merupakan elemen penting untuk memahami peradaban dunia. Islam adalah bagian dari peradaban dunia, maka mempelajari dunia adalah hal penting untuk memahami Islam.
Selain pentingnya memahami agama dari sudut sejarah, kita juga akan terpesona melihat agama dari perpektif sosial. Misalnya tutup kepala baik untuk lelaki atau perempuan di masing-masing agama itu berbeda-beda. Lihat saja dari mulai sorban di arab, sampai bentuk kopiah yang berbeda di Turki, Mesir dan Indonesia. Atau bagaimana lebaran di tanah air identik dengan ketupat, mudik dan saling maaf-memaafkan yang berbeda dengan di jazirah Arab.
Lihatlah bagaimana sebagian kalangan marah-marah ketika saya tunjukkan fenomena sosial sebagian permaisuri dan tokoh perempuan Arab yang tidak berhijab syar'i atau foto sebagian syekh yang bersalaman dengan perempuan. Mereka menganggap saya menyebarkan pemahaman yang sesat, padahal saya sedang menunjukkan bagaimana Islam dipraktekkan secara berbeda-beda dalam tataran sosial kemasyarakatan. Saya tidak sedang membahas teks keagamaan, tapi kenyataan sosial. Ini bukan masalah benar atau salah, tapi bagaimana di Arab sekalipun ada fenomena sosial yang sangat dinamis dan menarik untuk kita pelajari.
Memahami agama dalam perspektif politik juga amat menarik. Bagaimana kita harus membaca dengan kritis hadis-hadis yang diriwayatkan setelah masa konflik di era Khalifah Utsman, Ali dan Muawiyah. Karena sejak dulu sampai sekarang bagi para politisi tidak ada cara kampanye yang paling efektif selain mencari justifikasi ayat dan hadis, bukan?! Sebagai contoh dari dulu sampai sekarang akan ada pihak yang berdebat mengenai kesahihan maupun kepalsuan riwayat: "jikalau engkau melihat Muawiyah berdiri di mimbarku, bunuhlah ia!" Sekali lagi, politisasi agama terjadi sejak dulu. Inilah yang harus kita pahami untuk menelaah konflik sunni-syi'ah dalam perspektif politik.
Begitulah, beragam perspektif yang amat dinamis dalam memahami teks keagamaan baik di pesantren, madrasah maupun perguruan tinggi Islam. Cara kita mengkaji Islam menjadi warna-warni. Ini berbeda dengan pola pengajaran di halaqah dan majelis ta'lim yang mengajarkan Islam lewat doktrin semata. Islam dipahami hanya dalam dua bentuk saja: surga atau neraka; sunnah atau bid'ah; benar atau salah; pahala atau dosa; Muslim atau kafir; sah atau batal; dan halal atau haram.
Di luar itu bagi mereka tidak ada pembahasan dari sudut sejarah, budaya, sosial ataupun politik. Maka terkaget-kagetlah sebagian saudara kita itu melihat berbagai perspektif berbeda yang ditawarkan para kiai, cendekiawan maupun budayawan. Mereka kena penyakit kagetan, terus marah-marah dan akhirnya mencaci maki. Sudah tak ada ilmu, tak pula mereka menjaga adab.
Islam yang dipahami sebagai doktrin semata akan terasa kering dari berbagai disiplin ilmu. Islam yang melulu diajarkan dalam bentuk doktrin akan terasa tajam menghakimi yang lain. Sebagai contoh, perdebatan apakah bumi ini bulat atau datar, Islam doktrin akan buru-buru merujuk pada terjemahan ayat Qur'an untuk mengatakan bumi itu datar. Islam dalam perpsektif kajian ilmu akan berkonsultasi dengan para saintis terlebuh dahulu, dan bekal info dari para saintis itulah yang akan membawa perspektif baru dalam memahami ayat Qur'an seputar ini.
Begitu juga soal air yang suci dan menyucikan. Islam doktrin akan mengatakan selama air itu dua kullah maka dianggap suci untuk berwudhu. Secara doktrin fiqh ini memang sah, namun apakah air dua kullah itu secara medis/klinis tidak mengandung bakteri atau kuman? Di sinilah kita perlu perspektif baru mengenai air yang bersih dan layak untuk dikonsumsi. Sah secara fiqh dan bersih secara medis/klinis.
Semoga kita bisa terus belajar dan tidak hanya berhenti di doktrin, tapi terus melengkapi kajian Islam dengan berbagai perspektif ilmu yang sangat kaya dan dinamis. Generasi santri modern adalah mereka yang bisa mengkaji ayat quraniyah dan ayat kauniyah sekaligus. Kita menunggu terus bermunculan para pakar yang menguasai berbagai bidang ilmu keislaman dan ilmu umum agar wawasan kita menjadi luas. Insya Allah!
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School



