DARI demikian banyak buku di rak-rak toko
buku tanah air, buku yang paling jarang saya temukan adalah buku bertemakan
ilmu sosial dan humaniora. Kalaupun ada yang terbit, maka analisisnya sering
hanya mengulang-ulang apa yang disajikan oleh ilmuwan sosial barat, tanpa
pengayaan berarti. Palingan isinya adalah kumpulan kutipan dari teks asing,
yang sering tak relevan dengan situasi di tanah air.
Tidak demikian halnya dengan buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 yang ditulis
oleh Wijaya Herlambang. Buku ini berbeda dengan buku lain yang kurang mengekslor
berbagai data lapangan. Buku ini kaya dengan data, wawancara, dan analisis yang
merekam utuh tentang dinamika satu gagasan. Buku ini menyajikan argumentasi
yang ditopang riset pustaka yang baik, serta wawancara mendalam dari banyak
pihak yang terkait dengan repriduksi kebudayaan pada masa Orde Baru.
Saya melihat buku ini sebagai satu catatan
kritis atas penghancuran ideologi komunisme, yang kemudian dilegitimasi melalui
tangan-tangan kebudayaan. Saat membacanya, saya langsung teringat pada catatan sosiolog Daniel
Bell bahwa politik memang selalu membutuhkan legitimasi pada tingkat
kebudayaan. Inilah penjelas mengapa kekuasaan Orde Baru harus dimapankan oleh tangan
kekuasaan, melalui para agen budaya, seperti halnya kelompok liberal atau para
seniman penerima dana asing.
Yang saya suka adalah penjelasan dalam
buku ini dibikin sangat mengalir. Saya serasa membaca cerita detektif ala Sherlock
Holmes. Betapa tidak, yang hendak disingkap adalah bagaimana tangan-tangan
pemerintah, yang didukung oleh banyak agen kebudayaan asing yang berkolaborasi
dengan agen kebudayaan nasional, menghancurkan satu cara berpikir lalu
melegitimasi pembantaian massal pada masa
Saya menikmati tudingan pada agen-agen
budaya yang saling berebut klaim. Dahulu, dua sosok yang saling serang adalah
HB Yassin dan Pramoedya Ananta Toer. Kini, yang bertarung adalah dua kutub
ideologis. Pertama adalah kelompok Teater Utan Kayu (TUK) yang digawangi oleh
Goenawan Mohamad, kubu Horison yang dipimpin Taufiq Ismail, serta para sejarawan
Orde Baru. Sebagai pengkritik merea adalah para sahabat yakni Wowok Hesti
Prabowo dan Saut Situmorang dari kelompok Boemipoetra.
Bagi saya, Wowok dan Saut adalah penerus
Widji Tukul yang mengubah kata menjadi senjata untuk menembak sesuatu,
khususnya rezim pengetahuan. Mereka meneruskan api yang dulu pernah
menghinggapi seniman zaman Lekra yang diberangus oleh pendukung Manifesto
Kebudayaan (Manikebu) melalui tangan-tangan negara dan militer.
Seusai membaca buku ini, saya lalu merenungi
dunia kepengarangan dan kepenyairan tanah air. Ternyata situasinya serupa medan
perang yang kerap dibantu tank-tank lapis baja dari rezim pemerintah. Mereka
yang diserang habis-habisan itu tak benar-benar habis. Mereka bangkit kembali,
menyusun amunisi baru, lalu membangun budaya tanding. Maka lapangan sastra kita
menjadi arena pertarungan yang terus terjadi demi menguasai wacana di kepala
jutaan rakyat Indonesia.
Yup. Saya tiba-tiba membayangkan rakyat.
Ketika pemerintah hendak mengatur isi kepala rakyatnya melalui produk budaya,
yang kemudian muncul adalah sebuah proses pembodohan demi menutupi satu
persekongkolan dan praktik politik yang jahat. Rakyat tak akan pernah dicerdaskan
dengan pertarungan wacana ini. Rakyat hanya akan menjadi penyaksi yang sesekali
bersorak seusai menyaksikan cakar-cakaran ala siswa taman kanak-kanak.
NB
Salah satu catatan terbaik atas buku ini
dibuat oleh Martin Suryajaya dalam tulisannya: Goenawan Mohamad dan Politik
Kebudayaan Liberal Pasca 1965. Tulisan itu dimuat dalam IndoProgress.
0 komentar:
Posting Komentar