DI satu waktu libur, saya menemani anak
dan istri berkunjung ke pameran 100 alat ajaib Doraemon. Mulanya saya berpikir
bahwa pengunjung pameran adalah barisan anak kecil yang mengidolakan Doraemon.
Ternyata saya keliru. Pengunjung pameran itu adalah orang-orang dewasa.
Di acara itu, saya menyaksikan bagaimana
Doraemon bisa menjelma sebagai semesta yang mengawetkan ingatan para pengunjung
tentang masa kecil yang ceria, masa kecil yang bertumbuh, dan masa lalu yang
selalu membayangi masa kini. Ada satu tanya yang mendesak batin, “Apakah ada
jejak yang diwariskan oleh sosok kartun masa silam itu?”
Entahlah. Yang pasti, anak saya, yang
berusia tiga tahun, tak seberapa menggemari Doraemon. Ia menghapal bentuknya
yang unik, serta mengenali nama sosok kucing berwarna biru itu. Namun ia tak
terlalu suka. Ia tak histeris saat menyaksikan puluhan patung-patung kucing
robot masa depan itu. Ekspresinya datar saja. Malah, saat setengah jam di acara
itu, ia merengek untuk segera pulang.
Namun tidak dengan banyak remaja dan orang
dewasa di ruangan itu. Saya berkeliling dan menyaksikan tingkah para penggemar
sosok kartun itu. Mereka datang berombongan, berfoto narsis dengan patung
Doraemon, lalu tersenyum bahagia kala melihat hasil jepretan kamera.
Generasi hari ini adalah generasi narsis.
Generasi hari ini tak seberapa peduli dengan nilai dan makna di balik satu
komoditas. Anak-anak muda yang saya saksikan ini tak seberapa tertarik untuk
menelusuri ingatan tentang sosok Doraemon. Barangkali mereka hanya mengingat
kantung ajaib yang bisa mengeluarkan berbagai benda. Mungkin mereka tak
menangkap makna bahwa kantung ajaib itu adalah simbol dari inovasi serta rasa
lapar akan teknologi yang tak berkesudahan.
Tapi, barangkali mereka sedang menjaga
ingatan tentang sosok itu. Mereka yang menggemari Doraemon adalah mereka yang
dahulu menjadi remaja pada era 1990-an dan 2000-an, era ketika ekonomi
Indonesia sedang membaik, dan televisi telah menjadi barang murah yang bisa
ditemukan di mana-mana. Mereka adalah generasi X yang perilakunya perlahan
ditentukan oleh televisi sebagai benda ajaib yang menjadi juri atas apa yang
hebat dan tak hebat.
Doraemon menjadi jembatan atas
masa-masa ketika mereka berdiam di rumah dan menikmati tontonan komersial.
Doraemon menjadi ‘technologies of memory’ yang secara perlahan merawat ingatan
mereka tentang masa silam yang menyenangkan. Doraemon menjadi satu wahana
rekreasi pikiran di tengah sumpeknya hari-hari yang penuh deadline dan
tugas-tugas mendesak.
Yup, kita memang butuh rekreasi.
Bogor, 18 April 2015
0 komentar:
Posting Komentar