Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie |
DI tengah gegap gempita dan diskusi publik
di media sosial tentang politik, para politisi Senayan justru tenang-tenang
saja, seakan tak ada apa-apa. Di tengah dualisme yang melanda Partai Golkar,
para politisinya bisa minum kopi sembari membahas hal-hal lucu lalu tertawa
bersama. Ini bukanlah isapan jempol. Inilah sisi lain dari politik kita yang
sungguh berbeda dengan debat dan konflik di media sosial.
***
KAMIS, 2 April 2015. Suasana meriah nampak
di Hotel Ritz Carlton, Jakarta. Banyak orang datang dengan mengenakan jas serta
dasi merah. Mereka menghadiri pelantikan para pengurus Hipmi periode 2015-2018.
Rencananya, acara ini akan dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang
sekaligus akan melantik para pengurus Hipmi yang baru.
Di saat semua peserta menunggu acara
dimulai, datang politisi Aburizal Bakrie. Ia nampak sibuk berjabat tangan dengan
beberapa pengurus Hipmi. Suasananya tampak sangat akrab dan penuh gelak tawa.
Tak lama kemudian, Wapres Jusuf Kalla tiba di lokasi. Ia diiringi oleh beberapa
anggota paspamres yang nampak tegap. Tepuk tangan memenuhi ruangan seiring
kedatangannya.
Aburizal lalu mendekat dan ikut berjabat
tangan dengan Jusuf Kalla. Keduanya lalu duduk di deretan yang sama. Tak ada
sedikitpun noda permusuhan di wajah mereka. Semuanya nampak santai dan penuh
dengan suasana ceria. Padahal, publik tahu kalau keduanya sedang ada tengkar
politik.
Pemerintah mengakui Golkar yang sah di
bawah pimpinan Agung Laksono. Konon, Jusuf Kalla adalah sosok penting yang
mengetahui bagaimana pergerakan kubu Agung. Sementara Aburizal masih mengklaim
diri sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Meskipun PTUN mengeluarkan putusan sela
yang memenangkan partainya, hingga kini keputusan pemerintah belum dicabut.
Jika kondisinya demikian, tentu saja, kubu Aburizal tak berhak mengajukan calon
di ajang pilkada.
Di acara Hipmi itu, semuanya tampak
damai-damai saja. Saat Jusuf Kalla berpidato yang isinya himbauan agar para
pengurus Hipmi tidak terjebak politik praktis, Aburizal beberapa kali
mengangguk sembari bertepuk tangan.
Beberapa hari sebelumnya, Senin (30/3), ada
kisah menarik. Di ajang pelantikan Korps Alumni KNPI, beberapa politisi yang
bserseteru juga duduk berdampingan. Mereka malah duduk semeja. Mereka adalah
Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan HAM), Aburizal Bakrie (Ketum Golkar versi
Munas Bali), Komjen Badrodin Haiti (Plt Kapolri), Setya Novanto (Ketua DPR),
Azis Syamsuddin (politisi Golkar), Puan Maharani (politisi PDIP), dan Tjahjo
Kumolo (politisi PDIP).
Jika saja mereka mendengar kecaman-kecaman
di medsos, barangkali mereka akan ikut saling mengecam dan menolak duduk
berdekatan. Tapi mereka justru mengabaikan semua perbedaan. Mereka duduk
bersama lalu membahas berbagai isu politik sembari terkekeh-kekeh.
Mereka tak membahas tentang tengkar dan konflik.
Mereka sama-sama ceria dan sesekali bercanda. Azis Syamsuddin sendiri dengan
entengnya mengatakan bahwa Korps Alumni KNPI dibentuk untuk mendukung semua
kegiatan-kegatan pemerintah yang pro-rakyat.
Puan Maharani sendiri sempat mengeluarkan
kelakar mengenai Aziz Syamsuddin. Kata Puan, perbedaan pendapat dengan Aziz
bisa membuat emosinya naik turun. Namun hubungannya tetap cair. Mereka tetap
bersahabat. "Saya sering (berbeda pendapat), soal apapun. Saya di situ
sering jantungan. Tapi kita bicara baik-baik pelan-pelan dan sepakat itu cooling
down dulu," katanya.
Barangkali para politisi itu tak paham
bahwa di dunia media sosial (medsos) sedang terjadi perdebatan dan adu
argumentasi di antara warga dunia maya. Eskalasi debat dan saling kecam kian
meningkat yang kemudian berujung pada sikap saling caci dan fitnah. Berbagai
isu bermunculan. Berbagai situs abal-abal menjadi setetes bensin yang
memperbesar nyala api konflik dan saling ejek. Beberapa intelektual menjadi
corong dari berbagai informasi yang tak punya basis fakta jelas. Perdebatan
beberapa orang berubah menjadi pertengkaran yang dipenuhi caci-maki.
