Kopi, Film, dan Sebutir CINTA



DARI sedemikian banyak film adaptasi karya tulis ke medium visual, barangkali hanya Filosofi Kopi yang membuat saya sangat puas dan tersenyum bahagia saat meninggalkan bioskop. Saya menikmati dialog-dialog filosofis yang bernas, namun dikemas menjadi santai. Saya menyenangi chemistry antara aktor-aktornya. Hanya saja, saya merasa tetap saja ada yang hilang seusai menonton film ini. Ada ruang kosong yang menganga di film ini.

***

LELAKI itu namanya Ben. Ia seorang barista yang mengklaim dirinya paling hebat. Ia terobsesi pada kesempurnaan. Ia siap melakukan apapun demi kesempurnaan itu. Ia mengenali kopi sampai sumsum terdalam. Hari-harinya adalah meracik kopi yang menghadirkan decak kagum bagi penikmatnya. Baginya, kopi dengan rasa hebat akan selalu dicari orang-orang. Makanya, ia meracik kopi dengan segala cita rasa dan taste seorang pencinta seni.

Indranya amat peka untuk mengenali kopi dengan aroma terbaik. Semakin baik bijih kopi yang dipilih, maka semakin sempurna pula rasa kopi. Ia meracik kopi laksana seorang maestro lukis yang mengenali setiap inchi dari kanvas yang digoresnya. Ia menggemari kopi lebih dari apapun.

Ia teramat idealis. Baginya, di tengah dunia yang sedemikian pragmatis, selalu saja ada ruang bagi yang menggemari kesempurnaan. Kopi tak sekadar minuman yang disajikan di saat seseorang sedang santai. Di balik minuman itu, terdapat makna-makna yang harusnya diurai dan ditemukan demi memperkaya pandangan atas hidup. Ben seorang pembelajar yang terus berusaha menemukan filosofi di balik setiap kopi yang dipilihnya.

“Kopi tubruk adalah simbol kesederhanaan,” katanya suatu ketika. Sebab kopi itu disajikan dengan amat simpel. Namun, sekian detik setelah kopi itu disajikan, aroma wangi kopi akan memencar. Di situlah letak kenikmatan kopi yang nampak biasa, namun luar biasa bagi para pencinta kopi.

Namun, Ben hanyalah satu sisi dari mata uang koin.

Jody adalah sisi koin yang lain. Berbeda dengan Ben, ia terobsesi dengan kesuksesan. Ia ingin mengelola kedai kopi dan menggapai banyak sukses. Di luar dari melayani pengunjung kedai, ia sibuk memperhatikan catatan laporan keuangan dari kedai yang dirasanya tak begitu indah angkanya. Ia tak begitu peduli dengan kualitas kopi yang disajikan. Bisnis jauh lebih penting dari apapun.

Ia dan Ben punya banyak perbedaan. Bagi Ben, orang-orang akan mencari kopi terbaik, di manapun itu. Bagi Jody, keuntungan material itu jauh lebih penting sebab merupakan napas dan oksigen bagi sebuah usaha kopi. Ia seorang kapitalis yang cermat dalam memilih harga kopi.

Hingga suatu hari, datang sebuah tantangan untuk menghadirkan kopi terbaik. Ben melakukan segala cara demi menemukan kopi itu. Ia berhasil menghadirkan sesuatu dengan rasa yang mendekati sempurna. Dipikirnya ia sudah menjadi yang terhebat. Hingga akhirnya, satu kenyataan telah menampar keras dirinya.

Kopi terbaik ternyata dihasilkan oleh satu petani di satu desa terpencil. Sang petani itu menyajikan kopi secara tradisional, di tengah perkebunan yang amat indah bersahaja. Sang petani tak punya banyak rahasia. Ia punya satu rahasia, yang tak dimiliki Ben, untuk menyajikan kopi ternikmat.

Petani itu punya banyak butiran CINTA.


***
 
DUA karakter itu saya temukan dalam film Filosofi Kopi, yang diangkat dari cerpen karya Dewi Lestari. Sebagai pembaca cerpennya, saya sangat terhibur dengan film ini. Tentu saja, filmnya disajikan lebih menarik. Karakternya disajikan lebih matang. Sebagai penonton, saya diajak untuk menelusuri sisi lain di balik aroma wangi kopi. Ada kisah tentang manusia. Ada kisah tentang suka dan duka di balik wanginya aroma kopi.

