SEPUCUK pesan memasuki email pribadiku.
Penulisnya bernama Prince Adu, seorang sahabat asal Ghana. Aku dan dia adalah
sahabat semasa di kampus Ohio. Ia mengirim kabar singkat yang kalimatnya
menyentuh hati. “Semoga Konferensi Asia Afrika di Bandung menorehkan sejarah
baru bagi dunia. Everyone has the right to choose their own history,” katanya.
Aku tiba-tiba saja terkenang pada
diskusi-diskusi kami. Mulai dari bagaimana tatanan dunia, posisi negara-negara
berkembang. Hingga satu saat ketika kami sama-sama mendiskusikan Konferensi Asia
Afrika (KAA) serta peran besar Sukarno di situ. Ternyata, nama Sukarno bergema
hingga negeri Ghana, merasuk dalam pikiran banyak orang, termasuk di antaranya
adalah sosok nasionalis Ghana, Kwame Nkrumah, yang kemudian menjadi presiden
pertama.
Prince Adu |
Pada mulanya kami tak bersahabat. Kami
hanya sesekali ketemu di acara yang melibatkan mahasiswa internasional. Pernah,
aku diundang mahasiswa Afrika untuk menyaksikan atraksi tari dan musik etnik.
Aku cukup menikmatinya. Prince Adu datang sebagai salah satu pemimpin
organisasi mahasiswa Afrika. Ia mengenakan pakaian etnik yang khas. Bahu yang
legam nampak kokoh. Di situlah kami mulai mengobrol.
Suatu hari, kami mengambil kelas yang sama
yakni Communication and Development yang diasuh Dr Cambridge. Pada sesi
perkenalan, aku dan Prince Adu duduk berdampingan. Saat dia memperkenalkan diri
berasal dari Ghana, dan aku menyebut berasal dari Indonesia, Dr Cambridge
langsung bersemangat. “Saya serasa melihat dua sosok penting yakni Sukarno dan
Kwame Nkrumah. Keduanya adalah pemantik nyala konferensi hebat di Bandung tahun
1955,” katanya.
Aku paham bahwa Dr Cambridge hanya
bercanda, Namun aku melihat sisi lain dari pesan itu. Bahwa peristiwa Bandung
adalah awal mula dari peristiwa besar yang kemudian menyebar sebagai berita
gembira bagi bangsa-bangsa yang merasakan kolonialisme.
“Pertama kalinya saya menyaksikan
bangsa-bangsa kulit berwarna duduk bersama lalu menyatakan sikap anti pada
penjajahan. Pesan dari Bandung itu lalu tersebar ke seluruh dunia, membangunkan
seluruh bangsa-bangs ayang tengah berjuang untuk menggapai kemerdekaan.
Semuanya dimulai dari Bandung,” kata Dr Cambridge.
Seusai kelas Dr Cambridge, aku mulai akrab
dengan Prince Adu. Aku mulai mendapatkan satu perspektif lain tentang Sukarno
di mata orang Afrika. Ia bercerita tentang persahabatan abadi antara
pendiri dan presiden pertama Ghana yakni Dr Kwame Nkrumah. Katanya, Sukarno
bersama Nkrumah pernah mencatat sejarah paling brilliant sebagai pemimpin negara
dunia ketiga. Bersama tokoh lainnya yakni Nehru (India), Gamal Abdul Nassser
(Mesir), dan Tito (Yugoslavia), mereka mengadakan Konferensi Asia Afrika (KAA)
di Bandung dan menjadi momen bersejarah yang kemudian menggelorakan semangat
bangsa Asia Afrika untuk bangkit melawan penjajahan.
Pemrakarsa KAA. Kwame Krumah (dua dari kiri) |
“Harap dicatat.
Saat itu Ghana belum berdiri. Ia masih bernama Gold Coast. Tapi Sukarno
memberikan kepercayaan kepada Nkrumah untuk sama-sama berdiri sebagai pemimpin
negara yang berdaulat. Mereka lalu menantang negara-negara maju yang saat itu
sibuk berkonflik. Mereka mendeklarasikan kesepahaman bahwa bangsa-bangsa Asia
Afrika mesti bangkit dari penjajahan dan tekanan bangsa asing. Bukankah itu
luar biasa?” katanya.
Sebagai pendiri Ghana, nama Nkrumah memang
sangat membekas di hati semua orang Ghana. Sebab pria itu bukan saja mendirikan
Ghana, namun juga dicatat sebagai salah satu intelektual Ghana yang cemerlang
di zamannya. Sebagai seorang penganut paham sosialisme, ia menulis banyak buku
yang kemudian jadi rujukan. Buku karya Nkrumah berjudul Coensciencism:
Philosophy and Ideology for De-Colonisation menjadi buku wajib untuk
dibaca. Lewat buku ini, tergambar jelas betapa jernihnya pemikiran Nkrumah
untuk bangsa Afrika. Jika Nkrumah menempati posisi istimewa, bagaimanakah
halnya dengan Sukarno yang di masa silam sangat menjaga persahabatan dengan
Nkrumah?
Prince Adu menunjukkan sebuah foto tentang
kedatangan Sukarno di Ghana. Saat itu, Sukarno disambut sebagai seorang
pemimpin dunia. Semua orang mengelu-elukan kedatangannya sebagai pemimpin
bangsa dunia ketiga. Setelah mengecek pada beberapa kliping lama, kunjungan
tersebut terjadi pada tanggal 16 Mei 1961. Saat Sukarno datang, ia disambut
dengan 21 dentuman meriam sebagai tanda penghormatan.
***
Bersama Prince Adu |
LAMA tak berjumpa dengannya, aku tersentak
saat membaca pesan dari Prince Adu. Rupanya, ia masih setia mengikuti berbagai
perkembangan dunia. Ia masih menjadi shaabat yang idealis dan rajin membaca.
Aku teringat pada kebanggaannya karena terlahir sebagai orang Afrika. Semoga
saja dirinya menggapai impiannya untuk menghasilkan sesuatu yang inovatif dan
bermakna bagi masyarakatnya.
Kesan kuat yang tertanam di benakku adalah
gagasan hebat akan selalu menjadi benih yang tumbuh di mana-mana, kelak akan
jadi pohon rindang yang menghadirkan banyak buah manis. Pada satu masa, ada
gagasan kuat tentang perdamaian serta sikap atas kolonialisme, gagasan itu lalu
tumbuh dan memiliki akar kuat di masa kini.
Pada mulanya, bangsa Asia Afrika adalah
pariah di tengah pergaulan global. Kini, mereka adalah tuan sekaligus subyek
yang bisa menentukan jalan sejarahnya sendiri. Jika dahulu jalan sejarah itu
adalah sikap anti-kolonialisme, maka jalan sejarah hari ini adalah keberanian
untuk membangun ekonomi yang mandiri, dengan desain yang ditentukan sendiri,
bukan ditentukan oleh bangsa lain.
Pesan Prince Adu dari Ghana itu terus
membekas. Memang, tanggungjawab sejarah itu tidak kecil. Aku teringat kalimat
Sukarno bahwa kemerdekaan adalah gerbang emas untuk memasuki era baru. Kini,
saatnya menyusun refleksi, apakah kita telah tiba di era baru itu ataukah
tidak? Ataukah kita masuh berada di posisi yang sama dengan era Sukarno ketika
keberanian memang dibutuhkan untuk mengalahkan segala bentuk penjajahan?
Entah.
Bogor, 23 April 2015
0 komentar:
Posting Komentar