Apakah mereka yang berdebat itu paham bahwa
orang-orang yang disangkanya tengah berkonflik justru tenang-tenang saja?
Politik kita memang masih belum bergeser
dari tafsiran Harold Lasswell yakni siapa mendapatkan apa, kapan, dan
bagaimana. Di ajang politik nasional, publik tak paham bahwa mereka yang
disangkanya menjunjung tinggi aspirasi rakyat itu pada dasarnya adalah mereka
yang mencari celah demi mendapatkan kuasa dan sumberdaya ekonomi. Untuk dua hal
itu, orang bisa melakukan apa saja, termasuk mengubah berbagai pilihan politik.
Barangkali, ini bisa menjelaskan sikap
para elite Golkar yang justru tak terlalu dipusingkan oleh dualisme. Seiring
waktu dan keinginan mendapatkan posisi yang tepat, banyak di antara anggota DPR
asal Golkar yang menyeberang ke kubu Agung Laksono. Pertimbangannya bisa
berbeda-beda. Ada yang berpindah karena faktor idealisme saat melihat partai
yang dikendalikan oleh hasrat pribadi, ada juga yang melihat faktor legalitas
pemerintah demi mendapatkan ‘lahan bermain’ di ajang pilkada.
Di gedung DPR RI, seorang anggota DPR RI dari
Golkar mengisahkan pengalamannya saat dilobi Zainuddin Amali, Sekretaris Golkar
versi Agung Laksono. Mulanya, perempuan yang menjadi anggota DPR ini enggan
sebab tak enak hati dengan Idrus Marham yang selama ini menjadi klik-nya.
Zainuddin Amali lalu mengirim pesan ke Idrus yang langsung disetujui, Idrus
merestui kepindahan itu sembari berharap agar partai tetap dikuatkan.
Sahabat itu menjelaskan bahwa para
politisi tak pernah menyusun satu rencana atau skenario. Politisi yang hebat
adalah politisi yang bisa membaca keadaan, lalu menyusun beberapa opsi atau
pilihan politik. Jika A gugur, maka ada rencana cadangan yakni A1. “Mereka
membaca kenyataan, menyusun analisis, lalu menentukan ke mana biduk hendak
berlabuh. Salah pilih, risikonya bisa fatal. Mereka tahu itu,” katanya.
Bagaimanakah kita membaca fenomena ini?
Psikolog Erving Goffman pernah menjelaskan ini melalui pendekatan dramaturgi.
Menurutnya, kehidupan ini ibarat panggung drama di mana seseorang menggunakan
berbagai topeng karakter. Pada satu kesempatan, politisi akan menampilkan wajah
saling kecam, namun pada kesempatan lain, mereka akan saling tertawa-tawa.
Kita bisa pula mengatakan bahwa ada aspek
kultural yang selama ini terabaikan dari wacana politik. Kita alpa menyaksikan
bahwa semua aktor politik justru berangkat dari latar yang tak jauh berbeda, menjalani
hidup di dewan sebagai rekan seperjuangan, serta adanya berbagai pertautan
kepentingan di antara mereka.
Dalam pandangan saya, wacana politik di
media massa dan media sosial adalah wacana yang paling menguras energi dari
semua rakyat biasa. Yang kemudian muncul adalah semakin hilangnya silaturahmi
serta semangat untuk sama-sama belajar membaca politik melalui upaya menyatukan
setiap patahan kejadian. Di satu sisi, ada hal positif yang muncul ketika
publik kian sadar politik dan bisa bersuara.
Tapi di sisi lain, ada pula hal negatif
ketika publik justru terjebak pada fanatisme atas satu kubu, menghardik kubu
yang lain, sembari meyakinkan orang lain bahwa negeri ini sedang genting sebab
politisinya sibuk berkonflik. Publik bisa saja melihat politik sebagai wacana
penuh carut-marut di mana debat dan saling klaim tak pernah mencapai kata
sepakat. Mereka bisa saling kecam, di saat para politisi, yang katanya
berseteru itu, justru tengah meminum kopi di satu sudut kafe sembari tertawa lalu
melihat wacana di media sosial.
Nah, apakah anda adalah salah satu dari
pengecam atau pembela politisi mati-matian?
Bogor, 7 April 2015
0 komentar:
Posting Komentar