KEBENCIAN itu serupa takdir. Dia bisa memilih hendak hadir ke siapapun. Tak peduli latar pendidikan dan pengalaman. Sekali dia hadir, dia akan terus bersemayam hingga menjadi virus yang perlahan-lahan menyebar ke seluruh jaringan tubuh. Di era kekinian, kebencian itu menjadi wabah yang menyebar tak terkendali.
Ia bermula dari satu atau beberapa orang,
kemudian bergaung dan bergema ke mana-mana. Ia bisa saja seorang tukang sate
yang memaki pemimpinnya, bisa pula seorang warga biasa di sudut pulau sana.
Bisa pula seorang akademisi, yang seharusnya jernih dalam melihat sesuatu.
***
DI layar televisi, saya menyaksikan sahabat itu
lebih banyak menyimak. Sebelumnya ia berbicara dan menjelaskan posisinya. Ia
dilaporkan ke aparat karena kabar kebencian yang disebarnya di media sosial. Di
televisi, ia tak pernah mengakui itu adalah kebencian. Ia merasa sedang membumikan
idealismenya yang ingin melihat kotanya lebih baik. Ia menyampaikan sikap
protesnya kepada penguasa yang dianggapnya zalim.
Saya mengenal baik sahabat itu. Pendidikannya mentereng.
Ia alumnus perguruan tinggi di dua negara yang punya reputasi baik dalam hal
pendidikan. Ia seorang praktisi yang memahami dengan baik kerja-kerja media,
serta menulis tesis mengenai satu hal yang sensitif, namun bisa dikemasnya
dengan kejernihan seorang akademisi.
Tapi di layar televisi itu, ia tidak hadir
sebagai seorang akademisi. Dia menjadi tertuduh yang didengarkan pernyataannya,
untuk kemudian dimintai tanggapan. Seorang aktivis organisasi Islam menuduhnya
melakukan pemelintiran. Ia menggeleng. Ia mengaku serupa netizen lain, yang
melihat postingan, kemudian menyebarkannya lagi. Dan siapa sangka, jika itu
menyebar ke mana-mana. Tapi saya tertegun saat dirinya mengaku salah. Sedih juga mendengar berita dirinya yang menerima teror.
Saya sering mengikuti postingannya di berbagai
kanal media sosial. Di mata saya, ia bukan cuma sekali menyebar kabar yang lalu memantik reaksi. Sejak
sebelum pilpres digelar, ia pun kerap menyebar ketidaksukaannya pada satu pihak, yang disampaikan dalam kalimat yang mengundang amarah pihak lain. Ia
tidak pernah ragu menyebar pesan-pesan seperti itu. Barangkali ia menganggap
itu sebagai idealisme yang harus disampaikan. Mungkin pula ia menganggapnya
sebagai perjuangan menegakkan kalimat Tuhan. Jika demikian halnya, maka akan susah mendebatnya. Diskusi akan dianggap selesai.
Apakah ia sedang mengkritik? Entah. Sejak
sebelum pilpres, dia melancarkan kritik yang selalu tajam. Yang saya rasakan, dia
bukan seorang yang lembut dalam menyampaikan pesan. Dia berpedang lalu menebas
ke sana-sini. Saya tak sepakat dengan argumentasi bahwa dirinya sedang
memberikan kritik sebagai seorang warga negara. Bagi saya, lebih dari itu. Tapi
saya memilih diam saja. Saya pun tak pernah tersinggung oleh sikapnya. Namun
tidak dengan orang lain.
Ah, mungkin saya terlampau ideal. Saya
membayangkan akademisi adalah seseorang yang jernih memandang semua realitas.
Ilmu pengetahuan itu serupa cahaya yang dalam pahaman filsuf Heidegger, berfungsi
sebagai pemisah terang dari gelap. Jika dunia ini penuh dengan huru-hara dan
api amarah, para cendekia adalah mereka yang membawa embun untuk memadamkan
api. Para cerdik cendekia adalah sosok-sosok yang menjaga embun pengetahuan
agar selalu mendinginkan semua amarah. Para cerdik cendekia adalah dingin yang
menjaga panas agar tidak membakar.
Seorang arif pernah berkata, semakin dangkal
pengetahuan seseorang, maka semakin pemarah dan sensitif orang tersebut. Sebaliknya,
semakin tinggi pengetahuan, semakin bijaksanalah seseorang. Dia akan tiba pada
satu titik di mana semua hal dilihat sebagai gerak untuk mencari kesempurnaan.
Dia lebih banyak menyerap semua energi di sekelilingnya demi memperkaya
pengetahuannya. Dia akan lebih suka mendengar, lalu banyak diam dan
berkontemplasi demi mendengar suara-suara lirih semesta, lalu mengembalikannya
sebagai energi yang yang menumbuhkan.
Ah, mungkin saya terlampau ideal. Ketimbang
menyebar kebencian, jauh lebih baik jika dirinya menyebar pesan yang menyentil
kesadaran. Ketimbang membuktikan orang lain akan masuk neraka, lebih baik dirinya memantaskan diri agar masuk surga. Jika ia mendukung seseorang, akan sangat indah jika ia menyampaikan kebaikan orang itu, tanpa harus menghakimi yang lain. Kebenaran memang harus disampaikan, tetapi tidak
harus dengan kalimat serupa pedang yang bisa menyakiti orang lain. Pilihan
politik memang harus disampaikan, tapi tidak dengan cara menyerang satu orang,
hingga menimbulkan kemurkaan publik. Sesekali dunia harus disentuh dengan api,
tapi tak harus menghanguskan.
