Di Balik Kisah “Seteru 1 Guru”



TUNTAS sudah saya membaca novel berjudul Seteru 1 Guru, terbitan Qanita (Mizan) tahun 2015. Novel ini berkisah tentang bagaimana pergulatan dari tiga murid Tjokroaminoto yakni Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo. Isinya menarik sebab membahas satu kepingan sejarah ketika tiga sosok itu tinggal bersama di satu rumah dan belajar pada satu guru. Kelak, ketiganya terpencar karena soal perbedaan ideologi dan garis perjuangan.

Di mata saya, Tjokroaminoto adalah seorang guru yang hebat. Ia tak pernah memaksakan semua muridnya untuk memilih jalan tertentu. Ia memberikan kebebasan sebagaimana burung merpati kepada semua murid-muridnya. Mereka bebas berkelana dan mempelajari beragam ideologi, sepanjang tetap dalam satu bingkai yakni kecintaan pada tanah air Indonesia.

Murid-muridnya lalu mengikuti takdir sejarahnya masing-masing. Ketiganya memilih jalan berbeda, yang kemudian dicatat secara berbeda pula oleh sejarah. Bahkan Tjokroaminoto sendiri pun menjalani jalannya sendiri. Ia meletakkan fundasi organisasi modern yang memantik kebangkitan nasional. Ia pula yang gagal mempersatukan berbagai model dan strategi perjuangan dari berbagai kelompok yang lahir sesudahnya. Takdir Tjokro adalah takdir seorang petani yang tak sempat menuai apa yang pernah ditanamnya.

Akan tetapi, ia sukses membakar semangat murid-muridnya yang dahulu tinggal di rumahnya, Gang Peneleh VII, Surabaya. Di rumahnya, ia menyemai ideologi perlawanan pada pemerintah kolonial. Ia membangkitkan satu kesadaran ideologis tentang pentingnya melihat bangsa sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan dengan segenap energi.

Buku ini membuat saya sesaat merenung, betapa kuatnya pengaruh ideologi dalam menentukan gerak langkah seseorang. Tak peduli anda pernah bersahabat dengan seseorang, ketika ideologi memanggil, anda akan berhadap-hadapan. Pengalaman bersahabat hanya akan menjadi kenangan yang sesekali diingat kala berjumpa. Namun di belakang, perbedaan ideologi selalu akan mencuat ke permukaan.

Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo memilih jalan berbeda. Soekarno memilih jalan nasionalisme, Musso memilih komunisme, dan Karto memilih jalan Islam radikal. Meskipun gagasan Soekarno yang kemudian menempati ruang sejarah, bukan berarti gagasan dua yang lainnya tak punya cahaya kebenaran. Di dalam ruang sejarah, perbedaan harus selalu dilihat dari kacamata siapa yang mengendalikan rezim kebenaran. Soekarno hanya menang pada satu masa, namun di masa lain ia terjungkal.

Informasi dalam buku ini memang kaya dan dikemas menjadi cerita. Hanya saja, ada kekecewaan yang merembes saat membaca lembar demi lembar. Kesan saya, buku ini terlampau setiap pada naskah sejarah. Saya tak menemukan satupun informasi baru yang tak ada dalam beberapa catatan sejarawan. Hampir semua informasi yang dibahas pernah saya temukan dalam buku karya sejarawan Takashi Shiraishi yang berjudul An Age of Motion, diterjemahkan sebagai Zaman Bergerak. Beberapa informasi lainnya ada di buku Soekarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams, serta buku tentang nasionalisme Indonesia karya Akira Nagazumi. Buku lain adalah karangan Korver yang berjudul Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?

Sebagai karya fiksi, harusnya pengarang buku lebih berani dalam mengutak-atik fakta sejarah. Ia tak perlu terlalu setia dengan detail-detail. Ia bolehlah sedikit bermain-main dengan berbagai warna dan fakta sejarah. Harusnya, fiksi membuatnya bebas dalam memainkan berbagai fakta-fakta umum yang selama ini dipegang oleh para sejarawan.

Yang saya sukai dari setiap fiksi sejarah adalah kejutan-kejutan yang bisa muncul dan tak terduga. Pengarang bebas untuk menafsirkan satu teks sejarah dan mengungkap berbagai kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa saja muncul. Bisa saja, pahlawan dalam versi sejarah resmi adalah sosok berbeda ketika ditampilkan dalam fiksi. Ini senantiasa terkait dengan posisi pijak (standpoint) seseorang ketika meneropong satu peristiwa. Entah kenapa, novel ini datar-datar saja.

Pengarang novel ini terkesan menjadikan Soekarno sebagai satu-satunya ikon kebenaran, sedangkan dua sosok lain sebagai pihak yang kalah. Padaal, jika dilihat secara substansi ideologi, ada kebenaran yang juga hendak disampaikan oleh dua sosok lain, kebenaran yang kemudian tenggelam oleh sejarah. Mestinya, fiksi bisa membuat kita berada di banyak sisi, mengasah mata batin kita untuk tidak terpaku pada apa yang tampak, menembus berbagai lapis kenyataan demi memahami bahwa manusia memang kompleks dan selalu memiliki penjelasan di balik setiap kejadian.


Bogor, 27 April 2015

0 komentar:

Posting Komentar