gedung rektorat IPB yang megah |
DI tengah kawasan Darmaga, berdiri megah kampus Institut Perrtanian Bogor (IPB), sebuah kampus yang disebut-sebut sebagai kampus pertanian terbesar di Asia Tenggara. Sebagaimana kampus lainnya di Indonesia, aku tak terkejut ketika diberitahu bahwa gedung terbesar yang terletak di tengah pusat perkuliahan adalah rektorat.
Ketika menyaksikan bangunan rektorat yang
megah itu, tiba-tiba saja aku dihinggapi pertanyaan, mengapa kampus-kampus di
tanah air selalu menjadikan rektorat sebagai bangunan paling megah? Mengapa
kampus-kampus kita tidak menjadikan perpustakaan sebagai bangunan paling megah
dan paling lengkap, sebagaimana kampus-kampus di luar negeri? Bisakah kita
melihat cermin sosial kita di situ?
Aku tak sedang membual. Ketika belajar di
Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Universitas Indonesia (UI), bangunan paling
megah adalah rektorat. Di gedung yang memiliki banyak lantai itu, rektor
bersemayam dan menjalankan roda pemerintahan di kampus. Anehnya, banyak lantai
lain di gedung itu yang justru kosong-melompong. Tak ada aktivitas sama sekali.
Di kampus Unhas, aku masih ingat persis
bahwa rektor berada di lantai tiga. Ketika masih kuliah, aku dan kawan-kawan
sengaja mengeraskan TOA agar suara kami bisa sampai ke lantai tiga. Kami tak
peduli dengan lantai lain, sebab kami meyakini bahwa tak ada yang penting di
situ. Palingan para pembantu rektor yang bertugas untuk sekadar menjalankan apa
yang diinginkan oleh sang rektor, sang pemimpin tertinggi.
berpose di kampus IPB |
Demikian pula dengan kampus-kampus lain
yang kusaksikan, yakni beberapa universitas swasta di Jakarta, juga kampus di
kawasan timur. Entah kenapa, rektorat selalu terletak di tempat paling
strategis sehingga mudah ditemukan. Padahal, jika dipikir-pikir, justru
mahasiswa dan civitas academica tak punya banyak kepentingan di rektorat.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain
ikannya.
Sungguh berbeda dengan pemandangan yang
ada di kampus-kampus luar negeri. Ketika singgah ke Universitas Harvard di
Boston, yang disebut-sebut sebagai kampus terbaik di dunia, gedung paling besar
dan megah adalah perpustakaan. Segala jenis buku bisa dengan mudah ditemukan di
situ. Bahkan perpustakaan juga menyediakan meja kerja dan bilik bagi mahasiswa
yang hendak menyelesaikan tugas akhir.
Demikian pula dengan apa yang kusaksikan
di Ohio. Gedung perpustakaan menjadi jantung dari kegiatan universitas. Gedung
rektorat adalah gedung tua yang kecil, dan tak banyak aktivitas. Tak jauh dari
situ, ada administration office yang
menjadi tempat bagi mahasiswa untuk mengurus beragam kepentingan yang terkait
kuliah.
Di luar negeri, gedung terbesar di dalam
kampus adalah perpustakaan sebab berdasar pada keyakinan bahwa perpustakaan
merupakan jantung kegiatan akademis. Perpustakaan bukan saja jadi tempat membaca,
tapi juga menjadi arena diskusi, pertukaran gagasan, serta memfasilitasi
berbagai kegiatan akademik. Malah, perpustakaan juga menyediakan beragam
peralatan audiovisual. Keren khan?
perpustakaan Universitas Harvard yang megah |
Nah, kembali ke pertanyaan awal, mengapa
gedung terbesar di kampus kita adalah rektorat? Aku punya beberapa dugaan.
Pertama, kampus-kampus kita tak serius
untuk membangun tradisi akademik. Buktinya, amat jarang kita menemukan kampus
yang membangun perpustakaan yang hebat sehingga menjadi tempat bagi siapapun
untuk mengakses pengetahuan. Insan kampus hanya peduli pada kekuasaan. Inilah
sebab mengapa di kampus-kampus, tema paling sering dibahas adalah politik yakni
pemilihan rektor, dekan, atau kepala program studi. Banyak pula warga kampus
yang lebih suka bahas politik lokal ketimbang ranah ilmu yang menjadi arena
pengabdiannya.
Kedua, kampus kita masih mewarisi cara
berpikir ala feodal, yang masih menganggap kekuasaan adalah segala-galanya.
Kampus kita ibarat keraton di zaman-zaman kuno yang menjadi simbol dari suatu
wilayah. Keraton menjadi wilayah penting yang dijaga dan dilayani oleh seluruh
warga kerajaan. Para raja menempati posisi khusus yang segala gembira-sedihnya
bisa membawa pengaruh bagi alam semesta.
Hari ini, cara berpikir feodal itu dengan
mudahnya kita temukan di kantor-kantor pemerintah. Hingga kini, bangunan paling
megah di kantor pemerintah adalah kantor bupati atau kantor gubernur, yag
notabene adalah tempatnya para penguasa wilayah. Jika hakekat pemerintahan
adalah pelayanan publik, maka sungguh ironis ketika menyaksikan kantor-kantor
pelayanan justru kantor yang sempit dan amat tak memadai.
di sudut kampus IPB |
pemandangan dari rektorat |
Ketiga, kampus-kampus kita menjadi lembaga
yang mereproduksi hierarki dan ketidaksetaraan di masyarakat. Di satu sisi,
kampus hendak mengajarkan budaya ilmiah dan demokratis di mana semua orang
memiliki kesesamaan ketika meniti di altar pengetahuan. Tapi di sisi lain,
kampus juga melestarikan pandangan yang melihat orang lain berdasarkan gelar
dan posisi. Buktinya, banyak gelar profesor yang kemudian diangkat menjadi pimpinan
tertinggi, yag kemudian ketika berjalan, semua orang akan menunduk.
Sebagai orang yang pernah belajar di
kampus, aku memendam harapan agar kampus menjadi kawah yang mereproduksi nilai
bagi dunia sosial kita. Sejak dulu aku menginginkan agar kampus menjadi penjaga
gawang nilai tempat seluruh nilai-nilai baik dipertahankan. Tapi entahlah.
Berbagai fenomena belakangan ini kian membuatku ragu apakah kampus masih bisa
jadi cermin ideal. Semoga saja aku salah.
5 komentar:
Benar. Makanya Ben Anderson pernah bilang bahwa para intelektual progresif di Asia Tenggara justru ditemukan di luar kampus. Michael Hardt, rekan sepenulisannya Antonio Negri, juga pernah bilang bahwa kampus-kampus di masa sekarang juga sudah kehilangan elan progresifnya. Di tanah air, kampus-kampus yang tak ubahnya keraton ini juga sekarang suka mengobral gelar pascasarjana sebagai gelar kebangsawanan baru terutama bagi pejabat-pejabat yang, maaf, entah kapan terakhir mereka baca buku saja kita tidak tahu.
Ampas, apabila didaur ulang, tetap saja hasil akhirnya adalah ampas.
kita benar kanda miris dgn realitas universitas di Indonesia
@Libloc: kita pnya keprhatinan yang sama. maknya sy berharap agar mas Libloc bisa masuk kampus dan mengisi kekosongan posisi intelektual progresif tersebut.
@bicara: kita sama2 miris.
Smoga tulisan ini bsa lebih sering di suarakn oleh kaum akademisi di indonesia agar mndapat prhatiah lebih dr pihak pemerintah dn prguruan tinggi....
Posting Komentar