DARI Nusakambangan, Cilacap, sebuah berita
terkirim. Eksekusi terhadap seorang pekerja migran asal Filipina, Mary Jane,
akhirnya ditunda. Di Manila, sorak-sorai membahana. Ada riang yang dilepas ke udara. Namun saya tiba-tiba saja
teringat pada seorang sahabat di Cilacap sana, yang mendapat tugas sebagai penyaksi atas
perempuan Filipina itu. Bahagiakah dirinya?
***
SORE hari, 28 April 2015, teman itu
mengirim gambar. Dirinya berpose di depan lembaga pemasyarakatan di Cilacap. Ia
bekerja sebagai jaksa yang menuntut Mary Jane agar dihukum mati. Ia hadir di
Nusakambangan untuk menyaksikan proses eksekusi. Ia menjadi penyaksi atas takdir Mary Jane, apakah dieksekusi sesuai rencana ataukah tidak.
Sejak bulan lalu, ia bercerita bahwa hari
itu akan tiba, cepat atau lambat. Ia dalam posisi dilematis, sebab dirinya
harus menyaksikan eksekusi. Sebagai manusia biasa, ia tak nyaman ketika
menyaksikan proses saat jiwa mennggalkan raga. Tapi panggilan tugas
mengharuskannya untuk berada pada saat-saat penting itu.
Sebagai jaksa, ia tak punya banyak
pilihan. Ketika diminta untuk menjadi penuntut, ia mesti taat asas dan
prosedur. Jika seseorang membawa narkoba dalam jumlah besar, maka jaksa harus
menuntut setinggi-tingginya. Selanjutnya, seorang hakim yang akan menentukan apa
hukuman yang diberikan. Apapun putusan hakim, jaksa berkewajiban untuk
mengeksekusi, dan memastikan semuanya sesuai dengan keputusan pengadilan.
Kita terlanjur mempercayakan pengadilan
sebagai penentu dan pengadil atas berbagai perkara. Pengadilan adalah wakil
Tuhan yang berhak untuk memberikan vonis. Keberadaannya diikat oleh tatanan
hukum, dikuatkan oleh konsensus, serta dilegitimasi oleh semua warga negara.
Jika pengadilan mengatakan A, maka semua pihak wajib patuh. Bahkan para
pemimpin pun harus tunduk pada keputusan pengadilan.
Kawan itu dalam posisi dilematis. Ia tak
boleh mendengarkan berbagai opini publik saat persidangan. Opini adalah produk
rekayasa dari segelintir orang yang mengendalikan wacana. Sementara hukum
justru menutup mata atas berbagai opini. Ia hanya berurusan dnegan berbagai
fakta yang diungkap di meja persidangan. Kalau fakta mengatakan A, maka
sedahsyat apapun tekanan publik yang menghendaki bukan A, maka hukum akan
memihak pada apa yang tersaji di persidangan. Di luar itu, hanyalah opini
buatan para spin doctors yang
tujuannya adalah menyesatkan informasi dan memenangkan wacana.
Kawan itu terikat pada berbagai aturan.
Sebagai jaksa, ia sudah tahu bahwa jenis kesalahan yang disangkakan pada Mary
jane mesti dituntut dengan hukuman mati. Barangkali, ia bisa saja menolak
tuntutan itu. Akan tetapi, jika ia benar menolak, maka hukum bisa menjeratnya.
Korps Kejaksaan akan memeriksanya, dengan asumsi kalau dirinya memiliki relasi
dengan tersangka. Ia bisa dituduh menerima sesuatu, yang bisa mencemarkan
perjalanan kariernya. Jika taat asas, ia mesti mengajukan tuntutan hukuman
mati. Biar hakim yang memutuskan.
***
SENJA temaram di ujung Nusakambangan.
Semuanya masih berjalan sesuai rencana. Sembilan tahanan akan dieksekusi oleh
para penembak dari Brimob. Mereka sudah paham bahwa tak ada lagi celah hukum
yang bisa ditempuh. Mereka pun telah berpamitan dengan keluarga, yang telah
datang untuk menjemput jenazah.
Kawan itu sejenak melewati para demonstran
yang membawa spanduk berisikan permintaan agar Mary jane segera bebas. Mary
Jane dianggap hanyalah korban dari satu sindikasi internasional yang selama ini
beroperasi di banyak negara. Tak ada yang tahu bahwa kawan itulah yang menjadi
jaksa dan memberikan tuntutan hukuman mati. Semua berjalan biasa saja di tengah
kecaman pada eksekusi yang akan segera di lakukan.
Demonstrasi dan suara-suara penolakan atas
eksekusi perempuan Filipina itu merebak di mana-mana. Berbagai organisasi buruh
dan pekerja internasional ikut bergabung. Ikut pula berbagai lembaga perempuan
dan buruh migran internasional. Perempuan itu dianggap hanya sebagai sekrup
kecil dari satu mata rantai besar bernama sindikasi internasional.
Kawan itu masih mengalami dilema. Ia masih
harus mendamaikan dirinya yang sebentar lagi akan menjadi saksi atas proses
eksekusi. Ini bukan soal benar dan salah. Ini adalah soal seberapa kuat dirimu
kala menyaksikan tubuh manusia ditembus peluru, lalu tersungkur dan bersimbah
darah.
Tengah malam. Semua tahanan dibawa ke
lapangan tembak. Dari sembilan tahanan, hanya ada delapan orang yang dibawa ke
sana. Tak ada Mary Jane di situ. Ada apakah gerangan? Tak lama kemudian ada
pemberitahuan kalau eksekusi atas Mary Jane ditunda oleh pemerintah. Di
Filipina, seorang perempuan, yang dahulu merekrutnya, telah menyerahkan diri. Kasus ini bisa terus berlanjut. Di Cilacap, warga Filipina yang hadir berteriak gembira dan memuji keagungan Tuhan.
Dor!!!
Suara tembakan aparat menyalak. Kawan itu
telah meninggalkan Cilacap dengan sedikit lega. Ia tahu bahwa persidangan atas kasus
itu akan digelar kembali. Ia akan kembali memasuki arena persidangan. Satu hal
yang sedikit melegakannya, tak ada tubuh terbujur kaku yang harus disaksikannya
malam itu. Sesaat ia tersenyum, sebelum memulai perjalanan. Tapi senyum itu
hanya sesaat. Ia kembali tercekat kala mengingat delapan orang lain yang
terkapar.
Bogor, 29 April 2015
0 komentar:
Posting Komentar