Ketiga, Yudi Latif. Beliau adalah alumnus Australian National University (ANU). Saya mengoleksi disertasinya yang diterbitkan Mizan dengan judul Inteligensia, Muslim, dan Kuasa. Dia membahas genealogi para intelektual Muslim yang pernah mewarnai sejarah di tanah air. Setahu saya, Yudi adalah salah satu intelektual yang sangat produktif. Buku yang dibuatnya banyak dan tebal-tebal. Terakhir, saya membeli dua buku tebal yang ditulisnya mengenai Pancasila. Buku pertama berjudul Negara Paripurna. Buku kedua berjudul Mata Air Keteladanan.

Di media sosial, Yudi punya dua akun, yakni Yudi Latif, satunya lagi adalah Yudi Latif Dua. Saya menyukai yang kedua. Dia suka memosting segala hal. Tak hanya pemikiran dan cetusan-cetusan gagasan, ia juga membagikan foto-foto bersama keluarganya. Melalui foto perjalanan itu, terlihat dia suka berkunjung ke berbagai tempat eksotik di Indonesia. Malah terakhir, saya melihatnya berdoa di makam Bung Karno.

Saya menyukai postingannya tentangisu-isu kebangsaan dan nasionalisme. Tapi saya jauh lebih suka saat dirinya memosting puisi dan kalimat inspiatif. Saya menemukan sisi lain Yudi Latif, yang berbeda dengan apa yang tersaji dalam tulisan-tulisannya. Ternyata beliau suka menulis dengan kalimat yang menyejukkan. Lihat saja postingannya saat memberi ucapan selamat idul fitri Ia menulis: “Teman-teman yg budiman. Selamat Idul Fitri. Semoga awan mendung kembali jernih disiram hujan berkah dari langit, diteruskan akar ke sungai yg mengalirkannya ke hilir terjauh. Mohon maaf lahir dan batin! Salam, Yudi Latif dan keluarga.”

Tak hanya memberi ucapan selamat, ia juga menulis artikel agak panjang tentang Idul Fitri. Berikut apa yang dituliskannya:

Saudaraku, ibarat embun yang terperangkap di daun lusuh, kepulangan kita ke Idul Fitri kali ini melahirkan situasi ”kesucian” yang riskan. Pribadi-pribadi boleh saja terlahir kembali bak embun suci, tetapi relung kehidupan negara tempat mereka bertahan adalah ruang yang cemar. Menjelang penampakan hilal, langit suci diuapi kekotoran bumi, dari onggokan sampah kebiadaban terorisme, korupsi penegak hukum dan pencucian uang, hingga kematian warga akibat kelalaian pelayanan publik. Saat gema takbir berkumandang, kehidupan seperti roller coaster yang berjumpalitan antara optimisme dan pesimisme. Antara fajar fitrah yang meneguhkan sikap hidup yang positif dan kegelapan bumi yang menebar bayangan hidup yang negatif. Dalam situasi demikian, kesucian Idul Fitri bukanlah sesuatu yang harus diterima begitu saja. Kita tidak cukup menjadi suci (secara pribadi), tetapi yang lebih penting bagaimana kesucian itu bisa dipakai untuk menyucikan (negara). Seperti kata Aristoteles, ”Manusia baik belum tentu menjadi warga negara yang baik. Manusia baik hanya bisa menjadi warga negara yang baik bilamana negaranya juga baik. Sebab, di dalam negara yang buruk, manusia yang baik bisa saja menjadi warga negara yang buruk”. Inilah saatnya, kebaikan pribadi harus memiliki komitmen untuk memperkuat etika sosial. Gairah keagamaan tidak berhenti pada narsisme simboliknya, melainkan pada penguatan misi profetiknya dalam memperjuangkan kemaslahatan hidup bersama. Dengan hati suci yang bertaut dengan gelombang kesucian kolektif, semoga bumi kehidupan dapat disucikan kembali! (Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Keempat, Rhenald Kasali. Beliau adalah profesor bidang manajemen di Universitas Indonesia (UI). Beliau sangat aktif di media sosial. Tak hanya twitter, beliau aktif di facebook melalui postingan singkat serta artikel blog yang mencerahkan. Saya melahap hampir semua apa yang dtuliskannya. Sebagai orang yang bukan berlatar ekonomi, saya snagat terbantu dengan apa yang ditulisnya. Saya belajar memahami sedikit demi sedikit bagaimana manajemen, serta kiprah para manajer hebat. Hebatnya, Rhenald suka juga memberikan sentuhan sejarah dan sosial budaya dalam semua tulisantulisannya.