Saya menyukai karakter Ben dan Jody yang diperankan Chicco Jerikho dan Rio Dewanto. Dialog keduanya mengalir alamiah dan lancar. Karakter keduanya berbeda, namun tetap dalam bingkai persahabatan. Perdebatan dan interaksi keduanya laksana bunyi dari dua genre musik yang saling bersahut-sahutan, akan tetapi tetap dalah satu harmoni.

Saya suka dengan bentang alam perkebunan kopi, serta suasana khas pedesaan. Sebagai penikmat kopi, kesadaran saya digedor satu hal penting; di balik secangkir kopi, terdapat banyak petani yang bekerja dengan cinta demi menghasilkan kopi terbaik.


Satu-satunya karakter yang menurut saya tak begitu kuat adalah El yang diperankan Julie Esteele. Tadinya, sosok ini dihadirkan agar film tak begitu monoton. Namun entah kenapa, saya merasa Julie Esteele bukan orang yang tepat. Ia tak punya satu rasa unik yang bisa mempengaruhi aroma dan wangi dari keseluruhan karakter. Ia seakan tenggelam di tengah memukaunya permainan karakter lain, khususnya Chicco dan Rio.

Sepertiga akhir kisah film, terasa ada satu ganjalan dalam alur film. Terungkap banyak trauma yang disimpan rapat-rapat oleh Ben. Ia lahir dari keluarga petani kopi yang pernah dipaksa untuk menebang tanaman kopi, lalu menggantinya dengan sawit. Ayahnya pencinta kopi yang menolak untuk berpindah ke tanaman lain. Satu tragedi muncul ketika ibu Ben tewas terbunuh di kebun kopi. Sang ayah menghardik anaknya. Misteri yang muncul adalah mengapa ayah Ben melarang anaknya untuk menyentuh kopi?

Tak semua penonton memahami apa yang terjadi di desa. Tak semua pernah mendengar riset dari peneliti Claudia D’Andrea yang pernah tinggal bersama masyarakat petani kopi di Tore Lindu, Sulawesi Tengah.[1] Claudia menemukan bahwa petani kopi adalah subyek yang hendak disingkirkan oleh pemerintah yang datang membawa program lahan sejuta hektar untuk sawit dan tanaman produktif lainnya.

Di desa-desa kita, para petani bukanlah para penanam kopi yang bebas. Sejarah mencatat tentang petani yang senantiasa dipaksa tunduk oleh aturan dari rezim manapun. Sejak masa kolonial, mereka dipaksa untuk menanam komoditas ekspor, tanpa pernah ditanyai apa gerangan yang mereka inginkan. Saat membangkang, mereka akan mendapat cap sebagai komunis, atau dianggap sebagai kelompok radikal yang harus dienyahkan oleh negara.

Di balik semua kisah nestapa dan memilukan itu, terdapat satu wangi aroma kopi yang begitu memukau banyak orang. Ben dan Jody hanyalah satu dari sedemikian banyak tangan yang membawa kopi dari desa-desa untuk mengisi waktu senggang orang kota, hingga orang-orang manca-negara.

Film Filosofi Kopi menghadirkan banyak lubang yang menganga di dalam diri. Saya terkenang para petani kopi yang tak mendapatkan bayaran yang layak. Mereka hanyalah sekrup kecil dari perputaran bisnis kapitalisme, yang menjadikan kopi di desa-desa mereka menjadi komoditas mahal di kedai kopi sekelas Starbuck.  Bahwa seringkali kenikmatan yang tersisa di lidah kita justru bermula dari kerja keras dan keringat orang-orang kecil yang dalam diamnya justru berkontribusi besar untuk membangun peradaban kita hari ini.

Orang-orang kecil itu adalah mereka yang bekerja dengan sebutir CINTA.


Bogor, 19 April 2015


[1] Baca D’Andrea, Claudia F (2013) Kopi, Adat, dan Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Bogor; Sajogyo Institute


0 komentar:

Posting Komentar