poster film |
FILM Ada
Surga di Rumahmu memiliki tema yang sederhana, namun sangat kuat
menggedor-gedor hati ini. Film ini mengajukan banyak tanya yang memenuhi benak
saya. Betapa saya merasa terlalu jauh dari orangtua. Betapa saya, laksana
manusia modern lainnya, terjebak dalam sirkuit pencarian zona nyaman. Betapa
saya mengabaikan begitu banyak hal-hal sederhana yang justru sangat bernilai
dan membahagiakan.
Film ini membuat saya sejenak merenung.
Betapa saya laksana seseorang yang bepergian untuk mencari-cari udara, tanpa
menyadari bahwa udara senantiasa melingkupi dan setiap saat memasuki tubuh saya
dalam tarikan napas. Ke mana-mana saya mencari bahagia, padahal sejatinya bahagia
itu amatlah dekat. Ia terletak pada senyum seorang ibu saat memandang anaknya. Ia
terletak pada beningnya telaga hati ibu yang menampung semua tumbuhan kebaikan
dan pengharapan dalam diri anaknya.
***
DI Mal Belanova, Bogor, saya menyaksikan
poster film Ada Surga di Rumahmu, yang diproduksi Mizan. Film ini disutradarai
oleh Aditya Gumay. Aktor utamanya adalah Husein Idol. Bersama istri dan anak,
saya memutuskan untuk menonton film ini. Apalagi, kami tak tertarik menonton
film Fast and Furious 7 yang lagi
tayang di bioskop.
Jujur, saya bukan penggemar film berlatar
religi. Beberapa film religi yang pernah saya tonton tak begitu mengesankan.
Mengapa? Di mata saya, film religi seringkali menghadirkan ancaman-ancaman,
apakah itu ancaman akan masuk neraka, ancaman akan tewas dalam keadaan tubuh
penuh belatung, ataukah ancaman akan mendapat azab. Sejak awal, saya ingin
beragama yang dilandasi cinta kasih, bukannya ketakutan-ketakutan.
Saya juga tak suka dengan kemasan religi
pada film-film horor yang menegaskan peran ulama hanya sebagai pengusir setan.
Padahal, setan dalam kehidupan ini amatlah kompleks. Setan tak lagi hadir pada
sosok kuntilanak ataupun genderuwo. Setan bisa hadir pada sikap masa bodoh atas
sesama, sikap merasa diri paling hebat, ataupun sikap merasa enggan untuk membuka
diri pada beragam inspirasi kebaikan. Setan bisa hadir di media sosial, dalam
bentuk fitnah pada orang lain, atau menyebar berita-berita yang tak berbasis
fakta.
Dibayangi oleh berbagai pengalaman
menonton religi sebelumnya, saya penasaran untuk menyaksikan film ini. Adegan
pembuka bikin saya tercekat. Seorang anak kecil berpidato tentang sosok bernama Uwais Al Qarni, yang setia menjagai ibunya yang lumpuh dan buta. Saya tersentak dengan
kisah bahwa Rasul begitu menghormati pemuda yang menjagai ibunya itu. Pemuda
itu disebut sebagai penghuni langit. Pemuda itu mendapat tempat istimewa di
hati Rasul sehingga dirinya selalu dicari para sahabat di masa itu.
Adegan selanjutnya berjalan apik dan
mengesankan. Anak kecil yang berpidato tadi selanjutnya masuk pesantren. Ia
penuh keisengan dan kenakalan-kenakalan kecil. Saya terpingkal-pingkal saat
menyaksikan adegan ketika gurunya menghukum si anak harus ceramah di kuburan di
tengah malam buta. Saya juga terkekeh saat si anak itu diharuskan ceramah
mengenai keadilan di satu pasar tradisional, di hadapan penjual daging yang
sedang memotong-motong daging, yang barangkali sedikit mengurangi timbangan.
Ekspresinya lucu saat melihat kilatan kemarahan di wajah penjual daging.
Adegan selanjutnya bikin hati ini menjadi
basah. Guru anak muda itu senantiasa mengulangi kalimatnya bahwa keberhasilan
seorang anak selalu terletak pada keikhlasan dan pengharapan orangtuanya. Ia memberikan
pesan bahwa mencintai orangtua adalah bagian dari indahnya ajaran agama. Ia
membisikkan pesan indah agar si pemuda menyayangi orangtuanya lebih dari
apapun.
