Pelatihan Menulis untuk Akademisi


usana pelatihan menulis di Ambon

BEBERAPA minggu silam, saya diundang satu lembaga untuk memberikan pelatihan menulis populer bagi akademisi dan peneliti. Dua kali memberikan pelatihan itu, saya akhirnya berkesimpulan bahwa problem besar bagi akademisi terkait menulis bukanlah teknik penulisan dan bagaimana memulai paragraf. Apakah gerangan?

***

HARI itu, saya menjadi fasilitator pelatihan menulis di Ambon, Maluku. Saya ditantang untuk mengubah kurikulum kelas menulis yang berbeda dengan materi pelatihan jurnalistik. Fokusnya adalah bagaimana melatih para akademisi dan peneliti agar terbiasa dnegan berbagai style menulis, termasuk menulis blog, artikel populer, dan essai. Saya menerima tantangan itu sebagai ajang pembelajaran.

Tadinya, saya mengira bahwa pesertanya adalah para dosen muda ataupun peneliti yang baru meniti karier. Saat sesi perkenalan, saya tercengang. Banyak di antara pesertanya adalah dosen senior yang telah lama malang-melintang di berbagai konferensi ilmiah di dalam dan luar negeri.

Sebagai fasilitator, saya malah senang. Sebab metode pembelajaran yang dipilih adalah metode belajar untuk orang dewasa. Semua orang bisa menjadi guru dan berbagi pengalaman. Saat menggelar sharing, saya bertanya pada beberapa dosen senior, mengapa mereka ingin ikut pelatihan itu. Jawabannya cukup mengejutkan. “Saya ingin belajar bagaimana menulis yang bisa menginspirasi dan mencerahkan publik,” katanya.

Pada sesi sharing itu pula saya mendapatkan satu kenyataan menarik. Bahwa banyak di antara mereka yang merasa kesulitan ketika hendak mulai menulis. Padahal, pekerjaan mereka senantiasa terkait dengan teks, serta bagaimana memahami dunia teks. Jika saja mereka pun mengalami kesulitan, bagaimanakah halnya dengan masyarakat kebanyakan yang lain?

Mulanya saya beranggapan bahwa jangan-jangan, mereka kesulitan ketika hendak membuat tulisan ilmiah. Ternyata tidak juga. Jangankan menulis ilmiah, menulis secara lepas saja mereka kesulitan. Para akademisi yang saya temui ini merasa kesulitan untuk menggerakkan pena dan menghasilkan banyak tulisan, baik untuk jurnal ilmiah, maupun untuk konsumsi media massa.

Sejak dahulu, saya beranggapan bahwa menulis adalah soal bagaimana mengalirkan energi secara lepas dan dikanalisasi ke dalam kata. Saya tak hendak membedakan antara tulisan ilmiah dan tulisan populer. Bagi saya, keduanya hanyalah style atau bentuk yang berbeda. Tapi ‘sumsum’-nya sama, yakni bagaimana melepaskan gagasan ataupun mengalirkan energi ke dalam teks.

Melalui pelatihan itu, saya menampung gagasan dari mereka. Saat praktik menulis, saya mendapat kesimpulan kalau mereka telah mengetahui berbagai jenis-jenis dan kiat memulai proses menulis. Problem besar yang kerap dihadapi lebih mengarah ke aspek psikologis, yakni kekhawatiran-kekhawatiran tentang tulisan yang akan lahir kelak. Banyak orang yang memelihara kekhawatiran sebelum aktivitas menuis dimulai. Sebagai akademisi, mereka takut kalau-kalau tulisannya dianggap jelek oleh orang lain, dianggap basi, dianggap tidak paham perkembangan, ataupun dianggap tidak standar.

Padahal, kodrat seorang akademisi ataupun ilmuwan adalah belajar dari semua kesalahan. Ilmu pengetahuan berkembang pesat melalui trial and error alias coba dan gagal. Tanpa pernah mengalami kesalahan, ilmu tak akan bisa menemukan bentuknya seperti sekarang. Lantas, mengapa mereka sampai takut melakukan kesalahan?

Saya melihat pangkal persoalan ada di lembaga pendidikan kita. Sejak awal, kita selalu diajarkan untuk takut melakukan kesalahan. Kita tak belajar untuk menulis secara lepas. Kita tak dibiasakan untuk menulis catatan harian. Di sekolah-sekolah, menulis diajarkan sebagai tugas yang lalu diberi penilaian benar dan salah. Menulis dilatih dengan rumus-rumus yang ketat sehingga melahirkan kekhawatiran kalau-kalau bertindak tidak sesuai dengan aturan kepenulisan.

