Sesobek Refleksi di Pelatihan Kader HMI


Saat berkunjung ke kampung halaman untuk menengok ibu, saya didadak untuk membawakan materi di Intermediate Training Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Baubau. Pihak steering dan panitianya meminta saya membawakan materi Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis). Saya benar-benar tak tahu harus mulai dari mana, serta bagaimana membumikan materi yang agak ‘berat’ itu.

Dahulu, saya terbiasa dijemput malam-malam untuk mengisi materi sampai pagi. Namun lima tahun terakhir ini, saya tidak pernah lagi hadir di pengkaderan lembaga itu. Saya hanya menyaksikan dari kejauhan. Namun ketika yang mengundang adalah adik-adik, ponakan, serta para sahabat di kampung halaman, saya tak bisa menolak. Saya pun memutuskan hadir.

Kesan saya, organisasi sekelas HMI tak banyak mengalami transformasi. Saya cukup paham bagaimana lembaga-lembaga studi ataupun bisnis mengelola pelatihan dengan standar tinggi. Mereka menyiapkan semuanya dengan serius. Ruangan pelatihan dikemas menjadi fleksibel, dengan materi yang ringan, menginspirasi, serta mendorong hasrat untuk melejitkan potensi diri.

Biasanya, pelatihan dikemas sebagai ajang yang menggairahkan semangat berpikir. Para pemateri menjadi fasilitator yang menganalisasi energi para peserta pelatihan. Metode pelatihan selalu berkembang. Alat peraga pun terus-menerus dikembangkan secara kreatif. Saya malah melihat banyaknya materi yang dikemas dengan video dan visualisasi yang menarik. Tujuannya? Agar peserta tak bosan dan bersemangat mengikuti materi.

Namun pelatihan di lembaga HMI, yang saya saksikan ini, seakan jalan di tempat. Model pelatihan hari ini tak jauh beda dengan model pelatihan yang saya ikuti 10 tahun lalu. Ada beberapa hal yang saya amati dan tepat untuk didiskusikan bersama-sama.

Pertama, para instruktur pelatihan ini memberikan setumpuk tugas kepada peserta yang harus diselesaikan. Peserta diberikan semacam instruksi agar setia mengikuti materi. Kalau peserta tak disiplin, maka mereka tak akan diluluskan.

Padahal, di mata saya, berbagai aturan dan tugas-tugas itu justru membuat pelatihan jadi kehilangan greget. Fokus para peserta bukan pada materi, melainkan pada upaya menyelesaikan tugas. Hingga kini, saya belum melihat ada korelasi antara kewajiban menyelesaikan tugas di tengah padatnya materi terhadap peningkatan kapasitas intelektual peserta. Yang harusnya dipahami adalah berikan peserta kebebasan untuk memahami dan menyerap materi, tanpa perlu memberikan banyak penugasan.

Kedua, saya menangkap kesan kalau banyak pemateri yang menjadikan arena pelatihan sebagai arena untuk berbicara banyak hal, tanpa mau mendengarkan para peserta. Saya menangkap kesan kalau yang muncul adalah ceramah, bukannya diskusi. Interaksi dalam belajar bersifat satu arah. Padahal, para peserta adalah mereka yang dianggap punya kapasitas mumpuni untuk menalar persoalan. Mereka punya kemampuan intelektual yang cukup baik untuk membangun dialektika di dalam ruang diskusi.

Ketiga, saya melihat kesan kalau tak banyak instrumen untuk membuat materi menjadi menarik. Pengalaman saya ikut berbagai pelatihan menunjukkan bahwa yang kemasan pelatihan seringkali dianggap lebih penting ketimbang materi. Jika panitianya kreatif, maka mereka akan menyiapkan visual, berbagai video, serta berbagai permainan yang konsepnya kreatif dan menghibur. Hal-hal itu bisa menjadi vitamin agar peserta tahan untuk mengikuti keseluruhan materi.

Keempat, harusnya materi bisa dibuat lebih fokus. Yang ditekankan adalah bagaimana bisa mengantar peserta, mulai dari level filosofis hingga pembumian wacana. Dengan cara demikian, materi bisa lebih menarik dan semakin menantang. Diskusi-diskusi akan lebih terfokus dan terarah, tanpa harus selalu tambal sulam tas materi yang silih-berganti.

Saya teringat kuliah-kuliah Dr Cambridge di kampus Ohio. Ia selalu memulai materi dari hal-hal sederhana, lalu mengajak peserta untuk menelusuri rimba raya teori, batas-batas teori, hingga bagaimana teori itu dibumikan. Ia menata materi secara rapi, dan menegaskan kepada semua mahasiswa untuk meniti di koridor itu.

Kelima, pelatihan harusnya dikemas sebagai interaksi yang menyenangkan. Peserta bisa lebih banyak belajar, berdiskusi, dalam suasana yang penuh kegembiraan. Bolehlah dikemas sebagai pelatihan yang sedikit mengasah otak. Berilah tantangan kepada peserta ataupun tugas untuk menganalisis persoalan. Beri kesempatan kepada mereka untuk menganalisis dan membuat kesimpulan. Kelak kesempatan belajar bersama itu akan menjadi kenangan terindah bagi mereka.

Tentu saja, merancang satu pelatihan yang fun dan berkualitas jelas tak mudah. Saya pun belum berpengalaman soal ini. Pengalaman saya adalah menerapkannya dalam konteks pelatihan menulis. Untuk konteks HMI, maka beberapa masukan diatas layak untuk dipertimbangkan.

Yakin Usaha Sampai


Baubau, 2 April 2015

0 komentar:

Posting Komentar