Kekuatan Rhenald adalah bisa merespon semua isu yang tengah hangat dengan amat cepat. Saat lagi heboh tentang demo sopir taksi, Rhenald lalu menulis tentang sharing economy atau ekonomi berbagi. Ia bisa memperkenalkan banyak wcaana baru dengan bahasa yang membumi dan bisa dipahami siapa saja. Saat heboh tentang Fadli Zon meminta fasilitas di KJRI New York, ia menulis artikel panjang yang bercerita mengenai tantangan yang diberikan kepada mahasiswanya agar keluar negeri tanpa diantar siapapun. Sebab ketika mahasiswa itu tersesat, ia sesungguhnya sedang belajar dan menemukan banyak pengetahuan baru. Ia mengatakan:

Mungkin kita semua sepakat, anak-anak yang pintar di sekolah belum tentu pintar dalam kehidupan.
Sayangnya banyak orang tua yang masih berpikir, kalau anaknya juara kelas, pintar di sekolah, pasti akan pintar menjalani hidup.
Untuk itulah sering kita lihat orang tua yang amat protektif, membuat anak merasa sudah belajar walau itu hanya di sekolah. Sedangkan perjalanannya menuju sekolah, pergaulannnya, kebiasaannya mengambil keputusan dalam keadaan sulit, selalu disterilisasi orangtua.Apalagi bila orang tua punya kuasa, banyak koneksi, punya uang, maka semua itu akan distrerilisasi lebih luas lagi. Padahal yang membentuk orang tuanya hari ini sukses sudah jelas: orangtua mereka tak seprotektif mereka.


Postingan Rhenald selalu menginspirasi. Ia menekankan kemandirian dan keberanian untuk memilih perubahan. Tema perubahan memang sudah lama ditekuninya, sejak menulis buku Change. Perubahan yang diinginkannya adalah perubahan dalam diri yang kemudian berimbas pada perubahan dunia sekitar. Mustahil ada perubahan, tanpa mengubah mindset dalam memahami dunia sekitar.

Melalui media sosial, saya juga menemukan sisi lain Rhenald. Ia mendirikan Rumah Perubahan sebagai wadah untuk mengaktualkan berbagai ide-idenya. Baru saya tahu kalau ia punya kegiatan mentoring bagi anak-anak muda selama dua tahun. Anak muda itu dilatih untuk  memiliki mindset yang terbuka dan mental yang tangguh. Output-nya, akan ada kontribusi positif dan nyata dari mereka selaku agent of the change untuk melakukan perubahan-perubahan positif bagi bangsa.

Ia juga membuka kelas menulis, piknik edukatif bagi keluarga, serta berbagai kegiatan kreatif lainnya. Ini belum lagi ditambah dengan kegiatannya yang menjadi konsultan banya perusahaan, serta publikasi karya-karyanya sehingga ide-ide perubahan yang digulirkannya bisa tersebar ke mana-mana. Rhenald adalah tipikal intelektual yang membumikan gagasan-gagasannya melalui banyak kaki. Dia layak menjadi panutan.

Kelima, Mochtar Pabottingi. Beliau adalah profesor riset bidang ilmu politik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Reputasinya sangat mentereng sebagai alumnus program doktoral di satu perguruan tinggi di Amerika Serikat. Ia sangat produktif dalam hal menulis artikel yang isinya adalah analisis politik. Penguasaan teorinya sangat baik.

