Mereka yang Menghadirkan Cahaya


ilustrasi

PEREMPUAN itu berwajah manis. Ia alumnus Cornell University, satu universitas terkenal di negeri Paman Sam. Tadinya saya mengira dirinya bekerja sebagai karyawan dari sebuah korporasi internasional. Saya pun sempat menyangka dirinya bekerja sebagai konsultan, atau minimal menempati posisi penting di satu lembaga internasional. Semuanya keliru. Perempuan itu ingin jadi fasilitator masyarakat desa di pulau-pulau terluar.

“Saya ingin merasakan bagaimana denyut nadi tanah air di pulau-pulau terluar. Saya ingin merasakan bagaimana detak jantung warga perbatasan yang didera ketidaknyamanan. Saya ingin lebih mencintai tanah air sebagai rumah besar bagi semua orang,” katanya saat saya temui di sela-sela pembekalan fasilitator.

Sebelumnya, ia menjadi relawan program Indonesia Mengajar yang digagas Prof Anies Baswedan. Kelar dari program itu, ia mencari program lain yang bisa menematkan dirinya di desa-desa terpencil. Ia lalu melamar sebagai fasilitator pada Destructive Fishing Watch (DFW). Kini, ia siap ditempatkan di pulau-pulau terluar demi membantu masyarakat desa pesisir yang menjadi target pendampingan program pemerintah. Ia ibarat prajurit yang siap setiap saat menuju medan laga.

Dalam hati saya bertanya-tanya, apakah gerangan yang dicarinya? Dengan ijazah dan pengalamannya, ia bisa saja bekerja di tempat bonafid di sepanjang Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman. Namun ia memilih jalan berbeda. Ia bergerak mengikuti kata hatinya untuk menggapai sesuatu yang menjadi passion-nya sejak lama yakni bekerja bersama masyarakat pedesaan.

Ia tak sendirian. Saya juga bertemu dengan perempuan bergelar magister dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Pengalamannya segudang. Ia pernah bekerja dengan berbagai lembaga internasional di bidang konservasi. Ketika ijazah magister di tangan, ia tak melamar sebagai konsultan atau sebagai policy analist di satu lembaga internasional. Ia ingin bekerja di pulau-pulau kecil.

Seusai berkenalan dengan dua sosok tadi, saya juga bertemu dengan seorang perempuan yang baru saja mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai pegawai bank. Ia memilih jadi fasilitator demi idealismenya untuk bekerja di tempat-tempat terjauh. Ia seorang pemimpi yang tak cuma bisa bermimpi. Ia membumikannya dalam langkah-langkah kecil sebagai fasilitator di desa pesisir.

Tahun ini adalah tahunnya masyarakat desa. Di berbagai instansi pemerintah, terdapat demikian banyak program untuk memberdayakan masyarakat desa. Hari ini, smeuanya berbicara tentang desa. Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hendak membangun fasilitas pembangkit listrik tenaga surya di beberapa pulau terpencil. Bekerjasama dengan DFW, dua kementerian itu lalu merekrut puluhan fasilitator yang akan ditempatkan di pulau-pulau terluar.

Mengapa pulau-pulau terluar? Sebab pulau-pulau itu selama ini terabaikan. Sejatinya, posisi mereka terdepan di republik ini. Harusnya, pulau-pulau kecil menjadi etalase yang menampilkan wajah bangsa sekaligus menunjukkan betapa hebatnya bagsa kita mengelola semua aset yang dimilikinya. Sayang, pulau-pulau dan warganya menjadi marginal karena tiadanya perhatian negara.

***

DI sela-sela pelatihan para fasilitator, saya bertemu dengan perempuan-perempuan hebat. Saya sungguh bahagia bisa bertemu dan berdiskusi dengan mereka. Tadinya, saya hadir ke situ untuk membagikan pengalaman tentang pesona pulau-pulau terluar. Tapi, saya memutuskan untuk menundanya. Biarlah mereka menemukan sendiri bagaimana kehidupan masyarakat pulau. Suka dan duka akan menjadi bagian dari petualangan yang harus mereka lalui demi merasakan pesona menjadi masyarakat pulau. Lewat suka dan duka itu, mereka akan menempa dirinya sekaligus membagukan pengetahuan pada orang lain.

Para perempuan ini sungguh beda dengan beberapa anak muda yang kerap saya temui di kota-kota. Banyak anak muda yang justru berbangga diri karena dekat dengan kekuasaan. Banyak yang bisanya hanya mencari sesuap nasi di jalur politik, entah itu menjadi tim bayangan ataupun menjadi demonstran bayaran. Banyak pula yang berbangga diri dengan kenderaan seri terbaru, atau memiliki rumah mentereng di usia muda.

Banyak anak muda kita yang bisanya menghardik kapitalisme, namun perilakunya adalah membawa proposal ke mana-mana. Banyak yang mengakui idealis, namun yang dilakukannya adalah membodohi massa untuk memilih cukong yang memberinya fasilitas. Jauh lebih banyak yang melihat sesuatu dengan tolok ukur materi. Hidup dilihatnya serupa sinetron yang menampilkan aktor ganteng dan kaya-raya.

Di banyak kota yang saya saksikan, penyakit anak-anak muda adalah pragmatisme dan keinginan untuk memperkaya diri. Mereka menjual suara dan menjanjikan gerakan. Mereka membawa-bawa proposal permintaan duit ke berbagai instansi pemerintah. Sesekali mereka memberikan ancaman demi mendatangkan uang bagi gaya hidup ala jetset.

beberapa fasilitator (foto; La Abdie)

Tapi beberapa perempuan muda yang saya temui ini sungguh beda. Mereka membuat saya terkagum-kagum. Saya tak menyangka, bahwa di tengah iklim masyarakat kita yang kian pragmatis, selalu saja ada manusia-manusia hebat yang berani menyimpang dari arus besar. Keberanian dan keikhlasan mereka untuk tinggal di pulau-pulau terluar ibarat matahari yang akan menerangi bangsa ini.

Kepada mereka, kita bisa menaruh keyakinan bahwa negeri ini akan selalu memiliki harapan untuk bangkit. Mereka mengingatkan saya pada ucapan Bunda Theresa: “Daripada terus-menerus mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin.”

Yup, merekalah lilin yang menerangi bangsa.


Jakarta, 21 April 2015
Selamat Hari Kartini

0 komentar:

Posting Komentar