Namun apakah gerangan peran-peran yang bisa dimainkannya?
***
BUKU itu terletak di meja belajar saya.
Iseng-iseng, saya membuka-buka buku berjudul Communication for Social Change yang diedit Jan Servaes. Di halaman
374, saya membaca tulisan Working with
Media in Areas Affected by Ethno-political Conflict. Tulisan ini menyebutkan
bahwa terdapat 250 konflik bersenjata yang menewskan 110 juta orang di abad
ini. Beberapa peneliti mencatat keberadaan
233 grup di 93 negara yang menyandang senjata dan bergerilya. Diperkirakan, 20
juta orang telah menjadi pengungsi yang melintasi batas negara.
Saya penasaran dengan asumsi penulisnya yang
menyebut salah satu sebab konflik itu adalah industri kebencian yang disebarkan
melalui media massa. Dia menyebut sebab ini di sela-sela bahasan tentang
problem sttukrural, ekonomi politik, dan budaya. Katanya, kebencian itu
disuarakan melalui media-media, memicu kemarahan, hingga berujung pada konflik
dan jiwa-jiwa yang melayang. Di beberapa tempat, berlangsung konflik yang terus
terwariskan ke generasi berikutnya.
Sejumlah intelektual dan aktivis di Eropa gerah
dengan kenyataan ini. Mereka lalu merancang satu program bertemakan jurnalisme
damai yang bertujuan untuk membangun jurnalisme positif yang bisa mendinginkan
suasana. Mereka mengurangi kabar kebencian dengan cara membangun kabar-kabar
positif. Kalaupun ada benci, maka tugas mereka adalah memadamkan benci itu lalu
memandang substansi persoalan, dan secara perlahan membuka belukar kebencian.
Saya tertarik dengan ulasan tentang industri
kebencian itu. Saya masih terkenang pertemuan dengan beberapa sahabat yang lalu
menjadi cyber army di media sosial pada periode pilpres kemarin. Saya pun
pernah menolak tawaran untuk mengendalikan pasukan maya itu. Nurani saya terusik saat diminta untuk memasok
konten negatif yang diharapkan bisa menghadirkan kebencian. Saya tahu bahwa kebencian itu serupa industri yang punya mata
rantai. Ada pemasok, ada pendistribusi, ada pula yang membacanya. Politik bisa
mengubah cinta menjadi benci. Dan benci pun bisa jadi uang.
Namun menghadirkan kedamaian itu tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Butuh kemauan kuat untuk menepis segala konflik dan
bara yang terlanjur memanas demi menghadirkan kata damai. Butuh karakter hebat
untuk berhenti mengayunkan pedang lalu memilih jadi seseorang yang menebar
bunga ke mana-mana. Seseorang harus punya kualitas seperti rasul Muhammad, yang
saat terluka dilempari di satu desa, menolak permintaan Jibril agar
menenggelamkan desa itu. Muhammad menolaknya karena cinta yang sedemikian
besar, serta keyakinan bahwa batu amarah akan lebur oleh tetes-tetes embun cita
kasih.
Barangkali itulah alasan mengapa Nelson Mandela
menjadi figur yang sangat berpengaruh. Ia berani memutus mata rantai konflik
yang sudah menahun, sebab meyakini bahwa kebencian dan permusuhan harus
diakhiri dengan cinta kasih. Ia serupa monumen abad 21 yang memilih untuk
menjadi martir demi memberikan warisan berharga bagi bangsa yang dicintainya. Ia memaafkan mereka yang memenjarakannya, lalu memilih untuk menyambut era baru yang menyatukan semua kelompok, golongan, ras, dan agama.
Untuk konteks di tanah air, saya hanya punya
mimpi sederhana. Saya membayangkan tema-tema positif akan menggema di berbagai
media, termasuk media sosial. Jika semua orang sepakat untuk menyebarkan kabar
baik yang membahagiakan, membangun iklim medsos yang positif dan menjadi pohon
rindang bagi sesamanya, dunia akan sangat indah.
Saya menyesalkan tindakan kawan yang kini menjadi
tertuduh itu. Jika saja ia hanya membagikan hal baik, maka semuanya akan
baik-baik saja. Jika saja ia lebih elegan dan memilih mengedepankan kejernihan
ilmiahnya, ribuan orang akan antri untuk jadi sahabatnya. Jika bertemu dengannya,
ingin rasanya berbisik bahwa sebelum menyebar suatu pesan, yakinkan pada diri
bahwa pesan ini tak menyakiti siapapun. Pastikan itu adalah hal yang berguna
dan membawa kemanfaatan bagi orang lain. Pastikan itu tidak memantik hawa
amarah. Pastikan itu adalah embun yang mendinginkan semua emosi.
Ah, mungkin saya terlampau ideal. Tapi bolehkah saya bermimpi?
Bogor, 12 Oktober 2016
BACA JUGA:
2 komentar:
Beberapa hari lalu saya sempat menonton debatnya di salah sati stasiun televisi, kebetukan tadi makam saya juga download ulang vedionya di youtube hehe. Saya mengamini pernyataan Safii Maarif dalam acara tersebut. Selamat malam bang Yusran
Tulisan yang meneduhkan.. makasih bang Yus.. :)
Posting Komentar