Di mata saya, Mochtar adalah tipe intelektual yang berbicara blak-blakan. Ia bukan tipe intelektual yang hobinya menyenangkan penguasa dan kaum pemodal. Ia menyampaikan idenya secara lugas dan terbuka. Kalimat-kalimatnya jernih serta ditopang logika yang kuat. Dia juga seorang penulis puisi yang produktif. Dalam dirinya, saya menemukan kobinasi akademisi yang taat asas saat menyampaikan argumentasi, serta seorang seniman yang lentur dalam membengkokkan kata.

Di media sosial, postingannya bernas. Ia tak ragu-ragu mengkritik Jokowi – JK saat keduanya dianggap hendak melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia juga mengkritik pemikiran banyak orang yang seolah-olah anti pada segala hal mengenai Cina. Bagi Mochtar Pabottingi, Cina adalah suku bangsa yang membentuk Indonesia, serta punya banyak warisan penting di Indonesia, di antaranya adalah agama Islam yang pernah diperkenalkan Laksamana Cheng Ho di beberapa daerah. Menolak segala hal mengenai Cina adalah menolak identitas Indonesia yang selama sekian tahun telah melebur dalam tradisi dan budaya.

Saya melihat postingan Mochtar Pabottingi selalu diniatkan untuk mencerahkan pikiran-pikiran sengkarut di media sosial. Sayangnya, belakangan ini ia jarang memosting sesuatu. Terakhir saya membaca postingannya tentang kegiatannya di bulan Ramadhan yang sedang mengedit tulisan terjemahan yang akan diterbitkan sebagai buku. Bayangkan, dalam usia setua itu, ia masih mendedikasikan dirinya untuk hal-hal yang akan menjadi fundasi pengetahuan bagi anak bangsa.

***

DI artkel ini, saya hanya menyajikan lima profesor. Sejatinya, ada banyak intelektual yang mencerahkan media sosial dengan gagasan-gagasannya. Mereka menunjukkan jalan di saat banyak orang tersesat dan terjebak dalam histeria penilaian yang seringkali tak adil terhadap sesamanya. Para profesor ini menghadirkan wacana lain. Dengan gayanya masing-masing, mereka menyentil cara berpikir para netizen yang suka rame-rame saat menanggapi sesuatu, serta mudah terjebak dalam pola berpikir yang seragam.

Kehadiran mereka dan sejumlah sosok menginspirasi lainnya, telah menghadirkan wacana baru. Saya berpikir, daripada menghabiskan energi untuk membaca postingan mereka yang suka memfitnah atau menghasut sesamanya, jauh lebih baik kalau saya mengikuti tulisan mereka yang mencerahkan, punya kapasitas baik, serta bersih dari berbagai kepentingan politik. Pada para intelektual seperti mereka, saya belajar banyak hal baru, dan menjadikan media sosial sebagai wadah untuk menyerap makna-makna yang penting untuk memperkaya pengalaman kehidupan.

Membaca postingan mereka ibarat mengikuti perkuliahan yang dikemas dalam bahasa yang egaliter. Tanpa sadar, saya telah belajar banyak hal baru hanya dengan membaca postingan mereka. Media sosial tak hanya mempertemukan saya dengan banyak sahabat yang menginspirasi, tapi juga mempertemukan dengan para intelektual yang jauh dari kesan angkuh, para akademisi yang membumi dan rela duduk sejajar untuk berdiskusi dengan siapa saja, serta para guru yang memosisikan dirinya sama dengan siapapun di media sosial. Bersama mereka, kita sedang belajar dan berinteraksi dalam jejaring luas yang memungkinkan kita untuk saling menyerap pengetahuan.

Bogor, 12 Juli 2016

BACA JUGA:




4 komentar:

Muhammad Areev mengatakan...

Kalau saya boleh menambahkan satu lagi Prof Sumanto Al qurthuby

Yusran Darmawan mengatakan...

setuju bro. postingannya keren2

Profesor Ndeso mengatakan...

Kalau boleh sy menambahkan lagi..Bung Yusran Darmawan..ulasanya sll renyah.

M. Asrofi Al-Kindi mengatakan...

Joss Wibisono mas, keren juga

Posting Komentar