Saat Orang Kota Kembali ke Kampung



HIDUP ini seringkali menyimpan banyak paradoks. Saat tinggal di kampung, saya membayangkan bahwa mereka yang tinggal di kota akan sangat bahagia dengan fasilitas yang ada. Ternyata justru sebaliknya. Orang kota kini harus membayar mahal demi gaya hidup seperti orang kampung. Lantas, mengapa pula ada yang malu menjadi orang kampung?

***

BEBERAPA hari silam, saya singgah ke Pasar Ah Poong di Sentul, Bogor. Saya mengajak keluarga untuk rekreasi di pusat kuliner yang terletak di tepi sungai, serta ada banyak perahu-perahu di situ. Saya melihat beberapa keluarga naik perahu dan mengelilingi telaga kecil yang panjangnya hanya sekitar 500 meter.

Anak saya merengek-rengek untuk naik perahu. Ia memang belum pernah naik ke perahu. Barangkali ia membayangkan kesenangan saat berkeliling telaga di atas air. Istri saya pun penasaran. Sejak dulu, ia membayangkan nikmatnya naik gondola di Venesia. Ia melihat aktivitas berperahu di telaga ini mirip dengan kartu pos bergambar gondola di Venesia. Ia ingin mencobanya.

Saya lalu bertanya ke seorang tukang perahu. Ternyata, untuk naik perahu itu selama 30 menit, kami harus membayar 50 ribu rupiah. Hah? Jumlah itu terlampau mahal untuk aktivitas yang barangkali cuma menelan waktu sekitar 30 menit. Lagian, saya bertanya-tanya dalam hati, apa sih nikmatnya berperahu di kolam sesempit itu?

Saya lahir dan besar di pulau kecil. Hampir setiap hari saya bersentuhan dengan laut. Saya terbiasa bermain bola di pasir putih lalu bermain dan berlari di situ. Kakek saya adalah nelayan. Ia sering menandai perahunya dengan dedaunan. Saya sangat mengenali perahu kakek, dan selalu saya gunakan saat bermain. Semua aktivitas itu dilakukan secara bebas dan penuh keriangan khas warga kampung.

Makanya, saya terheran-heran ketika harus membayar mahal demi naik ke perahu. Ternyata, orang-orang kota harus membayar mahal untuk satu aktivitas yang biasa dilakukan orang-orang di kampung nelayan. Bagi orang kota, berperahu adalah pengalaman unik dan mengasyikkan, sementara bagi orang kampung, berperahu adalah aktivitas biasa yang dilakukan setiap hari.

Nampaknya, sedang terjadi pergeseran. Di saat orang-orang di pedesaan ingin meniru gaya hidup orang perkotaan, maka orang kota justru sedang gandrung-gandrungnya dengan aktivitas orang kampung. Di kota, rumah-rumah ditata dengan taman rimbun, hutan kota, serta sungai-sungai jernih, sebagaimana yang biasa disaksikan di kampung. Bedanya, orang kota mesti membayar mahal untuk itu.


Tak hanya perahu. Beberapa hari silam, saya berkunjung ke satu sekolah alam yang menyediakan pendidikan untuk anak usia dini. Saya ingin tahu konsep yang diterapkan di sekolah, serta mengecek berapa biaya pendaftaran di sekolah itu. Kunjungan itu mengejutkan saya. Yang dimaksud sekolah alam adalah aktivitas sekolah yang lebih banyak dilakukan di alam terbuka. Anak-anak langsung belajar dan bermain di tepian hutan, setelah itu berdiskusi dan saling tukar pikiran.

Saya lebih terkejut saat mengetahui bahwa biaya pendaftaran sekolah alam adalah 9 juta rupiah. Hah? Demi untuk belajar di tepi hutan, anak-anak harus membayar mahal? Sewaktu kecil bermain di tepi hutan adalah bagian dari rutinitas. Saya malah menembus hutan-hutan demi memuaskan hasrat bertualang. Di kampung saya, semua pemukiman terletak di tepi hutan. Tak ada yang melarang anak-anak untuk bermain hingga ke dalam hutan.

Di kota, anak-anak harus membayar mahal demi belajar di sekolah yang materinya adalah bermain di tepi hutan. Nampaknya, hutan hijau, laut biru, sungai jernih, dan udara segar menjadi sesuatu yang amat mahal di kota. Manusia kota hidup di dalam ruang yang pengap, di sela-sela gedung bertingkat tinggi, hingga tak ada lagi lapangan dan tepian hutan untuk bermain.

Semua yang dianggap biasa di desa dan kampung justru menjadi sangat bernilai di kota-kota. Makanya, gaya hidup kembali ke alam yang tengah bergema di kota, harusnya dilihat sebagai kerinduan untuk kembali ke kampung dan menjalani kehidupan yang lebih sehat secara fisik dan spiritual. Kampung tak hanya menyediakan lahan bermain dan alam yang lebih sehat, namun juga memberikan kedamaian, sesuatu yang diupayakan agar disemai di berbagai lembaga pendidikan di kota-kota.

Tengoklah di berbagai kota. Gaya hidup yang selaras dengan ekologis, kampanye pangan lokal, penggunaan herbal untuk penyembuhan, konsep rumah penuh tanaman, hingga trend batu akik, menunjukkan betapa hasrat kuat untuk kembali ke kampung itu sedemikian kuat di benak orang kota. Betapa kampung dan desa menjadi ikon dari sesuatu yang romantis dan lebih mendebarkan, ketimbang kota yang penuh kemacetan.

saat anak saya di atas perahu

Itu yang saya saksikan di Pasar Ah Poong. Saya terkenang betapa mewahnya kehidupan sebagai anak kampung. Saya bersyukur tak lahir di tengah masyarakat kota, yang demi berperahu selama 30 menit harus membayar sebesar 50 ribu rupiah. Saya bangga tumbuh di kampung pesisir yang kini banyak didatangi orang kota turis asing yang hobi berenang dan menyelam.

Tapi saya agak sedih saat melihat anak saya yang tak mengalami kebahagiaan serta petualangan sebagaimana yang saya alami dahulu. Anak saya tumbuh sebagai generasi kota yang mulai tak mengenali indahnya bermain di pasir putih setiap hari. Ia menjadi bagian dari mereka yang harus membayar demi sekadar berperahu.

“Ayah, perahunya sudah datang. Horeee...! teriak anak saya.

Kali ini, saya tak merasakan kegembiraan sepertinya. Saya hanya bisa memandang perahu itu sembari mengenang hal-hal biasa yang dianggap hebat oleh orang-orang di telaga ini.(*)



Bogor, 23 April 2015

0 komentar:

Posting Komentar