Harusnya, menulis dikembalikan pada kodratnya sebagai medium atau cara untuk menyampaikan gagasan. Yang dinilai bukan soal bagus-tidaknya, atau benar-salahnya, melainkan sejauh mana pesan yang disampaikan bisa diterima publik. Kalau publik bisa memahami pesannya, maka tujuan sang penulis telah tercapai. Kalau tulisan itu bisa menggerakkan orang lain, maka sang penulis layak mendapat acungan jempol. That’s it.

Tentu saja, untuk bisa menembus media massa dan jurnal-jurnal ilmiah, ada tata cara yang harus dipatuhi. Namun, persyaratan itu akan mudah dipenuhi kalau seseorang punya passion kuat untuk menulis dan berbagi. Inilah yang harus ditemukan oleh siapapun yang hendak meniti di jalan aksara.

Makanya, kelas-kelas kepenulisan harusnya diisi dengan bagaimana menumbuhkan passion kuat untuk berbagi pengalaman melalui tulisan. Yang ditekankan bukanlah bagaimana membuat tulisan yang benar, melainkan bagaimana memberanikan diri untuk menulis sesuatu, serta membuka pikiran untuk selalu belajar, lalu membiasakan diri untuk selalu produktif.

Latihan Menulis

Di Ambon, saya menjadi fasilitator kelas menulis. Dikarenakan para peserta telah memiliki pengetahuan tentang dunia menulis, yang harus disentuh adalah kesadaran mengapa seseorang bersedia menulis. Hasrat menulisnya mesti dibangkitkan dengan cara berbagi pengalaman, ataupun mengambil sebanyak mungkin contoh tentang mereka yang menjadikan kepenulisan sebagai ladang untuk berbagi.

Jika kelas menulis diibaratkan sebagai kelas untuk menyerap dan melepas energi, maka semua semangat dan hasrat para peserta adalah nutrisi yang akan melancarkan semua materi pelatihan sekaligus menguatkan semua orang.

peserta pelatihan menulis

Materi haruslah disusun secara fleksibel, sesuai dengan kebutuhan dan keinginan peserta. Masing-masing peserta adalah guru yang bisa memberikan masukan konstruktif pada rekannya, sesama pembelajar di ranah kepenulisan. Harapannya adalah semua peserta bisa menulis secara lepas, dan membuang jauh semua beban-beban yang menggelayut di pundak.

Ada tiga hal yang menjadi patokan. Pertama, menulislah secara bebas. Tak usah peduli dengan berbagai rumus dan tata bahasa. Setiap orang punya kisah ataupun gagasan yang layak untuk dibagikan. Tak semua orang ditakdirkan untuk menjadi penulis besar ataupun menjadi sosok hebat dalam menulis. Makanya, tak perlu ada jurus yang sama dalam menulis. Semua orang bisa menemukan jalan kepenulsian sendiri-sendiri yang paling membuatnya nyaman.

Kedua, jadikan menulis sebagai proses yang bertumbuh. Pada hari ini kita menulis gagasan A, yang lalu akan tumbuh melalui nutrisi masukan serta koreksi dari orang lain. Kita akan menyianginya dari semua kritik dan cacian sehingga terus melesat tumbuh besar. Pada akhirnya, kita akan memanen buah dari proses tersebut. Minimal kita mendapatkan

Ketiga, buka hati dan pikiran untuk selalu belajar. Jangan pernah melupakan aktivitas untuk selalu membaca dan belajar dari tulisan-tulisan orang lain. Belajar terbaik dalam hal menulis adalah membaca. Membaca adalah sisi lain dari dunia menulis yang saling memperkuat dan melengkapi. Seorang penulis hebat adalah juga seornag pembaca hebat. Temukan jenis tulisan yang kamu minati, kemudian pelajari gaya dan teknik menulisnya. Semakin banyak membaca, seseorang akan menemukan sendiri kriteria dan jalan ke arah dunia menulis.

Pelatihan ini membuka mata saya. Bahwa pada dasarnya tulisan itu ibarat tanaman yang bisa terus dipupuk dan dibesarkan melalui tangan dingin kita. Ada pula parasit yang kelak akan mengecilkan tanaman itu. Parasit itu seringkali sukses mematikan tanaman menulis seseorang. Namun mereka yang punya passion kuat akan sukses membesarkan tanaman itu, lalu menikmati buah-buah manisnya.

***

DUA minggu berlalu sesuai pelatihan. Hari ini saya membuka email. Beberapa sahabat mengirimkan link artikel yang dibuatnya. Ada juga yang memberitahukan rencana untuk membuat buku-buku teks. Ada pula yang mengirimkan email, “Apakah kita bisa melakukan pelatihan itu sekali lagi? Saya masih ingin belajar lebih banyak!”




0 komentar:

Posting Komentar