Pesan indah itu disampaikan dalam
tindakan-tindakan yang sederhana dan sering kita saksikan dalam kehidupan
sehari-hari. Saya melihat dedikasi seorang ayah dan ibu untuk kebahagiaan
anaknya. Saya menyaksikan tenunan kasih seorang ibu yang menyimpan kain milik
anaknya, yang kemudian diciumi saat merindukannya. Saya menyaksikan betapa
dahsyatnya cinta seorang ibu yang tak ingin memberi tahu anaknya kalau dirinya
sedang didera penyakit, hanya karena tak ingin menganggu hari-hari anaknya.
Sebelum menjadi seorang ayah, hal-hal ini
sukar untuk saya pahami. Saya pun pernah didera sikap egois yang seolah tak mau
tahu sejauh mana cinta orangtua pada anaknya. Setelah menikah dan punya anak,
saya melihat kehidupan dengan cara berbeda. Saya merinding saat membayangkan
bahwa sampai kapanpun saya tak pernah bisa membalas setiap tetes kebaikan yang
diberikan oleh kedua orangtua. Saya merasakan betapa indahnya cinta mereka di
setiap jejak-jejak perjalanan saya.
novel yang jadi inspirasi film |
Film, yang diangkat dari novel karya Oka
Aurora ini, membuat nurani saya bergetar pada banyak adegan. Misalnya, si anak
muda itu membagikan pendapatannya sebanyak 50 persen untuk ibunya. Saya lalu
bertanya dalam diri, apakah pernah saya membagikan honor pekerjaan riset yang
saya terima dalam jumlah sebanyak itu kepada ibu?
Anak muda itu juga selalu menunggu restu
ibu dan ayahnya saat hendak melakukan pekerjaan apapun. Kembali, saya bertanya
dalam diri apakah saya setiap saat bertanya pada ibu tentang semua yang saya
lakukan? Jangan-jangan ada setan egoisme yang memenuhi hati saya untuk selalu
merasa benar atas apa yang sedang saya lakukan, tanpa meminta pertimbangan pada
ibu di kampung halaman. Mengapa pula saya harus bersekolah tinggi jika pada
akhirnya membuat saya begitu sombong pada orangtua?
Adegan terbaik di mata saya adalah saat
sang anak muda itu berada di Jakarta, lalu memutuskan untuk pulang ke kampung
halaman demi menciumi kaki ibunya yang sedang sakit. Betapa tak mudahnya
mengambil keputusan ini, di tengah impian untuk merenda karier hebat di Jakarta
sana. Tapi anak muda melakukannya dengan penuh harapan bahwa niat baik untuk
menjagai orangtua jauh lebih penting dari apapun, serta keyakinan kuat bahwa
Tuhan tak akan pernah menutup mata atas semua ketulusan dan keikhlasan. Selalu
ada jalan terang di situ.
Film ini ibarat telaga yang sejenak
membasuh semua keangkuhan yang mengering di hati saya. Selama beberapa hari,
pesan-pesan film ini terus terngiang dalam benak saya. Ada demikian banyak hal-hal
hebat dan menyentuh di sekitar kita yang seringkali terabaikan akibat kesibukan
dan hasrat menggapai zona nyaman. Bahwa di balik banyak tindakan orang-orang di
sekitar kita, ada banyak hikmah dan inspirasi yang seharusnya bisa membuat kita
lebih terang melihat kehidupan.
Film ini juga membuat saya sangat optimis
dalam menjalani hari-hari. Saya tak akan khawatir atas apapun, termasuk
kehilangan pekerjaan sekalipun. Saya tak pernah takut untuk melakukan banyak
hal-hal baru, selagi cinta kasih orangtua selalu menjadi cahaya lilin yang
memandu saya di tengah pekatnya kegelapan. Di situ ada harapan, di situ ada
keikhlasan yang ditipkan dalam setiap gerak, di situ ada keyakinan bahwa semua
niat baik akan selalu mendatangkan hasil yang baik pula.
Bogor, 9 April 2015
0 komentar:
Posting Komentar